🥀-12.Can't wait to see you on my bed-🥀

1.1K 146 12
                                    

Drajat baru saja melewati pintu rumah kedua orang tuanya dan teriakan Radi langsung terdengar. Si bontot yang hobi menggambar itu berlari menenteng kertas di tangan kirinya sambil memanggilnya kencang. Kaki kecilnya menapak disepanjang lantai  ruang keluarga dan ruang tamu. Wajahnya nampak sumringah, tersenyum amat lebar begitu melihat sang Ayah.

"Udah bisa lari sekenceng tadi. Artinya udah sembuh ya?" Tanya Drajat begitu Radi berada dalam pelukannya. Ayah tiga anak ini mengingat jika pagi tadi anak ketiganya mengeluh pusing dan demam. Beruntung, usai Drajat menyurukkan wajahnya pada perpotongan leher Radi, terasa suhu tubuhnya tidak sepanas tadi. Dicek dengan menyentuhkan telapak tangan ke leher saja, Andara sudah menjerit. Apalagi jika Drajat mengeceknya dengan cara seperti yang apa ia lakukan pada Radi? Pasti wanita itu murka.

Ngomong-ngomong, ternyata benar, stress dan rasa lelah bisa seketika hilang hanya karena melihat anak. Seakan-akan beban di punggung terangkat. Itulah yang Drajat rasakan saat ini.

Bertemu Andara Jalisman-si wanita keras kepala- selalu saja menguras tak hanya pikiran tapi juga emosi. Meski bibirnya selalu mengumandangkan penolakan, anehnya Andara mau saja memilih sebuah cincin pertunangan, dan sekarang barang kecil itu sudah berhasil Drajat bawa pulang. Bukannya memamerkan senyuman menawan setelah memilih barang mewah, anak Pak Jalisman justru memberinya wajah cemberut. Serta tak lupa kalimat-kalimat peringatan yang tak bisa Drajat lupakan.

"Kamu lagi sadar kan? Ini milih orang untuk mengurus anak kamu loh?! Sama seperti memilih dimana mereka sekolah. Kalau kamu mempercayakan tempat itu sebagai tempat anak kamu belajar dan berkembang. Artinya kamu harus percaya bagaimana mereka mendidik, bagaimana mereka memberi treatment, juga kamu harus terima  kalau mereka mendapat reward atau punishment.   Kamu siap?! Kalau tidak. Pikirkan lagi, jangan sampai masa depan mereka hancur di tangan yang salah."

"Mata saya masih jernih. Artinya saya tidak mabok, sadar! Kamu benar seluruhnya. Tapi ingat kembali, bukan hanya kamu yang akan mendidik mereka. Saya juga akan ikut di dalamnya."

"Kamu tahu apa yang terjadi jika ada dua kepala sekolah dalam satu satuan pendidikan? Mereka hanya akan menghancurkan sekolah itu."

"Tapi kamu tidak akan tega menghancurkan keluarga kamu sendiri."

Andara terdengar menarik nafas.

"Apa kamu benar-benar mau hidup sama perempuan yang ngga jelas kaya aku?"

"Bagian mana dari kamu yang tidak jelas? Fisik kamu tidak ada yang kurang. Pendidikan kamu bagus. Sikap dan kepribadian kamu kuat. Apa memangnya?"

"Niat. Segala sesuatu bergantung niat asal kamu tahu. Aku ragu! Kamu mau mengorbankan anak-anak kamu di tangan aku? Belum tentu juga mereka setuju sama keputusan kamu ini. Aku tebak mereka menginginkan Ibu sambung yang memiliki sifat dan sikap seperti almarhumah istri kamu."

"Ok sekali lagi saya tekannya. Saya tidak mengorbankan mereka. Justru saya percaya sama kamu. Dan, semenjak Ibu mereka meninggal, mereka tidak pernah mengatakan apapun tentang kemungkinan adanya Ibu sambung."

"What??!"

"Bohong kalau saya tidak menginginkan sosok perempuan dengan sikap dan sifat seperti Ibunya anak-anak. Itu bukan lagi jadi pertimbangan utama saya mencari istri."

"Lalu pertimbangan utama kamu apa? Anak kan?"

"Bukan! Karena memang saya menyukai kamu dan hati kecil saya mempercayai kamu."

"Dasar orang gila! Percaya kok sama aku! Nih Mas, aku ingatkan lagi sesuatu yang pernah kamu katakan, kamu butuh istri yang penurut, right? Asal tahu saja. Aku ini suka membantah, membangkang, emosinya meledak-ledak, bisa lebih heboh dari pada anak-anak kalau marah. Kamu ngga akan betah, kamu akan kewalahan ngadepin aku."

Tractable [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang