13. Keributan Eza dan Reza

15 8 3
                                    

Zea menyusun buku-buku nya ke dalam tas. Jam pulang sekolah sudah tiba, dan saat nya kembali ke rumah.

Helaan napas nya menguar lirih. Mengingat rumah, ia jadi teringat Zoni dan Zahra. Apa kah kedua orang tua nya itu tidak mencarinya?

Andaikan saja dulu tidak terjadi kesalah pahaman, mungkin sekarang Zea masih berkumpul dengan mereka.

"WOI!"

BUGGH!!!

"Aw, aduh. Perih banget," rintih Eza meringis memegangi pipi kiri nya yang sakit luar biasa. "Lo jadi cewek kasar banget. Mukul gak pakai perasaan."

Sumpah, demi apa pun. Zea terkejut mendapati Eza yang tiba-tiba datang. "Maaf. Gue kan gak sengaja. Lo juga yang salah."

"Kok jadi gue yang salah?" protes Eza.

"Yang ngagetin gue duluan siapa?" sulut Zea.

"Yang ngelamun di kelas duluan siapa?" balas Eza.

"Gak ada cerita, pokok nya lo yang salah."

"Ya gak bisa gitu, lah."

"Pipi masih lebam-lebam gitu, masih aja bisa ngoceh."

"Kan yang ngomong mulut gue, bukan pipi gue. Coba aja nih, lo ajak ngomong sama pipi gue. Di bales gak sama dia?" sulut Eza menunjuk-nunjuk pipi nya dengan jari.

"Gila gue lama-lama ngomong sama lo."

"Rumah sakit jiwa masih lapang buat lo."

Zea tak menanggapi. Ia dengan cepat merapikan semua buku nya, dan melangkah keluar kelas.

"Ze! Zea!" teriak Eza menyusul langkah cepat Zea.

Cowok itu menahan lengan Zea ketika berhasil menggapai nya di depan ruang kelas. Beberapa murid yang masih berada di sekitar sontak mengalihkan pandang pada mereka, sebab suara Eza yang bak petasan meneriaki namanya.

"Apa sih? Lo kenapa ngikutin gue terus?" bantah Zea menghempaskan tangan Eza.

"Buru-buru banget kenapa sih?"

"Gue banyak kerjaan di rumah, Za. Belum lagi gue harus ke resto. Gak usah gangguin gue bisa gak sih?"

"Kerjaan, kerjaan apa sih? Rumah lo udah beres gitu. Udah rapi, udah bersih. Gue walaupun baru sekali ke rumah lo, gue udah yakin, itu rumah gak pernah berantakan."

"Tapi tetap aja harus di beresin, Za. Gue harus nyuci baju, nyuci piring, belum jemur baju, nyetrika baju, nyapu, ngepel, tambah ganti gorden. Makanya, gue buru-buru. Lo minggir."

"Kerjaan rumah, udah kayak kerjaan asisten rumah tangga. Gak sekalian tuh ngurusin suami?"

"Minta gue lempar beneran lo, ya?"

"Kapan lo bilang mau lempar gue? Perasaan gak ada!"

"Argghh!" erang Zea kesal, ia menggunakan seluruh tenaga nya untuk menyingkirkan Eza dari hadapan nya. Zea berjalan cepat menuruni tangga, meninggalkan kelas yang sudah mulai sunyi.

Hembusan nafas jengah berasal dari Eza. Cowok itu merapikan kerah baju nya. Berdehem beberapa kali lalu tersenyum kecil. "Sebagai kakak yang baik dan bermoral, gue siap keluarkan modal buat ngantar adik gue pulang. Walau habis seperempat liter bensin pun, gue jabani."

Eza lantas berjalan mengikuti Zea dari belakang, ia mempercepat langkah agar tidak ketinggalan.

**

"Jadi lo mau apa? Gue yang antar lo pulang, atau.... Gue suruh teman gue yang antar."

Zea mengerut bingung. "Teman lo?" Zea mengedarkan pandangan ke seluruh parkiran. Kosong. Hanya ada mereka berdua dan beberapa motor juga mobil beberapa siswa-siswi. "Teman lo siapa? Yang mana?"

EZZEATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang