Sebuah gedung menjulang tinggi di depan gue, gedung itu adalah Perpustakaan Nasional, tempat pelarian gue untuk menghabiskan waktu luang. Gue sudah sering ke tempat ini, tiap akhir pekan pasti gue menyempatkan diri untuk mampir, tetapi kadang di luar akhir pekan pun gue juga suka berkunjung, contohnya seperti hari ini. Bermodalkan tas yang berisi laptop dan kawan-kawannya, gue masuk ke dalam gedung.
Dari gerbang Perpusnas, gue harus melewati sebuah bangunan berbentuk rumah terlebih dahulu. Bangunan ini menyimpan banyak catatan tentang tulisan atau aksara dari berbagai penjuru dunia. Aksara Kawi, Jawi, Sunda Kuno, dan lainnya, tersimpan di bangunan ini. Tak hanya itu, di sini juga terdapat sebuah ruangan yang berisikan sejarah perkembangan media tulis dari masa ke masa. Di salah satu ruangan dari bangunan ini terdapat sebuah cermin yang menggantung di atas meja, biasanya cermin ini sering digunakan untuk mirror selfie oleh para remaja.
Melewati bangunan tadi, gue pun akhirnya menginjakkan kaki di gedung Perpusnas yang sesungguhnya. Ketika memasuki gedung, akan nampak sebuah globe berukuran raksasa yang menyambut siapa saja yang datang ke sini. Beberapa televisi yang menampilkan rekaman seputar presiden-presiden yang pernah memimpin Indonesia pun turut menyambut.
Kaki gue melangkah menuju ruangan yang terletak di sisi kanan dari pintu masuk, ruangan ini adalah tempat untuk menitipkan tas. Saat berada di dalam lingkungan Perpusnas, pengunjung dilarang membawa atau memakai tas pribadi sebab pihak Perpusnas sudah menyiapkan tas khusus untuk pengunjung. Gue mengeluarkan laptop beserta charger-nya dari dalam tas pribadi dan memindahkannya ke dalam tas khusus, kemudian gue menitipkan tas gue di salah satu loker.
Karena hari ini bukan weekend, pengunjung yang datang tak begitu ramai. Biasanya kalau weekend, Perpusnas akan ramai dikunjungi oleh generasi muda. Entah untuk membaca, mengerjakan dan mencari referensi tugas, atau bahkan hanya sekadar untuk berfoto ria di lantai 24 yang terkenal dengan pemandangannya.
Namun, sepertinya keberuntungan sedang tidak menyertai gue kali ini. Sudah hampir sepuluh menit gue menunggu lift yang akan mengantar gue ke lantai sembilan, tetapi lift yang ditunggu tak kunjung datang. Sekalinya datang, lift-nya sudah penuh.
Kesal, gue pun memutuskan untuk mengambil jalan pintas, yakni lewat tangga darurat. Beberapa pasang mata yang juga tengah menunggu lift itu menatap ke arah gue yang berjalan menuju tangga darurat. Memang tidak banyak orang yang mau lewat tangga darurat sebab melelahkan, tapi bagi gue ini bukanlah hal yang melelahkan.
Cuma sembilan lantai, gak bikin capek kok.
Satu per satu anak tangga gue naiki hingga tibalah gue di lantai sembilan, salah satu hidden gems di Perpusnas yang tak banyak diketahui. Sebenarnya lantai sembilan adalah lantai di mana naskah-naskah kuno Nusantara disimpan. Di lantai ini ada banyak sekali buku perihal naskah Nusantara, seperti buku ensiklopedia, saduran, buku seputar perwayangan, cerita rakyat, dan lainnya. Terdapat pula replika-replika dari naskah Nusantara yang terkenal, seperti naskah La Galigo dan Kitab Negarakertagama. Di ujung lantai ini juga ada naskah-naskah sastra lama-gurindam, syair, dan sebagainya.
Akan tetapi, yang membuat gue sangat suka dengan lantai sembilan adalah ruang bacanya. Ya, di lantai sembilan terdapat beberapa ruang baca yang dikhususkan untuk satu orang saja. Jadi, satu ruang baca hanya bisa diisi oleh satu orang. Tentu ini adalah hal yang bagus karena tidak akan ada orang yang mengganggu kita saat sedang asyik membaca di dalam ruang baca. Selain itu, ruang baca khusus di lantai sembilan juga menawarkan pemandangan Monumen Nasional yang berhadapan langsung dengan Perpustakaan Nasional. Makanya, lantai sembilan layak untuk disebut sebagai hidden gems!
"Ames tumben datang siang, biasanya kalau ke sini kan selalu dari pagi," tegur salah satu pustakawan yang berjaga. Saking seringnya gue ke sini, pustakawan-pustakawan lantai sembilan sudah mengenal gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hey Jakarta [CITY]
Fiksi Umum[Reality World] 17+ Tiap insan yang lahir di Bumi tentu memiliki pesonanya masing-masing, tetapi mereka tidak dapat memilih di mana mereka akan dilahirkan. Jakarta bukan hanya sekadar tempat Tuhan menapaskan hidupnya, menjelajah lebih jauh dari itu...