[Cerita ini dilindungi undang-undang akhirat. Jika melakukan plagiat, akan dicatat oleh malaikat]
"Cinta adalah anugerah terindah dari Allah. Merasakannya adalah fitrah. Menjaganya adalah ibadah."
***Pov Tama~
Aku mendapati istriku sedang memasak di dapur pagi itu. Ia memakai celemek cokelat yang pekan lalu baru kami check out di keranjang shopee—entah sudah berapa barang yang kami pesan online lantaran urusan beberes rumah belum juga kelar. Rambut lebatnya yang biasanya menjuntai panjang nan harum itu dililit ke samping agar tak terganggu saat memasak. Ah, betapa segar dan memanjakan mata pemandangan pagi ini.
Di rumah sederhana dan minimalis berukuran empat petak dengan dua kamar—satu kamar utama dan satu kamar tamu yang di antaranya diapit oleh ruang keluarga juga ruang tamu—ini, kami hanya benar-benar tinggal berdua saja. Tak ada sanak keluarga atapun asisten rumah tangga. Urusan rumah semua kuserahkan ke istri yang rupa dan parasnya tak ada tandingannya di dunia.
Selain cantik, dia berkarismatik. Wajahnya selalu terlihat ceria seperti pagi ini. Ya, dia istriku, Hafsah Khumairah. "Pagi, Biii," sapanya dengan lembut padaku.
Suara indahnya tak ada tandingannya, pesonanya jelas melebihi perempuan-perempuan Arab sana. "Pagi juga umiku sayang," kujawab sambil membelai rambutnya. "Humm ... seperti biasa, aroma masakan umi selalu menyihir abi betah di dapur."
Karena hanya berdua di rumah dan sangat jarang ada yang bertamu, jilbab tak menjadi kewajiban, dia sangat pandai memanjakan mata suaminya ini. Terlebih lagi, dia jago masak, bagaimana aku tidak merasa bangga memiliki Hafsah dalam hidupku?
"Yakin karena aroma masakanku? Atau ..." kulihat ia tersipu malu menunduk menutupi wajahnya yang cantik.
Pelukan pagi itu langsung juga ia dapatkan. "Yaaa karena ada kamunya dong, Sayang."
Pagi itu, merasa tersipu sekaligus geli, terlihat dari kedua bahunya yang terus menyenggol kedua tanganku saat asyik memeluknya. "Udah udah, ini aku lagi masak loh Abiii. Sok sana dulu mandiii."
Lagipula aku dan dia hanya berdua saja, kenapa harus merasa geli ya? Dasar perempuan, gengsinya tinggi. "Serius nih, nggak mau dipeluk sambil masak?" godaku lagi.
Sambil cekikikan ia menggeleng-geleng dan perlahan berusaha melepaskan pelukanku dan mendorong aku ke belakang. "Sana mandi, biar wangiii."
Hafsah mengejekku. Aku mengembuskan napas pasrah. Sebelum benar-benar menghilang dari hadapannya, aku maju pelan beberapa langkah dan menjatuhkan bibirku ke pipinya. Setelahnya aku langsung bergegas ke kamar mandi dengan wajah sumringah, bisa kupastikan juga wajah istriku saat ini semakin berseri-seri.
Sekiranya begitulah pagi hariku sebelum berangkat ke tempat kerja, aku selalu bisa melihat senyumnya yang begitu menawan nan mempesona. Entahlah, aku begitu bucin pada Hafsah. Setelah nikah, semua terasa berbeda. Aku seperti memiliki bidadari syurga, yang begitu aku damba dan cinta.
Memang betul, cinta adalah anugerah terindah dari Allah. Merasakannya adalah fitrah. Menjaganya adalah ibadah. Hampir setiap hari aku harus memastikan semuanya baik-baik saja. Aku ingin Hafsah selalu jatuh cinta padaku; saat pertama mengenalnya, setelah nikah dan berumah tangga, bahkan kelak ketika semesta tak lagi mengizinkanku bersamanya. Aku ingin, rasa cinta itu selalu tumbuh, bahkan tak masalah jika dia banyak cemburu padaku.
Tanyakan saja pada Hafsah, istriku. Aku tidak pernah melarangnya untuk tidak cemburu, justru harus kataku.
