Jam terakhir. Banyak diantara teman kelas Naya yang terpaksa melebarkan matanya. Menguap beberapa kali. Mata pelajaran seni budaya, dengan guru yang bersuara pelan, membuat mereka ngantuk berat. Ditambah awan pekat yang sedari tadi menggelung langit ibu kota.
10 menit sebelum bel, Bu Hani-guru seni budaya membubarkan kelas 12 IPA 1. Dan serentak semua mata yang setengah menutup tadi, melebar sempurna. Bu Hani sudah keluar dari kelas mereka, dan anak-anak kelas 12 IPA 1 bersiap pulang lebih awal.
Bertepatan dengan itu hujan turun sangat deras. Tanpa gerimis terlebih dahulu. Membuat anak IPA 1 kembali terduduk acak dikelas mereka, mendesah kecewa karena terjebak hujan.
Yang cewek sibuk ngerumpi didepan papan tulis, dan yang cowok merapat dibawah meja guru untuk main game. Mereka abai bangku belakang. Saking gaduhnya kelas ditambah suara derasnya hujan, membuat isak tangis disudut belakang kelas tak terdengar.
Naya duduk menekuk lutut dan kedua tangannya menutupi telinganya, bersandar tembok belakang. Akhirnya yang ia cemaskan sedari pagi tadi terjadi juga. Hujan lebat. Dan Naya sangat membeci itu. Matanya terpejam sempurna, telinganya mendengung karena ia terlalu kuat menutupnya.
Adalah Aldi yang pertama melihat keadaan Naya. Ia hendak mengambil minum di bangku Radit. Sungguh Aldi terkejut kala melihat Naya yang meringkuk sambil terisak. Ia lantas menghampirinya.
"Nay. Lo kenapa Naya? Lo nggak papa kan?" Tanyanya cemas. Ia menepuk pelan bahu wanita itu. Tak ada respon apa-apa dari sang empu.
Naya mengabaikan panggilan Aldi. Lebih tepatnya ia tak mau membuka kedua matanya, ia tak mau melihat hujan itu.
"Raka! Cepet lo kesini." Aldi meneriaki Raka yang masih asyik bermain game bersama yang lainnya.
"Cepetan Raka. Naya kasian." Demi mendengar kata Naya yang diucap Aldi barusan, Raka segera menoleh kesudut belakang. Matanya melebar melihat Naya yang berantakan. Ia bergegas mendekat.
Dan kini semua atensi kelas tertuju pada Naya. Mereka sempurna menghentikan aktifitas masing-masing. Radit, Tama, Bryan, dan El segera mengusul Raka.
Aldi menyingkir kala Raka tinggal 3 langkah darinya. Raka segera duduk berhadapan dengan wanita yang ia sukai itu. Wanita itu masih memejamkan matanya rapat-rapat, dan kedua tangannya masih menekan telinganya kasar.
"Nay ini gue Raka. Lo kenapa Nay?" Raka sudah memegang kedua tangan Naya. Mencoba menyingkirkannya dari telinga sang wanitanya.
Naya mendongak, matanya terbuka. Didepannya, terlihat Raka dengan raut wajah khawatir tengah menatapnya. Naya lantas menghambur memeluk lelaki itu. Matanya kembali terpejam erat, ia menangis kencang.
Tentu saja itu membuat Raka dan yang lain bingung. Mereka sungguh tak tahu apa yang telah terjadi pada Naya.
Raka mengusap punggung Naya pelan. Mencoba menenangkannya.
"Gue takut Rak." Hanya itu kalimat yang terucap dari bibir mungil wanita itu. Lirih, sangat lirih suara yang keluar. Hanya Raka yang bisa mendengarnya.
Kala teman sekelas Raka masih kebingungan menatap Naya, dari pintu kelas mereka terlihat Sekala dengan nafas tak beraturan. Disusul ketiga sahabatnya dibelakang. Baju seragamnya basah. Ia memacu motornya dengan kecepatan penuh saat tetes pertama hujan turun.
Sekala melangkah menuju pojok kelas. Adik yang sangat dikhawatirkannya itu tengah memeluk seseorang. Sekala tau itu punggung milik Raka.
"Dek." Panggil Sekala pelan. Raka menoleh kesebelahnya.
"Ini abang dek, sini peluk abang." Katanya lagi. Ia sama sekali tak menghiraukan tatapan tajam sahabat-sahabat Raka. Yang terpenting kali ini adalah adiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LUKA
Teen Fiction"Maaf Ayah, aku masih membenci mereka__" Sebuah luka masa kecilnya, menjadikan dirinya seseorang yang membeci lawan jenisnya. Benci. Kecewa. Dan dendam. Mengaduk menjadi satu dalam hatinya. Apakah ia akan berdamai dengan mereka? Atau malah membeci...