Episode 08: Masa Lalu yang Asing

395 25 8
                                    

WELCOME BACK, MY BLUE BUTTERFLIES! 🦋💙

KOMEN LAGI DONG DI SINI 1000 kali, kangennn tauuuu!🦋😭🦋

SEBELUM BACA, INGAT INI YAAA:

-  Follow IG (@)7detiksebelumbiru (@)yudiiipratama (@)tekad.universe

- Pastikan kalian sudah follow akun wattpad ini, dan juga cerita 7DSB sudah masuk ke reading list, biar pas update selalu ada notifnya yang masuk ke hp kalian.

- Jangan lupa di-vote dan di-share ke teman sosial media kalian, racunin mereka untuk ikut baca 7DSB.
- Berikan komentar di setiap bagian yang membuat kalian bertanya-tanya atau penasaran.
- Jawab pertanyaan di bagian paling akhir bab.

Happy reading tengah malam kelelawar biru onlinequh!🐒🦋



[Cerita ini dilindungi undang-undang akhirat. Jika melakukan plagiat, akan dicatat oleh malaikat]

"Dialah malaikat tak bersayap bernama Umi, cinta kasihnya setulus hati tanpa pamrih."

🦋🦋🦋

Malam itu, Azmi menemani Umi sebelum bertolak ke Ibukota. Abah lagi ada acara majelisan di luar daerah hingga mengharuskannya untuk menginap dan balik esok pagi. Di rumah, semua sudah pada tidur kecuali Azmi.

Sudah pukul sepuluh malam, Azmi berulang kali menatap layar ponselnya, melihat notifikasi jika sewaktu-waktu Tama menghubunginya. Sebelumnya, ia memberikan ponsel baru pada sahabatnya itu agar bisa berkomunikasi.

Wajah Tama terus saja menghantui Azmi, mengingat kondisi sahabatnya itu belum benar-benar pulih, ia merasa bersalah meninggalkannya sendirian di apartemen untuk beberapa hari. Meskipun ada seorang bibi yang Azmi pekerjakan untuk mengurus apartemen, tetapi ia hanya datang pagi menyiapkan sarapan dan beberes, menyiapkan makan malam setelah itu pulang. Sewaktu-waktu ia juga mengawasi kondisi Tama, tetapi tetap saja Azmi tidak berhenti mengkhawatirkannya.

Ponsel Azmi berdering, satu notifikasi WhatsApp masuk.

Pesan dari Tama:

• Azmi
• Saya ingat sesuatu

Azmi bangkit dari tidur, ia mengedipkan mata beberapa kali seperti tidak percaya. Azmi membalas  pesan tersebut.

• Serius?
• Alhamdulillah🥲
• Apa yang kamu ingat?

Di seberang sana, Tama seorang diri sembari menatap kemalangannya dari jendela apartemen yang menampakkan langit Jakarta dan gedung-gedung menjulang tinggi. Sedangkan pesan Azmi hanya dibaca sembari meraba-raba apakah ingatannya itu adalah benar atau hanya sekadar bayangan lalu saja. Kepala Tama mulai terasa nyeri.

Sudah hampir lima menit, Tama belum juga membalas pesan Azmi, ia hanya membacanya saja. Azmi gelisah, ia menatap wajah Umi yang sudah tertidur pulas di sebelahnya. Ia  berniat untuk menghubungi Tama, tanpa berlama-lama lagi Azmi beranjak dari kamar menuju ruang tengah.

Telepon Azmi terhubung pada Tama. "Assalamualaikum. Tama?" panggilnya langsung tanpa basa basi.

"Waalaikumsalam. Iya." Suara datar itu masih saja terdengar serupa seperti sebelum Azmi meninggalkannya.

Azmi mengembuskan napas. "Hmm. Apa yang kamu ingat, Tama?"

"Entahlah. Masa lalu."

Dahi Azmi mengernyit. "Maksudnya?"

"Saya tidak tahu apakah itu masa lalu saya atau bukan. Itu terasa asing. Seperti bukan terjadi sama saya."

"Apa yang kamu lihat?"

"Saya melihat beberapa orang memukuli orang yang mirip sekali denganmu."

Azmi menelan ludah. "Hah? Aku?"

Suara sumbang Azmi membuat Tama tertunduk. "Tapi ... di sana saya sama sekali tidak melakukan apa-apa. Saya hanya diam melihat orang itu dipukuli sampai babak belur."

