Episode 07: Tangisan Malaikat

1.1K 80 24
                                    

WELCOME BACK, MY BLUE BUTTERFLIES! 🦋💙

KOMEN LAGI DONG DI SINI 1000 kali, kangennn tauuuu!🦋😭🦋

SEBELUM BACA, INGAT INI YAAA:

- Pastikan kalian sudah follow akun wattpad ini, dan juga cerita 7DSB sudah masuk ke reading list, biar pas update selalu ada notifnya yang masuk ke hp kalian.
- Jangan lupa di-vote dan di-share ke teman sosial media kalian, racunin mereka untuk ikut baca 7DSB.
- Berikan komentar di setiap bagian yang membuat kalian bertanya-tanya atau penasaran.
- Jawab pertanyaan di bagian paling akhir bab.

Happy reading tengah malam kelelawar biru onlinequh!🐒🦋



[Cerita ini dilindungi undang-undang akhirat. Jika melakukan plagiat, akan dicatat oleh malaikat]


"Dialah malaikat tak bersayap bernama Umi, cinta kasihnya setulus hati tanpa pamrih."

🦋🦋🦋

Malam itu, Azmi menemani Umi Laila di ruang tengah yang sedang merajut syal biru untuk Azmi pakai perform di hari spesial ulang tahun Majelis Syubbanul Muslimin yang ke dua puluh tahun yang akan digelar di Tulungagung di akhir pekan. Tak terasa sudah dua dekade umur syubbanul berdiri yang meramaikan hari-hari Azmi sejak dirinya berumur dua belas tahun.

Acara seperti biasanya, akan disambut dengan penampilan spesial Azmi bersama dengan personil Syubban lainnya. Namun yang berbeda kali ini adalah Azmi membawa tanggungjawab baru yang membuat Umi Laila was-was. Kembalinya Tama yang sudah dianggap keluarga oleh umi abah Azmi dengan kondisi yang begitu terpuruk justru menyimpan rasa cemas pada orang tua Azmi.

Azmi yang duduk berhadapan dengan Umi Laila di sofa terus saja menatap wajahnya yang nan teduh. "Umi, nanti pokoknya Azmi mau Tama ikut ke acara, ya," pintanya.

Umi mengangguk setuju, wajahnya terlihat sumringah padahal dalam hati Umi ada kecemasan yang mendalam. Sudah sebulan Tama menjadi tanggungjawab Azmi. Segala kebutuhan Tama dari pengobatan hingga penghidupannya di apartement milik Azmi pribadi, semua dia seorang yang mengurusnya. Azmi tak ingin lagi kehilangan sahabatnya Tama, maka dari itu segala cara dia coba untuk kesembuhan Tama.

Anak laki-laki itu tidak henti-hentinya menatap wajah Umi Laila yang kecantikannya tidak pernah berkurang di mata Azmi. Dari ujung jilbab dan lingkaran wajahnya yang bercahaya penuh dengan pesona cah ayu dari jawa timur; kelopak mata yang tak ada kerutan sedikitpun hingga pelipis mata yang selalu diberi sentuhan warna hitam. Terlihat wajah khas nan indah dipandang. Lebih tepatnya tidak membosankan.

Senyuman Azmi yang terlukis menandakan rasa syukurnya memiliki sosok orang tua secantik Umi Laila. "Ternyata wajah ganteng ini turunan dari Umi," lirihnya dalam hati sambil menopang dagu dengan posisi kepala miring ke samping.

Hingga pada akhirnya Azmi pun mengajukan sebuah pertanyaan pada Umi Laila.

"Umi, Azmi mau tanya, deh." Azmi kemudian berpindah duduk di sebalah Umi dan meraih kedua tangannya.

Aktivitas merajut Umi Laila tidak terhenti, ingin sekali ia mengangkat dagu dan menatap anaknya yang wajahnya selalu terlihat menawan di setiap pandangan jatuh ke wajah Azmi yang penuh karisma. Namun rajutannya sedikit lagi selesai, jadi dia terus fokus dan tak ingin terbawa suasana.

"Pripun, Mas?"

"Bagaimana jika kelak Azmi tak bisa menjadi apa-apa?"

