Tongkat putih diayunkan. Seketika, kelas tadi dipenuhi sesuatu seperti pasir yang membungkus mereka dengan kecepatan tinggi. Clau dan Ella bahkan sampai harus saling berpegangan agar tak terikut arus pasir halus yang mengelilingi mereka. Menatap nanar pada sang guru, yang tengah tersenyum sinis.
Keduanya agak takut, bagaimana jika ada salah seorang dari pasukan hitam yang ternyata adalah mata-mata disini dan mulai membunuh para murid untuk menyebarkan teror?
"Ada bantahan dari kata-kataku tadi?" ucap Sir. Jun lagi masih dengan wajah datar namun senyum yang cukup sadis.
Ella maju dengan susah payah, berusaha ingin memberikan perlawanan dengan kekuatannya yang memang tak main-main. Namun, untuk berjalan mendekat saja terasa sulit di tengah badai pasir dadakan ini. "Sir, jangan bilang anda adalah salah satu anggota pasukan hitam?" Tanya Ella waspada begitu sadar sebuah kalung berwarna hitam menggantung di lehernya dengan bandul yang juga berwarna hitam.
"Kenapa? Kalian takut jika seandainya aku berkata ya?" balasnya lagi. Kini dengan ekspresi wajah tersenyum jahat. Ella atau Clau tak akan mengelak bahwa senyum itu cukup cocok untuk tampil di wajah guru mereka karena hanya akan membuatnya semakin tampan. Namun tidak di keadaan seperti ini.
Ella yang makin was-was dan Clau yang tak tau harus berbuat apa. Badai semakin mengganas, Clau memejamkan matanya. Mencoba fokus untuk menggunakan kekuatan yang telah lama tak ia pergunakan.
Lampu ruangan berkedip, terasa hingga di dalam badai pasir kecil-kecilan ini. Ella menatap tak percaya pada temannya, sekuat inikah kekuatan si anak baru keturunan vampire darah murni?
Namun tak cukup lama, di detik berikutnya Clau jatuh terduduk. Merasa staminanya hilang seketika namun masih sadar. Liquid merah mengakir dari lubang hidungnya, Ella berlari kembali melihat kondisi sang teman.
"Ahahaha kalian mengingatkanku dengan Grace dan Rietta. Reaksi yang sama saat ditantang duel untuk pertama kali. Hahaha kalian begitu mengesankan." Suara tawa Sir. Jun memenuhi indra pendengaran. Perlahan, badai pasir mereda dan hilang entah kemana. Menyisakan mereka bertiga.
"Bagaimana anda tau nama ibuku?" Tanya Clau berusaha bangkit. Mungkin dengan salah seorang yang tau soal ibunya akan memberikan titik terang dari misteri pembunuhannya.
"Yah, aku teman sekelas dengan Grace dan Rietta sejak senior high scholl. Aku Junhui penyihir debu lulusan tahun ke-10534 sama dengan orangtua kalian."
Baik Clau maupun Ella terdiam. Bengong. Masih mencerna apa yang baru didengarnya. Sir. Junhui mengambil tindakan, berjongkok dan mulai mengangkat Clau yang masih terduduk lantas menggendongnya di depan.
"Sir?" Tanya Clau agak waspada.
"Tenang aku tak akan berbuat macam-macam. Aku hanya akan mrmbawamu ke unit kesehatan. Ella, tolong bawakan tas kalian." Ucapnya lagi sebelum berjalan keluar dengan diekori Ella.
"Pura-pura tertidur saja jika kau tak ingin dapat masalah yang merepotkan." Bisiknya pada gadis di gendongannya. Clau menurut, berposisi dan berlagak tidur.
Semua orang yang dilewati tampak menanyakan siapa gadis yang kiranya digendong oleh sang guru sejarah. Sangat banyak sampai-sampai Clau pun tak bisa menghitungnya.
"Sudah sampai. Berbaringlah, aku akan memanggil penjaga untuk memeriksamu." Berkata begitu, Sir. Jun dengan cepat mengambil langkah seribu keluar dari pintu ruang kesehatan.
"Clau, guru tadi. Aku agak merasa aneh dengannya." Bisik Ella takut jika tindakan mereka ketahuan lagi.
"El, bisa bicarakan itu nanti saja? Kepalaku terasa sangat pusing." Sanggah Claudia kembali menutup mata walau benaknya pun masih bertanya-tanya.
Siapa sebenarnya Sir. Junhui dan apa hubungannya ia dengan kematian ibunya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Is It Happy Ending?
Fantasy"Kalian menggunakan sapu terbang disini?" "Hah? Darimana pula kau dengar hal kuno seperti itu?" "Lihat ada yang melangsungkan duel di aula!" "Ehh, siapa? Aku ingin lihat." "Xing Hee dan Kak Himeko. Ayo lihat bersama! Kapan lagi melihat Ketua osi...