Azmi menarik napas panjang. "Te—terus?" Ia mulai terbata-bata.

Suara Azmi mulai bergetar, ia seperti menyembunyikan sesuatu yang telah terjadi pada mereka di masa lalu. Tama tidak melanjutkan pembicaraannya, ia tertegun dan tak mampu lagi membahasakan apa yang ada di ingatannya yang masih samar-samar.

Azmi merebahkan tubuhnya di atas sofa, tangannya disandung ke kepala. Lagi-lagi suara decak terdengar. Seperti ada penyesalan atau sesuatu hal yang membuat perasaan Azmi tidak enak terhadap Tama. Kenapa pula ingatan itu yang harus muncul pertama kali? Apa tidak bahaya untuk kesehatan mentalnya yang sedang terguncang?

Di sela-sela pikiran Azmi yang tak karuan itu, Tama justru balik bertanya pada Azmi. "Kamu baik-baik saja, kan?"

Seketika Azmi tersadar. "Em? Aku? Alhamdulillah. Aku baik-baik saja di sini. Besok sudah balik, kok."

"Saya minta maaf, ya, kalau banyak merepotkan kamu."

"Nggak Tama. Kamu sama sekali tidak merepotkan aku. Aku yang harusnya meminta maaf karena terlambat menemukanmu."

"Saya tidak tahu masa lalu saya seperti apa, saya juga tidak tahu seperti apa saya di masa lalu. Semua masih terasa asing. Kalau pun saya ada salah di masa lalu. Bisakah kamu memaafkan saya?" jelas Tama.

Azmi mulai berkaca-kaca. Mendengar ucapan Tama seperti menyalahkan diri membuat Azmi iba dan tak bisa berkutip. Kembali Azmi menarik napas panjang, ia mencoba mengatur suasana hatinya agar tidak terdengar sedih oleh Tama.

"Saya tidak tahu umur saya sampai kapan. Makanya saya harus meminta maaf sebelum terlambat. Dengan kondisi saya sekarang ... saya hidup, tapi seperti tidak hidup," lanjutnya.

"Husss. Kamu jangan ngomong seperti itu, Tama! Aku sudah janji sama kamu kalau kamu akan sembuh total! Aku tidak akan pernah meninggalkanmu ataupun kamu tidak akan pernah lagi meninggalkan aku. Okeee?!" Suara tegas Azmi terdengar berat.

Dengan ekspresi datarnya Tama mengangguk di seberang telepon. Sampai sekarang, Tama kesulitan memberikan ekspresi bahagia dan sedihnya itu pada Azmi. Semua terasa hambar. Azmi sudah mulai tersedu-sedu di sana, sedangkan Tama kembali menatap keluar jendela apartemen. Menatap bintang yang menyala terang, ia terlihat suka dan mulai terbiasa suasana malam yang sepi seorang diri di sana. Nggak terasa sudah hampir sejam mereka teleponan tanpa berbicara, baik Azmi maupun Tama sama-sama tak menutup sambungan telepon itu. Di penghujung malam, mata Azmi sembap karena memikirkan nasib sahabatnya yang seolah bintang redup yang tak tampak di tengah gemerlap malam. Seperti tak ada lagi masa depan yang terlihat.

Sampai kemudian, Umi datang memeluk Azmi. Seolah menjadi sayap pelindung Azmi agar tetap kokoh dan kuat juga ikhlas dalam membantu proses penyembuhan Tama. Di penghujung malam, Umi hadir bagai malaikat tak bersayap yang cinta kasihnya setulus hati tanpa pamrih pada Azmi. Wajah Azmi yang tadi murung terlihat sumringah karena hanya dengan pelukan itu, Amzi bisa lebih tenang dan bisa berpikir dengan jernih.

Sedangkan di sana, Tama, juga membutuhkan sebuah pelukan. Pelukan yang tak tahu kapan itu akan ia dapatkan. Sejatinya, Tama merasakan bahwa hidup Azmi selalu ada di bayang-bayang dirinya karena sahabatnya itu tengah menggenggam bara api. Apa pun yang terjadi, Tama sudah menjadi tanggung jawab Azmi sampai ia benar-benar sembuh total.

***
To be continued

Insya Allah, bab ini di versi novel akan lebih panjang ya guys! Hayuk divote dan komen!!!

7 Detik Sebelum BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang