"Ayah, panas. Keluar aja yuk! Jangan lama-lama disini." Keluh seorang anak perempuan yang terus mengelap keringat di dahinya. Ayahnya ini sepertinya salah memprediksi, bagaimana bisa mengunjungi situs bersejarah, Candi Borobudur ditengah hari begini? Siapa saja tak akan betah berkeliling di area tanpa penutup ini.
"Ayah. Item nih muka aku!" Kembali Kesha menunjukkan protesnya. Mereka sekarang sedang mengelilingi tingkatan ke tiga Candi. "Cuma muter-muter aja. Apa yang dilihat si Yah? Tahu gitu, aku nunggu di bawah pohon aja tadi bareng Tristan sama Radi."
Seseorang yang sedari tadi dipanggil Ayah terus melangkahkan kaki panjangnya menyusuri sudut demi sudut Mahakarya Kerajaan bercorak Budha jaman dulu. Telinganya sudah kebal dengan semua rengekan Kesha.
"Anggap aja Kesha lagi muter-muter di Mall!"
"Ayah!!" Jerit Kesha sambil menarik pergelangan tangan Ayahnya agar berhenti berjalan. Matanya menyorot tajam, tak percaya Ayah super baiknya ini menyuruh untuk menganggap ada di Mall.
"Ini pelajaran Sejarah loh Ka. Daripada ngeluh pusing baca buku, Ayah ajak sekalian ke tempatnya. Biar kamu lebih paham." Balas si lelaki enteng, matanya masih menelisik bagian demi bagian susuan batu bergambar itu.
"Gimana mau paham. Yang dijadikan soal tes itu bukan Candinya berbentuk kaya apa, apa aja gambarnya. Tapi nih Yah, dimana letak geografis Candi Borobudur? Atau ngga pada dinasti apa Candi dibangun? Kesha tuh males sama sesuatu yang harus diapalin. Kalau sesuatu yang dilihat nah Kesha bisa langsung jawab. Nih contohnya tingkatan Candi ada berapa? Kan bisa dihitung Yah. Ngga susah."
"Itu namanya kamu males mikir."
"Males mikir yang udah lampau. Masa lalu masa diingat-ingat Yah? Kan Kakek suka bilang, pikirin masa depan kamu. Mau jadi apa? Mau kasih kebanggaan apa buat Ayah? Gitu."
Sosok tinggi dengan kaos putih polos ini hanya menghela nafas. "Ada Tour Guide tuh, mau tanya sesuatu?"
"Itu Tour guide yang dipesan bule Ayah. Kita kan ngga butuh mereka. Tour guide juga bukan orang yang pernah terlibat secara langsung. Dia ngga lihat pembangunannya. Mereka cuma tahu dari buku panduan yang disiapkan. Kalau aku tanya, dulu kenapa kepikiran buat Candi? Ngga buat Mall aja gitu? Pasti ngga tau jawabannya. Ya kan?"
Mata Drajat yang sedang menyapukan pandangannya ke area di luar Candi pun berhenti sejenak. Ia menggandeng tangan Kesha untuk mengikuti langkahnya. Bibit kritis dan ceriwis sudah nampak pada diri Kesha. Drajat tidak tahu bagaimana masa depan anaknya ini kelak. Sejak kecil saja sudah begini. Kadang, jika sudah lelah, Drajat memilih untuk diam atau mengangguk saja untuk merespon celotehan anaknya. Daripada menjadi panjang, ia lebih baik menutup mulut.
"Ayah!"
Itu dia. Baru berjalan beberapa langkah di Zona Rupadhatu, dimana disini reliefnya menceritakan tentang alam peralihan, dimana manusia telah dibebaskan dari urusan dunia, Kesha berteriak lantang.
"Kalau kamu terlalu cerewet dan banyak mengeluh seperti ini, nanti ngga ada cowok yang suka loh Ka." Masih dengan kesabaran yang tersisa, Drajat membalas.
Disinggung tentang lelaki, anak gadisnya itu melengos tak suka. Bibirnya mengerucut tidak suka. "Ayo turun aja! Atau Kesha turun sendiri nih!" Belum selesai memerintah, Kesha sekarang sudah mengatur dan mengancam. Apa jangan-jangan anaknya ini akan jadi anggota dewan? Ah bisa jadi.
"Sebentar lagi turun."
"Bohong! Sebentarnya Ayah itu kaya bajaj mogok. Lama!!"
"Emang kamu udah pernah naik bajaj?"
"Oh Em Ji. Itu perumpamaan aja Ayahku yang ganteng."
"Makasih Kesha yang cerewet." Drajat tersenyum lebar usai mendengar pujian dari Kesha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tractable [End]
RomanceAndara tidak memiliki pengalaman menjadi Ibu, tidak juga dekat dengan anak kecil manapun sebelumnya. Setelah berkelana dalam kurun waktu yang panjang, ia akhirnya menikah, memiliki anak, meski belum pernah mengandung dan melahirkan. Apa kalian tahu...