DESAH MERESAHKAN DI BILIK SEBELAH
BAGIAN 2
"Saya mau masak dulu, ya! Kang Arya mau berangkat ke kebun lebih cepat," ucap Sri.
Aku mengangguk, lalu Yuni dan Nina pun turut pamit setelahnya. Rata-rata mereka adalah ibu muda, seumuran denganku. Anak mereka baru satu, kecuali Sri, ia memiliki dua anak, tidak heran. Mendengar sesuatu aneh semalam, sepertinya ia akan memiliki banyak anak.
Sementara aku kembali masuk ke dalam rumah, tidak tahu akan melakukan apa lagi di sini, begitu membosankan. Semua pekerjaan rumah sudah selesai, rumah sudah rapi. Meski Mama Papa terbilang orang yang cukup terpandang, tapi aku sama sekali tidak manja, aku terbiasa dengan pekerjaan rumah. Karena sejak dulu, tidak akan dompet terisi bila aku belum mengerjakan pekerjaan rumah. Ibuku mendidik sedikit keras untuk hal ini.
"Pasarnya dimana? Kita mau makan apa?" tanyaku pada si berondong.
"Nanti aku antar, aku akan pulang cepat hari ini."
"Oke," jawabku singkat.
Aku kemudian sibuk mencari ponselku di lemari, tadi pagi lupa menyimpannya.
"Kamu itu usil sekali!" ucap Rasya menghampiriku. Dia terlihat bersiap sedang ke kebun, tidak ada kemeja dan dasi keren, dia seperti pemuda desa, hanya saja sedikit lebih tampan dan senyumnya yang membuat pipi merona.
"Usil apa?" Aku tidak mengerti.
"Itu tadi uka-uka?"
"Oh, itu! Gak apa-apa, biar ngerti. Bagaimanapun suara-suara seperti itu mengganggu kerukunan bertetangga," jawabku sambil duduk dan mencari sinyal internet yang sejak tadi ku temukan. Oh Tuhan ... di planet manakah aku ini berada.
"Susah banget sih signal di sini, hidupku bagaimana?"
"Ya makan, terus minum. Itu cara bertahan hidup paling baik," jawabnya yang selalu menyebalkan. Sekali lagi, sampai saat ini aku belum bisa memahami, bagaimana bisa ayahku memilihnya, padahal seperti yang aku bilang, banyak para sultan yang ngantri di belakangku. Serius, aku bukan sombong. Begitulah kenyataannya!
Memang, bila dilihat dari struktur wajah, aku ini mewarisi bentuk paling baik dari orang tuaku. Itu mengapa dari pertama sekolah aku selalu menjadi inceran kaum ada, ya gimana lagi resiko orang cantik.
"Kalau nanti malam dengar yang aneh-aneh lagi, gak perlu ribut. Sudah diam saja, kan gak enak. Si Sri kasihan, malu kan dia."
"Aku kan gak merujuk ke dia!"
"Tapi aku yakin dia merasa, kamu tidak lihat bagaimana merahnya wajah dia?"
"Biarin! Biar berpikir dan tidak mengganggu ketentraman umat kalau besok kaya gitu lagi."
"Kamu bisa bicara begitu mungkin karena belum pernah ada di posisi itu. Bisa jadi kamu lebih heboh!"
Aku yang sedang minum seketika tersedak mendengar ucapannya. "Apa maksudmu bicara seperti itu?"
"Aku bicara kenyataan, coba saja!"
"Memang kamu berpengalaman?"
Ku lihat wajah suamiku memerah, menurut penuturan ayahku, dia adalah pria baik-baik. Belum pernah terdengar wanita dekat dengannya. Semoga saja itu karena memang benar baik, bukan belok. Ah, tidak! Sikapnya sama sekali tidak mengarah ke sana.
Ku lihat dia mendekat, aku sedikit menggeser posisi duduk, rasanya begitu canggung. Sampai akhirnya ia duduk di sebelahku dan kami tanpa jarak.
"Pagi ini lebih dingin dari biasanya!" ucapnya. Seketika perkataan itu terdengar seperti bisikan setan yang membuatku takut.
"Jangan macam-macam!"
Aku semakin takut, apalagi ketika melihat senyumnya itu. Kita sudah sepakat untuk saling mengenal terlebih dahulu, mengetahui karakter masing-masing. Tapi, kini kami semakin tak berjarak, dia menatapku masih dengan senyumnya.
"Aku gak mau di unboxing sekarang, ya!" Aku memberikan ultimatum. Sepertinya pipiku memerah sekarang.
Rasya tertawa kecil, ia mengusap wajahku kasar. "Dasar otak mesum. Pagi ini lebih dingin dari biasanya. Ambilkan aku jaket."
KAMU SEDANG MEMBACA
DESAH DARI BILIK SEBELAH
RomantiekKehidupan di sebuah bedeng yang berdampingan, membuat Ibu bos yang masih belum tersentuh terganggu dengan suara malam di bilik sebelah