bagian 3

22.3K 258 3
                                    

Aku segera beranjak dan mengambilkan jaket untuknya. Semoga debaran jantungku tidak terdengar olehnya. Sepanjang aku dekat dengan pria, aku tidak pernah merasa seperti ini. Mungkin karena Rasya adalah suamiku, jadi pikiranku meracau tidak karuan.

"Kalau kamu mau makan, masih ada stok di kulkas, kalau tidak ingin masak, tak perlu masak, terserah kamu saja."


Aku mengangguk. 


"Kalau begitu aku pergi dulu, kalau mau tidur kunci pintu. Nanti aku pasangkan internet agar kamu tidak bosan di rumah."


"Oke."


Ia pun pamit dan berlalu dengan sepeda motornya yang butut, suaranya terdengar bising, kemudian samar-samar menghilang. Rasanya ingin kembali tidur, tapi aku ingin memasak dan mengantarkannya untuk Rasya, sekalian berjalan-jalan menikmati pemandangan alam yang begitu luar biasa di sini. Jauh dari hiruk-pikuk perkotaan, tidak ada bising dan polusi udara, nyaman dan menenangkan, entah sampai kapan aku akan nyaman di sini, sebelum akhirnya pasti rindu pada untuk sekadar makan di mall.


Setelah menyiapkan makanan, aku pergi ke kamar dan berselimut tebal, merebahkan diri menikmati sejuknya pagi ini, senyum Rasya tadi tiba-tiba terngiang dan menjadi racun di kepalaku. Seperti apa sebenarnya sosok suamiku itu.


Aku kembali beranjak dan membersihkan kamar yang sama sekali tidak berantakan. Aku tersenyum melihat betapa rapinya lemari milik Rasya, pakaian tersusun dengan sempurna. Sampai akhirnya ponselku berdering, panggilan dari Mama.


"Hallo, Ma!"


"Hai, Sayang. Gimana betah?"


"Lumayan!"


"Harus betah! Kan sama suami sendiri."


"Iya!"


"Lihat di belakang mobil Rasya deh! Mama bawain sesuatu kemarin."


"Apaan?"


"Lihat saja, kamu pasti suka."


Aku pun keluar dari kamar dan mencari kunci mobil, tidak membutuhkan waktu lama, aku membuka mobil dan menemukan sebuah kotak.


"Ini apaan sih, Ma?"


"Buka saja! Kamu pasti suka!"


Aku menghela napas kasar, biasanya ibuku satu ini lengkap dengan kebiasaan anehnya.


"Ya sudah, aku buka dulu!"


"Oke! Jaga kesehatan di sana ya."


"Iya, Mama juga."


Panggilan pun terputus, aku membawa kotak itu dan menyimpannya di meja. Kemudian masuk ke dapur dan mulai memasak. Aku akan mengirimnya pada Rasya dan diantar oleh Mang Adang, pengurus di tempat ini.


Cukup lama berjibaku di dapur, akhirnya sayur sop, tempe goreng dan sambal pun siap dikemas. Sebelum pergi ke kebun, aku mandi terlebih dahulu dan berganti pakaian, tak lama setelahnya ku hampiri Mang Adang.


"Iya hayu, Neng! Mang antarkan."


"Ayo, Mang! Meluncur." 


Aku menaiki sepeda motornya, kemudian melewati jalanan yang tidak mulus untuk tiba di kebun tempat Rasya bekerja, meski perjalanan ini membuat pegal, tapi pemandangan sekitar begitu menyenangkan.


Setengah jam kemudian, kami pun tiba. 


"Ini, Neng! Biasanya Bos Rasya ada di kantor. Tuh kantornya!" ucap Mang Adang menunjukkan sebuh gedung tua tidak jauh dari tempat mereka berdiri.


"Oke, Mang. Jangan dulu pulang, ya! Aku ngantar ini saja."


"Siap, Neng!"


Aku berjalan ke sana, bangunan yang sangat estetik peninggalan jaman Belanda, meski indah tapi terlihat cukup seram.


"Assalamualaikum!" Aku membuka sebuah pintu dan mendapati Rasya sedang makan berdua dalam satu meja dengan seorang gadis. Dia cantik, wajahnya teduh dan berseri. Hanya saja aku tidak tahu siapa wanita itu, mungkinkah demit penunggu gedung ini?

Jangan lupa komen dan vote ya

DESAH DARI BILIK SEBELAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang