Chapter Seven : Pain of The Truth

636 79 16
                                    

Sejak tadi ia mengamati hasil pemeriksaan dari dokter seminggu yang lalu. Rasa tak percaya masih menikam dadanya karena hasil tersebut. Ada ketakutan yang kian menerpa memikirkan nasib dirinya kedepannya. Bisakah ia bertahan dengan kondisinya sekarang? Ataukah ia harus menuruti egonya demi kebaikan semua?

Menurut tetangga yang juga mengetahui kondisinya, Jisung harus bertahan. Tapi ia sendiri pun tak mengerti cara bertahan dengan masalah yang tengah ia hadapi.

Berulang kali ia memeriksa laman web, tak ada artikel bagus mengenai kondisinya. Semua bagai fiksi yang sulit sekali ditemukan kebenarannya. Penjelasan dokter tak mampu menjangkau nalarnya.

Hingga satu panggilan di gawainya buyarkan pemikirannya. Jisung mengangkat panggilan tersebut dengan segera. Suara lembut dari seberang telepon sejenak tenangkan gundahnya. Sang bunda menanyakan kabarnya yang lama tak mengabari.

"Ji, bunda mau mampir boleh?"

"Bun, Ji udah gak tinggal sama Hyunjin."

"Oh ya? Terus dimana kamu tinggalnya sayang?"

"Didekat kampus bun."

"Ya udah share aja alamatnya nak."

"Baik bunda..."

Sudah pasti nanti Jisung akan di hadiahi beragam pertanyaan dari bundanya. Jadi daripada ia memikirkan hal itu, Jisung memilih bersiap seusai memberitahukan alamatnya pada sang bunda.

Pintu kamarnya di ketuk oleh seseorang, memecahkan konsentrasi Jisung untuk tetap berdiam diri sementara menunggu bundanya datang.

Begitu pintu terbuka, sebuah senyum yang ia hapal belakangan ini menyambutnya. Bangchan berdiri di depan pintunya bersama dengan sekantong plastik berisikan sarapan untuknya.

"Ayo makan, Ji." Jisung menghela nafas berat lalu membiarkan Bangchan masuk ke dalam kamarnya.

"Kenapa kamu makin peduli sama aku, Chan?" Tanya Jisung sembari melihat Bangchan yang tengah sibuk menyiapkan sarapan agar mereka bisa makan bersama. Kedua tangan Bangchan mendadak diam, ia tatap Jisung yang juga menatapnya dengan raut tampak masih seperti hari sebelumnya.

Menolak perhatiannya.

Dan Bangchan seperti biasanya menghampiri Jisung lalu membawa lelaki pemilik kamar itu untuk duduk di dekatnya. Bangchan menggenggamkan sendok ke tangan Jisung.

"Makan, Ji."

"Buat apa, Chan? Biar dia sehat?" Bangchan menggelengkan kepalanya.

"Buat diri lo sendiri. Gue gak mau lihat tulang lo kelihatan." Jisung terdiam sejenak memperhatikan sendok di tangannya.

"Kenapa kamu peduli?"

"Karena itu elo. Udah ayo makan, atau mau gue suapin?" Jisung menggelengkan kepalanya.

"Makan yang banyak, kan lo mau latihan lagi nanti sama anak-anak."

"Latihan? Kamu masih mau aku ikut gabung sama mereka?"

"Memangnya kenapa?" Jisung menundukkan kepalanya dalam.

"Orang aneh seperti aku rasanya gak pantes di dekat kalian." Bangchan menghela nafas berat mendengarnya. Ia mendekati Jisung dan kembali memeluk lelaki itu untuk kembali menenangkannya. Setelah tau jika ia mengalami kondisi spesial, Bangchan tau perasaan Jisung jadi lebih sensitif.

"Denger, gue emang sempat kaget. Tapi dunia ini emang penuh kejutan, Ji. Lo gak aneh, lo itu spesial Ji. Kalau memang lo benci dia, gue titip sebentar sama lo. Lo bisa kasih dia ke gue nanti, biar gue yang rawat." Jisung meremas baju Bangchan cukup erat.

Break Up! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang