BB - 8

0 0 0
                                    

Sembari menunggu Zara mengedarkan pandangannya ke sekitar hingga tak sengaja matanya bertubrukan dengan mata hitam legam milik seseorang yang baru saja keluar dari sebuah gang juga.

"Bukannya waktu itu dia bilang mau nginep di rumah neneknya? Apa mungkin sudah pulang ya," gumam Zarra dalam hati.

Si pemilik mata hitam legam itu tampak menuju ke arahnya membuat jantung Zarra bertalu-talu di dalam sana. Zarra mencoba mengatur mimik wajahnya agar tidak terlalu kentara.

Saat orang itu sudah berada di hadapannya Zarra mencoba untuk tersenyum. "Mau beli bakso juga kak?"

"Iya nih. Di suruh mama hehe," balasnya.

"Oh gitu, kakak bukannya lagi nginep di rumah nenek?"

"Iya kemarin sempat tapi gak lama kok. Kalo saya masih di sana terus yang ada di hadapan kamu siapa? Masa iya setan," kelakar Ghiffari.

Zarra terkekeh kecil, "Haha bisa aja."

"Eh ini Adibah enggak bobok?" tanya Ghiffari pada Dibah yang sedari tadi hanya diam menyaksikan obrolan keduanya.

Merasa pertanyaan itu untuknya Dibah pun menjawab, "endak."

"Loh kok engga bobo, emangnya gak ngantuk?"

"Endak. Atu mau mam baco," ucap Dibah.

"Oh Dibah suka bakso ya? Nanti kita beli banyak-banyak mau?"

"MAUUU!!" Dibah berteriak heboh membuat seluruh pengunjung yang ada di sana menoleh.

"Punya adek satu mulutnya kayak toa masjid," batin Zara.

Sementara Ghiffari hanya terkekeh melihat aksi bocah di hadapannya tak lama kemudian ia teringat dengan satu hal.

"Zarra," panggil Ghiffari dengan suara yang terdengar sedikit serius membuat Zarra langsung menatap dirinya.

"Iya, kenapa kak?"

"Pak Salman lagi ada di rumah?"

"Abi kalo siang mah gak ada kak lagi kerja. Nanti malam baru ada."

"Ah iya maksud saya gitu."

"Mau ngomongin masalah IRMAS ya kak?" tanya Zarra sok tahu.

"A-ah i-ya mau ngomongin IRMAS."

Tanpa Zarra ketahui kalau Ghiffari merasa berdebar-debar di dalam sana.

Antrian yang sudah mulai sepi membuat obrolan keduanya terhenti. Kini berganti mereka yang masuk ke dalan stand bakso.

"Bakso uratnya dua porsi sama bakso kecilnya empat ribu aja bang. Yang empat ribu gak usah pake kuah ya bang."

"Siap. Tunggu sebentar ya."

"Mbak yang bakso urat saus sama sambalnya dipisah atau digabung?"

"Pisah bang."

"Yang empat ribu pake apa aja?"

"Gak usah pake apa-apa bang kayak gitu aja."

Tanpa banyak bertanya lagi si abang langsung membuatkan pesanan milik Zarra.

"Ini mbak."

Zarra yang sebelumnya duduk di kursi dalam untuk menunggu pesanannya siap langsung beranjak dengan Dibah yang berada di gendongannya.

"Ini bang uangnya." Zarra menyodorkan uang lima puluh ribu yang langsung di terima oleh si abang.  

Saat penjual bakso tersebut tengah mencari uang untuk kembalian bakso milik Zarra sebuah suara menghentikan kegiatannya sebentar.

"Saya mau baksonya tiga porsi ya bang. Bakso biasanya dua bakso telornya satu," ucap orang itu yang tak lain adalah Ghiffari.

"Loh masnya beli juga toh. Saya kira masnya ini suami si mbak terus udah sekalian sama yang tadi," tebak si abang bakso.

Sontak membuat keduanya menjadi kikuk, terutama Zarra. Wajahnya terlihat merona karena salah tingkah dengan ucapan yang dilontarkan untuk mereka. Sementara Ghiffari menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal sama sekali.

Buru-buru ia menyahut, "bu-bukan bang kita cuma teman kok."

'Teman hidup Insyaa Allah wkwk' sambung Ghiffari dalam hati.

"Oh gitu maaf atuh ya mbak, mas.

"Iya gak papa bang."

"Eh iya ini mbak kembaliannya."

Zarra langsung menerimanya. "Makasih. K-kak saya duluan."

"Ah Iya. Hati-hati ya."

"Iya."

Zarra melangkahkan kakinya cepat-cepat. Sungguh kondisi jantungnya saat ini sudah tidak aman. Degupan yang semula normal kini sudah seperti habis lari maraton.

Ucapan si abang tadi terus terngiang-ngiang di kepalanya hingga tidak sadar dengan apa yang dilakukannya sekarang.

"Kok gak masuk-masuk sih?" Zarra terus memaksa memasukkan kunci motor dengan tangan yang gemetaran.

"Huft.. Relaks mungkin karena tangan akunya gemeteran kali ya. Oke mari kita coba lagi. Dedek diem-diem ya."

"Hu'um."

Sudah dicoba berulang kali namun tetap gak bisa hingga tak lama terdengar seruan dari seseorang.

"Hei! kamu ngapain? Ini motor saya."

Seketika Zarra nge-lag. "Hah?"

"Liat nomor platnya, ini motor saya!" ucap ibu-ibu itu.

Begitu Zarra turun untuk melakukan apa yang disuruh si ibu Zarra semakin merasa malu. Kini bukan hanya telapak tangannya saja yang gemeteran bahkan seluruh tubuhnya juga ikut. Zarra rasanya ingin menangis saja saat ini.

Setelah tai jika motor ini memang bukan miliknya dengan segera Zarra turun, menggendong Dibah, mengambil bungkus bakso yang sudah ia gantung di gantungan motor.

"M-maaf bu, s-saya gak tau kalo motor ini punya ibu. Soalnya mirip dengan motor saya."

"Makanya jangan terburu-buru jadi orang. Lagipula kan ada nomor plat, masa nomor plat motor sendiri lupa. Masih muda aja udah pikun!" omelnya. Bukan apa-apa ibu itu hanya takut jika motornya dicuri karena diberita yang sering ia tonton katanya sekarang lagi banyak kasus curanmor. Makanya ia sangat waspada jika kemana-mana.

"Se-sekali lagi saya minta maaf bu. Permisi."

Setelah mengatakan hal tersebut Zarra bergegas mencari dimana motornya berada. Ketika sudah menemukannya Zarra langsung melakukan motornya agar segera sampai di rumah.

Rasanya saat ini ia sudah tidak punya wajah lagi. Perasaan malu akibat ucapan tukang bakso saja masih terngiang di kepalanya eh malah ditambah dengan dirinya yang salah motor.

Zarra bersumpah itu tidak pernah kembali lagi ke warung bakso sana lagi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 11, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bahagiaku BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang