Bagian 1

46.7K 308 8
                                    

DESAH MERESAHKAN DI BILIK SEBELAH

"Suara apa itu?"

Kami berdua mendengarkan, samar-sama terdengar sebuah erangan dan lenguhan, seperti dua orang yang sedang bertempur dalam perang. Ada suara perempuan dan laki-laki dengan nada berirama, berpacu dalam buaian.

*****
.

.

"Hanya satu tahun saja, gak usah heboh, deh!" ucap ucap ibuku yang kini berusia hampir 50 tahun dan masih kelihatan sangat cantik. Aku kalah memang.

"Aku tuh gak ngerti sama jalan pikiran orang tuaku sendiri, ada yang datang anak sultan, pada ditolakin. Giliran yang biasa-biasa saja kerja di kebun, malah sigap. Sungguh aneh dunia ini!" jawab Sisy yang sejak tadi sibuk mengemas pakaian.

"Kami itu hanya ingin yang terbaik untuk kamu!" jawab ibunya.

"Aturan terima tuh anak bos batu bara, Ma. Dimana parfumnya aja bau duit!"

"Matre kamu!"

"Lah ... baru tahu? Kemana saja emak gue!"

Sebuah bantal melayang ke wajah Sisy seketika, lalu dengan santainya sang ibu melenggang pergi meninggalkan kamar anak perempuan satu-satunya ini.

Satu bulan yang lalu aku menikah dengan seorang pemuda yang entah datang dari mana asalnya, karena saat datang tidak dijemput dan pulang justru diantar. Hih! Merepotkan sekali.

Namanya Rasya, keren kan? Memang keren. Tapi dia seorang tukang kebun, mama bilang sih mandor, tapi ya tetap saja tukang kebun namanya. Jadi, apa yang aku alami saat ini adalah definisi dari pilih-pilih dapat begitu. Usia Rasya lima tahun di bawahku, bisa dibayangkan betapa aku terlihat seperti kakaknya, atau mungkin ibunya. Tidak! Aku memiliki wajah yang imut, menurutku. Sayangnya menurut orang lain tidak. Its oke.

Kami saling mengenal dua bulan yang lalu, setelah itu tanpa pikir panjang, Papa langsung memintanya menikah dengan putri kesayangannya ini. Seketika aku merasa buruk rupa sehingga menikah pun harus dijodohkan.

Ting!

Aku raih ponsel itu dan sebuah pesan datang dari suamiku yang pendiam.

[Sudah selesai semuanya? Insyaallah aku sore ini sampai.]

[Oke! Aku lagi siap-siap!]

[Bawa seperlunya saja, jangan banyak-banyak]

[Iya!]

Aku tutup kembali ponsel itu, lalu menyelesaikan semuanya. Tidak banyak yang ku bawa, hanya lima tas besar saja. Sisanya ku biarkan di sini."

****

.

.

Hari ini keberangkatanku ke tempat baru, rasanya kaki berat melangkah, membayangkan kehidupan di sana yang berbeda dengan yang biasa aku jalani. Ditambah hanya berdua dengan Rasya si manusia dingin, tak bisa dibayangkan betapa membosankannya di sana.

"Di sana kan enak, rumahnya adem, pinggir-pinggirnya kebun teh. Kamu pasti betah, bisa dilanjut deh itu hobi menulismu!" ucap ibuku. Sejak awal dia memang yang paling jatuh cinta pada Rasya, rasanya ingin ku suruh ibu yang menikah saja. Tapi baru saja mangap, aku sudah disentilnya.

"Kemanapun suamimu pergi, kamu harus mengikutinya, sekalipun harus tinggal di kolong jembatan! ucap Papaku yang tegas dan baik hati, meski kumis baplangnya terkesan sangar, tapi hatinya pink. Seketika aku diam dan tidak bisa berkata-kata. Bulu kuduk merinding, memang begitu sensasinya kalau Papa ngomong, heran.

Tanpa banyak drama lagi, aku dan Rasya pun masuk ke dalam mobil.

"Segini bawaanmu?" tanyanya.

"Iya? Kenapa memang?"

DESAH DARI BILIK SEBELAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang