11. Pengganggu Tidur Pagi

12 9 3
                                    

"Za, stop, Za!" teriak Zea memukul-mukuli bahu Eza yang masih fokus menyetir motor.

Cowok itu terkejut dan refleks menginjak rem mendadak. Ia mengatur napas nya yang memburu.

Sedangkan Zea di belakang nya mengusap-usap dahi nya yang terbentur helm Eza. Tidak perih kok, tenang saja hanya berdenyut dan sedikit nyeri.

"Gila lo ya? Kalau sampe kita kecelakaan gimana? Lain kali kalau mau berhenti jangan bikin orang kaget." Eza mengomel seketika akibat ulah Zea.

"Kalau lo kaget berarti lo lagi melamun," bantah Zea.

"Gue gak melamun. Cuma kaget doang. Mau ngapain sih?" tanya Eza akhirnya menurunkan nada suaranya.

"Mampir ke sana dulu," tunjuk Zea pada sebuah bangunan megah tak jauh dari posisi mereka sekarang.

Sebuah bangunan yang lumayan megah dan indah, siapapun yang datang ke tempat seperti ini pasti akan mendapatkan ketenangan. Tapi, tidak semua orang mau untuk berkunjung ke tempat ini.

Eza menautkan alis heran. "Lo, ke masjid? Seriusan lo? Kok tumben?"

"Tumben? Gini-gini juga gue tetap butuh Tuhan kali!" skak Zea.

"Ya sorry, lagian lo gak mencerminkan sebagai seseorang yang alim sih. Kan gak salah kalau gue kaget."

"Ya karena cuma dia yang paling mampu membantu gue dari masalah-masalah yang gue hadapi."

Kalimat yang logis dan sangat dalam sampai membuat hati Eza menghangat mendengar ucapan Zea. Senyum Eza mengembang. Adik nya memang luar biasa. "Kayak nya lo gak boleh salahin gue deh kalau suatu saat gue suka sama lo." Eza melontarkan dengan senyum kecil yang tersungging, entah serius atau tidak dengan ucapannya, Zea tidak bisa menaruh harapan besar terhadap Eza.

"Kayak nya lo gak boleh salahin gue deh kalau gue akan tetap anggap lo kakak gue," balas Zea.

Eza mengedikkan bahu acuh. "Kita tunggu aja jalan takdir yang sebenarnya. Gue, atau lo yang akan bertahan dalam hubungan ala-ala persaudaraan ini."

"Gue udah gak yakin sama cinta. Ya, semoga aja lo berhasil ya."

"Jalani aja sesuai yang kita ingin kan. Jodoh bukan kita yang atur kan?" ucap Eza bijak.

Zea tersenyum bangga. Ia melingkarkan tangan nya di perut Eza, menyandarkan dagu nya di bahu cowok itu. "Thank you, Kak Eza. Gue bangga punya kakak seperti lo."

"Sama-sama adik ku." Eza menepuk lembut punggung tangan Zea. "Ya udah, kita ke masjid sekarang."

Eza menghidup kan kembali mesin motor nya dan melaju menuju masjid terdekat.

***

Eza mengantarkan Zea sampai di depan rumah yang cewek itu tuju.

Sejenak, Eza terkagum. Rumah nya sederhana namun terkesan mewah. Gedung dua lantai bernuansa biru putih. Tapi ini rumah siapa?

"Mau mampir?" tawar Zea.

"Ini rumah siapa, Ze?" Akhirnya kalimat ini terlontarkan dari mulut Eza. Memang dia sangat penasaran.

"Rumah gue."

Kedua mata Eza kompak terbelalak. "Gue gak salah dengar? Atau lo yang salah ngomong?"

"Lo gak salah dengar, dan gue gak salah ngomong." Zea berjalan menuju teras. Ia mengambil duduk di kursi yang tersedia.

Eza menyusul duduk di samping nya. Ia jadi penasaran lanjutan cerita Zea. "Bokap lo beliin lo rumah ini?"

Zea tertawa miris. "Boro-boro beliin gue rumah, jajan sekolah gue aja setiap hari nunggak."

EZZEATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang