KALAU boleh jujur, Andrea belum pernah merasa menjadi cewek selinglung dan seceroboh ini sepanjang hidupnya.
Setelah Georgia bertemu dengan tamunya--Lucas Freewell, cowok yang masih dicurigai Andrea telah memberi nama sebuah pohon cedar di hutan tadi pagi--serta menjelaskan segala sesuatunya dan akhirnya menyerahkan kunci pondok, wanita itu kembali ke rumahnya sekitar pukul sepuluh, meninggalkan Andrea dengan sederet tugas untuk dilakukan.
Andrea tidak menemukan kesulitan berarti saat menyirami pot-pot tanaman, membersihkan perabotan dan kamar mandi, maupun mempersiapkan sarapan. Tetapi cukup lama dia berkutat dengan mesin pembuat kopi--walaupun akhirnya berhasil menyala--lalu mengutak-atik pengaturan televisi agar terhubung dengan WiFi yang baru dinyalakan kembali, dan saat ini, dia sudah sampai pada titik jengkel maksimal sehingga tanpa sengaja melontarkan sumpah serapah pada penyedot debunya yang menolak hidup.
Berdasarkan apa yang tertera di layar kecil mesin sial itu, Andrea dituntut untuk membuang terlebih dahulu debu-debu yang nyaris penuh di penampungnya sebelum bisa menyalakannya lagi. Masalahnya, itu adalah penyedot debu keluaran terbaru, yang berpenampilan serba hitam dan minimalis dengan tombol-tombol yang nyaris tak terlihat, dengan penampung debu yang bahkan lebih sulit lagi untuk dideteksi keberadaannya tanpa buku manual. Dia bahkan tidak tahu jenis penyedot debu apa itu untuk mencaritahunya di internet.
Saking putus asanya, pada puncak kekesalannya dia iseng menelepon Sully untuk menanyakan apakah dia tahu cara kerja penyedot debu milik ibunya.
"Mana kutahu! Kupikir kau meneleponku untuk hal yang genting!" ujar Sully dari seberang telepon dengan nada jengkel.
"Ini genting, Sully. Dan kau sendiri yang bilang aku bisa meneleponmu jika terjadi apapun. Nah, inilah 'apapun' itu." gumam Andrea sambil memandangi penyedot debu di hadapannya dengan cemas.
"Kenapa nggak telpon ibuku, sih?"
"Sudahlah. Bercanda. Aku cuma cari-cari alasan saja meneleponmu."
Walaupun Andrea tidak bisa melihatnya, dia tahu cowok itu pastilah sedang memutar bola matanya, "Begitu dong dari tadi. Jadi ada apa?"
"Nggak ada sesuatu yang khusus, sih. Cuma mau laporan saja kalau sejauh ini semuanya oke."
"Syukurlah." Sully menanggapi tulus, "Aku bilang pada ibuku untuk nggak memperbudakmu secara berlebihan..."
"Memangnya kau punya kendali atas apa yang ibumu kepingin lakukan?" dengkus Andrea.
"Nggak sih." Sully langsung mengakui, "Uh, ngomong-ngomong... Matt mengadu padaku. Katanya kau nggak kunjung baca chat darinya."
Andrea bergumam muram, "Haruskah?"
"Pokoknya aku bilang saja kau masih kena jetlag."
Andrea tidak menyahut.
"Aku mengerti kau butuh waktu, Andy." Sully melanjutkan pelan, "Tetapi aku nggak bisa terus-terusan membuatkan alibi untukmu. Pilihannya adalah terus lari atau menghadapinya."
Seluruh perkataan Sully barusan benar, dan Andrea membencinya. Dia mendesah letih. Dia tahu persis dirinya perlu mengumpulkan tekad dan nyali untuk 'bersikap normal' dengan Matt. Tetapi yang jelas, bukan hari ini.
"Bisa ganti topik?"
Kali ini Sully yang menghela napas, "Sudah coba naik skuter ibuku?"
Selama beberapa saat keduanya berbicara di telepon, membahas apapun yang tidak menyenggol topik yang ingin dihindari Andrea. Sejujurnya, mengobrol dengan Sully saat ini terasa agak seperti dilema bagi Andrea. Di satu sisi, Sully adalah sahabat terbaiknya. Namun di sisi lain, Andrea seolah tak mampu berbicara dengan cowok itu tanpa mengaitkannya dengan teman-temannya yang lain di Portland. Maka percakapan telepon itu tidak berlangsung terlalu lama dan gadis itu memutuskan untuk kembali berkutat dengan penyedot debunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Boy Who Talked To The Trees
Fiksi RemajaPada suatu hari, Andrea Jacobson membuat keputusan untuk menjauh sejenak dari kehidupannya di Portland. Dia menunda kuliah dan mengambil kerja sambilan di Cotswolds, Inggris. Semua orang mempertanyakan motivasinya; mengapa Andrea memutuskan untuk m...