THE ROSE | 3. Der Wild

16 6 10
                                    

Aku masih ingat ketika dulu Ibu selalu mengajakku dan Reli pergi ke atas bukit kecil di dekat ladang Peri Pekerja. Dari batu yang paling besar, kami akan melihat mereka menumbuhkan tanaman, membuka cangkang biji, dan membawa angin dingin, serta gerimis yang hanya akan membasahi kuncup-kuncup yang belum mekar. Juga, dari tempat tersebut kami menemukan keindahan yang tidak pernah bisa kami lihat di manor. Ibu menamai tempat tersebut sebagai surga dandelion, dan aku menamainya sebagai biji anak Peri.

Bukit tersebut dipenuhi oleh bunga dandelion liar sepanjang permukaan. Bergerak lembut, searah embusan angin musim semi. Menghamparkan warna putih bak karpet empuk nan lembut. Dahulu, para tetua sering mendongeng kepada para putra-putri manor. Menceritakan kisah Peri kecil yang terlahir dari biji mekar dandelion, yang terlepas dan terbawa angin musim semi. Sehingga, di setiap malam yang sunyi, angin yang berembus akan terdengar selayaknya tawa seorang bayi yang penuh kebahagiaan.

Namun, semua itu hanyalah sebuah dongeng. Nyatanya Peri tidak terlahir dari serpihan dandelion dan tidak ada tawa riang saat musim semi. Peri tinggal dan terlahir di Tanah Musim Semi, akan tetapi, kehadiran dan kepergian mereka tidak serta merta terasa indah layaknya musim semi yang dipenuhi bunga mekar. Sama seperti tujuh tahun yang lalu, ketika langit musim semi terasa kelabu bagi semua rakyat di tanah Peri. Dan hari ini pun begitu, warna kelabu tersebut hanya terasa untukku, dan itulah bedanya.

Raut wajah Ayah tidak bisa diartikan. Sama halnya dengan Julius yang masih mempertahankan wajah tenangnya. Namun, satu perubahan yang terlihat dari lelaki tersebut adalah tangan kanan yang kini berpindah ke atas gagang pedang yang menggantung di pinggangnya.

Seketika aku tersadar, dan secepat itu pula amarah yang bercampur dengan kekecewaan mulai membumbung. Saat ini mereka menganggapku sebagai ancaman, mungkin saja sejak dulu sudah begitu, dan aku terlambat untuk menyadarinya. Ataukah mereka yang terlalu mahir bersandiwara. Tubuhku bergerak dengan spontan, cepat dan tegang. Bangkit dari posisiku yang nyaman dan meninggalkan beledu hitam tersebut dengan posisi terjungkal di belakang. Tubuhku dengan luwes bergerak ke samping, mengerahkan semua tenaga untuk mempercepat kakiku berlari. Meninggalkan tempat ini adalah hal pertama dan terus-menerus berdengung di dalam kepalaku, negeri ini bukan lagi rumahku. Dan mereka bukan lagi keluargaku.

Tubuhku tertahan dan langkahku hampir tersandung. Sesuatu berwarna hijau pudar melilit badanku seperti tali kekang, menghentikkan langkah kakiku untuk meninggalkan tempat ini. Aku tidak menyerah secepat itu, aku berusaha mengumpulkan kuasa dan membentuknya menjadi benda bundar bercahaya di atas kedua telapak tangan.

"Hentikan, Tera!"

Suara Ayah terdengar di belakang sana dan kuabaikan begitu saja, bukankah saat ini posisi kami sama-sama tidak menguntungkan. Mereka merasakan ancaman dan aku pun tengah terancam. Aku menjadi begitu keras kepala, kupusatkan lagi kuasa-ku hingga benda tersebut semakin membesar. Sedikit lagi hingga aliran tersebut secara perlahan kurasakan mulai stabil. Namun, satu kibasan melenyapkan cahaya di permukaan tanganku, tali beraroma kuasa kembali melilitku dengan erat. Merapatkan kedua tanganku di sisi tubuhku masing-masing.

"Apapun yang kau rencanakan, jika itu mengancam nyawamu. Aku tidak akan pernah mengijinkannya." Suara Ayah terasa semakin jauh dan hampir menghilang, ketika kesadaranku juga ikut terenggut secara perlahan saat kuasa tersebut kini beralih membekap wajahku, menghantarkan aroma menyakitkan yang menyeruak masuk.

Seluruh tubuhku melemah dan kapan saja dapat merasakan benturan yang menyakitkan di atas pualam. Namun, rasa sakit yang kuperkirakan tidak kunjung datang, hanya perasaan ringan dan tidak berdaya yang kini menyelimuti. Pandanganku mulai beriak tidak nyaman, mengundang rasa pening untuk bergabung menghakimi. Tenagaku telah menghilang, tetapi tubuhku masih dapat merasakan sekitarnya, dan sebuah dekapan seseorang bertubuh besar. Samar-samar mata hitam tersebut menarik pandanganku, memperlihatkan tatapan datar yang kukenali. Julius semakin mengeratkan dekapannya dan secara perlahan sekeliling tubuh lelaki tersebut dipenuhi dengan debu putih berkilau. Bergerak layaknya tertiup angin kencang.

The Rose And BetrayalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang