12. Old Town Batavia

543 79 8
                                    

"Panas banget, ya," kata Mas Raya sembari memakai kacamata hitamnya.

Mengangguk, gue setuju dengan perkataan Mas Raya. Langit Jakarta siang ini ditemani oleh panasnya terik matahari. Gue mengeluarkan selembar tisu dari dalam tas, kemudian memberikannya kepada Mas Raya. "Nih, seka dulu keringatnya."

Tangannya menerima tisu pemberian gue, kemudian ia mengelap wajah rupawannya dengan tisu tersebut. Saat ini, gue dan Mas Raya sedang berada di Kota Tua Jakarta. Kami ingin berkunjung ke beberapa tempat bersejarah yang ada di sini.

"Kenapa orang-orang ngelihatin saya mulu, ya?" tanya laki-laki bermarga Gunawan itu, "saya tahu saya ganteng, tapi gak perlu dijadikan pusat perhatian juga dong."

Gue memutar bola mata mendengarnya. "Wajarlah jadi pusat perhatian, kamu salah kostum!"

Ya, Mas Raya memang salah kostum! Siapa yang tidak akan melihat ke arahnya jika ia datang ke sini dengan pakaian bertemakan pantai? Mas Raya mengenakan kemeja pantai dan celana pendek, lengkap dengan kacamata hitamnya. Hal itu tentu membuatnya nampak berbeda di antara kerumunan.

"Saya bosan dengan pakaian formal, sesekali pakai yang seperti ini."

"Tapi gak perlu pakai baju pantai juga, Mas ..." Gue menghela nafas, terserah Mas Raya saja deh!

Kami berjalan memasuki Taman Fatahillah, melewati satu per satu bangunan tua lainnya. Baru beberapa langkah menginjakkan kaki di sini, gue sudah merasakan banyak hal. Tidak sedikit makhluk halus yang menatap gue, mereka tentu menyadari eksistensi gue di sini. Beberapa bahkan nekat mengajak gue berinteraksi.

"Ames? Are you okay? Saya dari tadi ngajak kamu ngobrol, lho." Sembari menepuk pundak gue, Mas Raya bertanya.

"Eh? Yeah, I'm good."

"Kamu jangan bikin saya takut," ucapnya. Mas Raya yang sedari awal tahu kalau gue mempunyai kemampuan khusus pun bergidik ngeri melihat tingkah gue. "Kamu habis lihat apa?"

Pertanyaannya tak langsung gue jawab, justru gue menunjuk ke sebuah bangku yang berada di depan salah satu gedung tua. "Di situ ada kakak-beradik, mereka hanya bisa menangis."

"Kenapa mereka menangis?"

"Entah, gak tahu juga," jawab gue dengan jujur, "aku cuma bisa lihat mereka, bukan lihat isi hati dan pikiran mereka, Mas."

Laki-laki itu mengangguk setuju. Kami pun membeli tiket Museum Fatahillah, kemudian masuk ke dalamnya. Ini bukanlah pertama kalinya gue ke museum ini, tetapi ini adalah pertama kalinya Mas Raya ke sini. Ia mengedarkan pandangannya, memperhatikan sekelilingnya.

Dengan langkah kaki yang bersahutan, kami berjalan mengelilingi museum, melihat banyaknya benda-benda bersejarah yang tersimpan rapi di sini. Akan tetapi, tiba-tiba saja Mr. Unknown Ghost dan Harai muncul entah dari mana.

"Kalian ngapain ke sini?" bisik gue sepelan mungkin agar tidak terdengar oleh Mas Raya.

"Kami dari tadi ngikutin kamu, tapi kamunya saja yang gak sadar." Harai membalas pertanyaan gue.

"They are on a date, Harai. Of course Ames did not notice our presence, she only gave her attentions to Raya!" Mr. Unknown Ghost menimpali.

Sialan, gue kena roasting dari yang tak kasat mata!

Gue memilih untuk mengabaikan mereka dan kembali menikmati isi museum ini. Setahu gue, Museum Fatahillah dulunya dibangun untuk dijadikan sebagai balaikota di Batavia. Namun, seiring berjalannya waktu, bangunan ini telah mengalami beberapa alih fungsi. Selain dijadikan sebagai balaikota atau tempat administrasi pemerintahan Kota Batavia, bangunan ini juga pernah dijadikan sebagai tempat pengadilan dan kantor catatan sipil.

Hey Jakarta [CITY]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang