LUCAS betul-betul membuatkan mereka berdua cokelat panas dengan marshmallow.
Dua jam yang lalu--sehabis Andrea menerima titah menginap dari Georgia--cowok itu dengan murah hati meminjamkan kaus bersih dan celana training miliknya untuk dipakai Andrea lalu menyuruh gadis itu mandi air hangat duluan di kamar mandi atas. Saat itu pula pertama kalinya Andrea memasuki kamar tamu yang ditempati Lucas. Dia mendapati begitu banyak alat-alat lukis yang dibawa cowok itu. Beberapa buku gambar masih tersimpan rapi di dalam sebuah tas dan beberapa lainnya terserak di salah satu sudut kamar, sedikit mengekspos sketsa-sketsa kasar dalam goresan-goresan pensil arang yang tampaknya belum selesai.
Yang Andrea baru sadari, tidak ada satupun lukisan Lucas yang sudah jadi.
Saat ini, Andrea dan Lucas tengah duduk bersebelahan di sofa panjang ruang televisi, menyesap cokelat panas dari gelas masing-masing seraya dikelilingi pot-pot berisi tanaman. Di luar, hujan badai masih berlangsung dengan cukup mengkhawatirkan sehingga keduanya memutuskan untuk mengungsikan pot-pot tanaman dari luar ke dalam untuk sementara, sehingga bagian dalam penginapan sekarang nampak seperti hutan mini.
"Keras kepala." Lucas menggumam dari samping Andrea.
Gadis itu menghela napas pelan. Selama setengah jam terakhir, Lucas berusaha meyakinkan Andrea agar dia tidur di kamar atas sementara cowok itu tidur di ruang tamu.
"Kau menyewa penginapan ini. Kau tamu. Kau yang tidur di kamarmu. Aku nggak apa-apa tidur di sofa. Sofanya lebar, nyaman, dan hangat. Ada pemanas dan selimut pula. Kayak dunia bakal gonjang-ganjing saja kalau aku tidur di sofa."
Lucas menyesap lagi cokelatnya dengan berisik, kentara sekali jengkel.
Untuk memakai kasur tiup, Andrea membutuhkan pompa angin. Dan untuk mengambil pompa angin, dia perlu ke luar penginapan, menembus badai, dan membongkar isi garasi. Andrea terlalu malas untuk melakukan itu semua. Lucas sempat hendak mengambilkan, namun Andrea menarik lengannya dan memintanya supaya tidak usah repot-repot.
Televisi menampilkan tayangan ulang sebuah film science-fiction luar angkasa, namun keduanya tidak ada yang fokus pada jalan cerita.
"Kalau begitu aku juga tidur di sofa saja." cowok itu menggumam.
Andrea menoleh memandang Lucas keheranan. Oke, sofanya memang sofa besar berbentuk L yang mampu memuat dua orang dewasa berselonjoran, tetapi kenapa dia begitu bersikeras?
"Aku nggak takut tidur sendirian, kalau itu yang kau khawatirkan." ujar Andrea, mengira-ngira apa penyebab Lucas ngotot bersikap gentleman sedari tadi.
"Aku nggak akan bisa tidur di dalam kamar dengan kasur empuk mengetahui kau tidur di bawah sini, di sofa."
Andrea mendesah. Dia meletakkan gelas cokelatnya yang sudah kosong ke atas meja rendah di depan sofa dan memutar duduknya hingga menghadap Lucas. Dia menyipit memandangi cowok itu.
"Ternyata kau memang kepingin main perang bantal betulan." tuduh Andrea.
Lucas gagal menahan senyum, "Nggak lucu."
Mereka beradu tatap selama beberapa saat. Nampaknya Lucas tidak menunjukkan tanda-tanda kepingin menyerah. Akhirnya, Andrea mengalah.
"Terserah deh." katanya pasrah. Dia berpindah ke sisi sofa yang lain, lalu berbaring dan menutupi diri dengan selimut, "Kau bebas tidur di mana saja."
Wajah Lucas berubah cerah. Dia mematikan televisi, lalu cepat-cepat menuju kamarnya di atas. Dia kembali ke ruang tamu sambil memeluk bantal dan selimut yang kemudian diletakkannya di sisi sofa yang satunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Boy Who Talked To The Trees
Teen FictionPada suatu hari, Andrea Jacobson membuat keputusan untuk menjauh sejenak dari kehidupannya di Portland. Dia menunda kuliah dan mengambil kerja sambilan di Cotswolds, Inggris. Semua orang mempertanyakan motivasinya; mengapa Andrea memutuskan untuk m...