Umi yang sedang merajut seketika berhenti sejenak, mengarahkan atensinya untuk menatap wajah anak lanangnya. Pertanyaan itu membuat jantung Umi bergetar, sorot matanya begitu dalam menatap Azmi yang masih dengan senyum menawannya.

Mereka saling melempar tatapan penuh kasih sayang. Anak dan ibu sedang berusaha menerka-nerka isi hati masing-masing meski tak ada jawaban yang keluar langsung dari mulut mereka.

"Apa pun ceritanya nanti, kamu tetap anak Umi." Laila tersenyum hangat. "Mas tidak perlu memiliki segalanya hanya untuk hidup yang sementara."

Azmi masih berusaha tersenyum, tapi bibirnya sudah mulai bergetar. Bagaimana pun hasil akhirnya, atas segala perjuangan seorang anak hanya orang tualah yang selalu menerima baik buruknya dengan penuh ketulusan.

"Maaf, ya, Umi, kalau sampai sekarang ini Mas belum bisa jadi seperti yang Umi harapkan."

Beberapa kali Umi menggelengkan kepala, kemudian meraih kepala Azmi dan mencium keningnya. "Sampeyan jangan ngomong seperti itu. Umi jadi sedih. Sampeyan sudah berjuang untuk keluarga sampai detik ini adalah sebuah hal yang sangat membanggakan bahkan Umi sendiri merasa membebani sampeyan."

Air mata Umi seketika pecah ruah, mata Azmi turut berkaca-kaca. "Maafin Umi Abah, nggeh, Mas, sudah banyak ngerepotin sampeyan."

Kali ini Azmi yang menggelengkan kepalanya. "Mas nda' pernah merasa terbebani, Umi. Wallahi."

Suasana malam itu seketika menjadi haru, Azmi yang biasanya bisa mengontrol emosi kini sedang terisak oleh tangis. Suara hati Umi seperti penuh dengan kecemasan yang membuat Azmi terbawa perasaan, takut kalau langkah yang Azmi ambil keliru. Namun malaikat tak bersayap itu terus saja meyakinkan Allah melalui doa-doa panjangnya di malam hari agar pilihan Azmi berada dalam rencana terbaik Allah.

"Jika suatu hari Mas gagal, jangan pernah menyesali kegagalan itu. Ingatlah rencana Allah jauh lebih indah."

"Nggeh, Umi. Mohon doanya selalu."

Mereka saling berpelukan, saling menguatkan dan menghangatkan di tengah malam yang sendu. Umi tidak ingin melepaskan pelukannya dan Azmi ingin bermanja dalam dekapan malaikatnya. Dialah malaikat tak bersayap bernama Umi, cinta kasihnya setulus hati tanpa pamrih.

Sambil melanjutkan rajutannya, kali ini Azmi meminta untuk tidur di atas pangkuan Umi Laila sambil didongenkan kisah-kisah para nabi terdahulu dalam mengamalkan kebaikan-kebaikan ke sahabat-sahabatnya. Entah kapan Azmi terakhir bermanja dengan uminya. Sudah sangat lama. Di umur yang semakin dewasa, saat waktu pulang ke kampung halaman di Blitar, Azmi justru ingin waktu-waktu kepulangannya menjadi romantis dengan uminya, ingin disuap, dipangku, bahkan ciuman kening dari Umi adalah hal yang tak lagi sering didapatkan oleh Azmi di umurnya yang semakin bertambah tiap tahunnya.

Meskipun Azmi terbaring di pangkuan Umi, pikirannya masih tertuju pada Tama yang sudah Azmi tinggalkan selama tiga hari di ibukota dan dititipkannya pada seseorang yang kurang mengenal sosok baru Tama dan penyakitnya. Kekhawatiran pun muncul, sampai Azmi tidak sabar menunggu hari esok karena kebarangkatan Tama dari Jakarta menuju Surabaya sudah dijadwalkan besok siang, dan Azmi sendiri yang akan menjemputnya di bandara.

Jelang beberapa menit kemudian, akhirnya dongeng telah berhasil membuat Azmi tertidur di atas pangkuan malaikatnya.

🦋🦋🦋

to be continued

Pertanyaan untuk blue butterflies:

Kalian pernah tidur di atas pangkuan Ibu/Umi?

Kalau iya, di umur yang ke berapa?

Pengen nggak sih mengulang momen langka itu?😭🥹

7 Detik Sebelum BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang