"Awas aja kalau lain kali kayak gini lagi, aku gak mau ngurusin Lily, Lobak, Lada lagi!" Murka, gue masih kesal dengan tindakan Mas Raya yang semena-mena.
"Maaf ya, tapi kan saya udah izin sama ayah kamu. Jadi, beliau gak perlu khawatir," balas Mas Raya sembari mengemudi mobil.
"Iya sih, tapi kan tetep aja! Pokoknya besok-besok aku gak mau diajak pergi mendadak kayak gini!" gerutu gue. Mas Raya hanya memasang wajah datarnya dan fokus melihat ke arah jalan di depannya.
Sekarang gue dan Mas Raya tengah berada di perjalanan menuju rumah Mas Raya. Alasan kenapa gue marah-marah ke Mas Raya tadi adalah karena dia dengan seenak jidatnya ngajak gue pergi ke rumahnya. Bayangkan betapa panik dan gugupnya gue saat tahu akan dibawa pergi bertamu ke rumah keluarga crazy rich ini?
"Ames, kamu masih marah sama saya?" Tiba-tiba saja Mas Raya bersuara.
"Ya pikir aja sendiri!"
"Benar, kamu masih marah."
"Ya iyalah! Memangnya siapa yang gak kesal kalau tiba-tiba diajak pergi ke rumah konglomerat?" ucap gue yang agaknya sih terdengar seperti sebuah sindiran.
Mas Raya mengangguk-angguk, kemudian berkata, "Kamu gugup karena saya ajak ke rumah?"
"Iya! Setidaknya kasih tahu lebih awal supaya aku bisa siap-siap," jawab gue sambil menatapnya, "kalau begini kan aku kelihatan jadi kayak gembel banget."
Suara kekehan Mas Raya terdengar. Ia terkekeh menanggapi jawaban gue. "Kalau kamu gugup kesannya kayak saya mau ngenalin kamu ke orang tua saya lho."
Terdiam, gue baru sadar kalau kalimat yang dilontarkan Mas Raya barusan ada benarnya. Kenapa gue malah gugup ya? Toh, gue bertamu ke rumah Keluarga Gunawan sebab adik bungsu Mas Raya yang meminta gue untuk datang, bukan karena Mas Raya ingin memperkenalkan gue kepada orang tuanya. Kata Mas Raya, adik bungsunya yang bernama Khalen memaksanya untuk mengajak gue berkunjung ke rumah keluarga konglomerat ini.
"Lagian kita gak punya hubungan apa-apa, Mas. Jadi, Mas gak punya urgensi untuk memperkenalkan aku ke orang tua Mas." Mulut gue dengan lancarnya berkata demikian.
"Oh, jadi kamu mau punya hubungan sama saya?" Ia menyeringai tipis dan melirik ke arah gue. Membuat gue merutuki mulut yang sembarangan berkata-kata. Tak mau salah bicara lagi, gue memilih diam dan tak mengacuhkannya.
Dua puluh menit kemudian, kami tiba di sebuah wilayah di pinggir Jakarta. Daerah yang cukup jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Di samping kanan dan kiri terdapat banyak pepohonan yang mengelilingi jalan. Hanya ada mobil Mas Raya di sepanjang jalanan ini, artinya jalanan ini bukanlah jalan umum. Kini di depan kami terdapat sebuah gerbang yang menjulang tinggi. Gerbang itu dijaga oleh tiga orang sekuriti dan seekor anjing penjaga. Para sekuriti itu menunduk hormat, lalu membukakan gerbang untuk kami.
Sebuah rumah tingkat tiga dengan halaman yang amat luas terpampang jelas di depan gue. Mulut gue ternganga, takjub melihat bangunan ini. "Ini rumah Keluarga Gunawan? Besar banget!"
"Enggak sebesar itu kok," ucap Mas Raya merendah.
Merendah untuk meroket sih lebih tepatnya.
Mas Raya memarkirkan mobilnya di garasi yang terletak di sisi kiri halaman rumah. Gue kaget ketika melihat beberapa mobil yang terparkir di dalam garasi ini. Jari gue menunjuk satu per satu mobil itu, menghitung berapa banyaknya mobil yang dimiliki oleh Keluarga Gunawan.
"Gila, mobilnya ada tujuh! Buat apaan aja ya mobilnya?" Gue bermonolog ria.
"Yang di pojok itu mobil papa, kalau itu mobil mama. Di sebelah mobil mama itu mobilnya Kafman. Yang lainnya bukan mobil milik pribadi, tapi mobil untuk keperluan keluarga," papar Mas Raya sambil menunjuk mobil-mobil itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hey Jakarta [CITY]
General Fiction[Reality World] 17+ Tiap insan yang lahir di Bumi tentu memiliki pesonanya masing-masing, tetapi mereka tidak dapat memilih di mana mereka akan dilahirkan. Jakarta bukan hanya sekadar tempat Tuhan menapaskan hidupnya, menjelajah lebih jauh dari itu...