Satu waktu aku pernah bilang seperti ini, "Sayang, aku tidak pernah marah jika rasa cemburumu lebih besar daripada rasa cintaku padamu."
"Loh kok gitu?"
"Iya, berarti itu terbukti kalau rasa cintamu lebih besar dari rasa cintaku padamu."
Saat itu wajah Hafsah ditekuk seperti kesal. "Berarti kamu suka kalau aku selalu cemburu saat wanita-wanita di luar sana terus saja mengagumimu?"
"Bukan seperti itu. Ketahuilah setiap perempuan itu sejatinya pencemburu; layaknya Hawa cemburu ke Adam yang pulang larut malam, padahal ia tahu bahwa dirinya adalah satu-satunya perempuan di muka bumi. Ada Zulaikha yang cemburu pada tanah oleh karena setiap kali Yusuf bertemu dengannya selalu menunduk ke tanah. Lalu ada Aisyah yang cemburu karena Rasullullah selalu menyebut nama Khadijah padahal Khadijah telah wafat sebelum dirinya menikah dengan Rasulullah."
Hafsah tertegun takjub. "Maasya Allah, begitu besarnya rahmat Allah pada hamba-Nya, cinta adalah anugrah terindah sepanjang masa, ya, biii."
"Makanya, nikah itu ibadah seumur hidup. Cukup sekali, sehidup semati."
"Husst ... jangan sebut-sebut mati, ajal nggak ada yang tahu, biii."
Saat itu aku hanya bisa tertawa dan mengacak-acak rambutnya melihat tingkah polos Hafsah.
Tak terasa sedari tadi aku senyam senyum sendiri di depan kaca kamar mandi sambil melamunkan kejadian kala itu. Sekalipun air setimba tak tersentuh olehku."Abiii ... buruan mandi! Jangan ngelamunnn, nanti telat ke kantornyaaa," teriak istriku dari luar dapur.
Aku pun langsung bergegas mandi. "Iyaaa sayanggg," jawabku.
Setelah mandi dan berpakaian rapi, sarapan buatan Hafsah telah tersaji di meja makan. Dengan penuh hikmat aku menghampiri istriku yang sedang menuangkan nasi dan lauk ke piring.
"Mau sepiring berdua lagi?" tanyanya saat aku sudah duduk di sebelahnya.
Aku langsung merebahkan kepalaku di sisinya. "Iya dong, sekalian mau disuap sama Umi."
Hafsah terkekeh geli di sana. "Dasar si paling pengen disuap. Udah jadi suami juga." Lagi-lagi ia mengejekku.
Aku mengangkat kepala sambil tersenyum. "Nggak apa-apa suami manja ke istri sendri. Dulu kan Abi juga suka disuap sama teman-teman Abi."
Dia tidak menggubrisnya, karena sudah tahu siapa teman-teman yang aku maksud.
"Oh, iya, sayang. Sahabat-sahabat kamu yang di Jakata itu kapan kamu mau ngenalin ke aku?" tanyanya spontan.
Aku tersenyum lebar di sana. "Segera, ya, sayang." Pelukan hangat dan suapan mesra pagi itu menutup percakapan manis antara sepasang suami istri yang masih seumur jagung.
Memang baru tiga bulan kami berumah tangga, tapi rasanya sudah kepingin punya anak saja. Kasihan Hafsah kalau kutinggal sendiri ke tempat kerja, dia tidak ada teman mainnya. Kan, jadi mikir lagi sebentar malam harus berhasil! He he.
Oh, ya, ngomong-ngomong, teman aku yang ada di ibukota apa kabar ya? Mereka tahu nggak ya aku sudah nikah?
Tapi, apa mereka masih mengingat siapa aku setelah bertahun-tahun tidak bertemu?
Khususnya, Mas Azmi.
Gimana kabarnya, ya?
***To be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
7 Detik Sebelum Biru
SpiritualDi sebuah persinggahan batas kota tepi jalan, raut wajah Tama lagi-lagi terlihat berbeda dari sebelumnya. Gerimis terus saja mengetuk kaca mobil, setiap suara ketukannya mengiring rasa tak menentu yang sebentar lagi akan membuncah bak hati yang tak...