🥀-13. Beauty and the beast-🥀

1.1K 152 11
                                    

"Cape kan? Mau minum? Mau saya ambilkan?"

"Ngga perlu. Aku bisa sendiri."

Drajat ikut bangun dari posisinya usai merasakan tempat tidurnya sedikit berguncang. Benar saja, Andara sudah berjalan ke arah meja riasnya sendiri. Mengambil botol air mineral yang tersedia di sana, menenggak beberapa kali baru kemudian membalikkan badan dengan pandangan yang tertuju pada Drajat. Seolah sedang memberi tahu Drajat, jika dia siap memulai perang di atas tempat tidur jilid dua.

"Mereka yang di luar kamar, pasti mengira kita sudah mulai ritual malam pertama. Teriakan kamu keras banget tadi, ganas macam hewan buas. Kepala saya sampai pusing." Keluh Drajat sembari mengelus kepala bagian belakangnya yang telah mencari sasaran amukan batal Andara. Tak lupa ia juga, menyingkirkan bantal guling itu jauh-jauh.

Andara terkejut melihat apa yang baru saja dilakukan suaminya. Meski begitu, tutur katanya tetap terjaga. "Mau minum obat?"

"Boleh." 

"Itu di laci meja rias. Ambil aja sendiri." Kata Andara acuh, kakinya melenggang begitu saja. Ia menyaksikan bagaimana Drajat tadi menendang bantal kesayangannya hingga terjatuh ke lantai. Itu perbuatan yang sangat jahat menurutnya. Jadi biarkan saja pria itu menggunakan kakinya untuk mengambil obat.

"Saya ambil sendiri? Tidak masalah untuk kamu kalau saya buka-"

Tubuh Andara seketika berdiri tegap usai mengambil bantal miliknya.

"Heh!" Desah wanita ini lelah. Bahunya turun, tubuhnya lemas dan tak bertenaga. Masih mempertahankan ekspresinya yang kurang bersahabat, kaki Andara yang tak beralaskan apapun melangkah kembali ke meja rias. Bukan karena kasihan dia melakukannya. Bukan juga karena bentuk ketaatan, tapi semata-mata agar lelaki itu tak banyak omong saja. Belum apa-apa, pernikahan ini sudah mulai terasa mengikatnya amat keras. Sial!

"Lagian ngapain main nyosor? Pake etika dong. Ijin dulu!"

"Lain kali saya minta ijin." Drajat tertawa tiba-tiba, membuat Andara yang hendak mengulurkan obat harus berhenti.

Ini orang ngga merasa bersalah apa gimana? Ngga kapok aku gebugin tadi?

"Kamu lucu. Pemikirannya sulit ditebak." Tambah Drajat masih dengan tawa yang memperlihatkan deretan giginya yang putih dan rapi.

Kira-kira kalau aku siksa lagi, masih bisa ketawa ngga tuh?

"Satu tablet cukup kan? Apa mau dua? Biar sekalian tidur panjang."

Wkwkkw. Tuh kan langsung kicep.

"Hati-hati dengan apa yang keluar dari mulut kamu. Mau menjadi janda? Mau menjadi Ibu sambung buat tiga anak saya sendirian? Itu pekerjaan berat loh! Kamu juga akan menyesal karena tidak sempat menikmati jadi istri saya, tidak sempat menikmati nafkah lahir batin dari saya."

Banyak omongkan? Emang dasarnya ini orang cerewet.

"Udah! Jangan bahas itu lagi!" Usai memastikan Drajat menerima satu tablet obat pereda nyeri dan botol air mineral, Andara bergegas duduk memunggungi suaminya. Ia akan gunakan waktu sebelum tidurnya untuk mengecek WhatsApp. Barangkali ada informasi penting yang berhubungan dengan pekerjaan. Walaupun mengambil cuti, bukan berarti kan dia tidak melakukan apapun?

Terdengar bunyi tutup botol yang dibuka, kemudian secara perlahan suara tegukan mengikuti. Bisa dipastikan, Drajat sudah menelan obatnya. Meski tangan Andara aktif bergerak menggulirkan layar ponsel, memeriksa pesan masuk. Telinganya juga dia siagakan.

Sebentar lagi harusnya teler. Obat pereda nyeri kan bikin ngantuk.

"Andara."

Bulu kuduk Andara berdiri seketika. Merinding. Suara Drajat yang memanggil namanya amat pelan tadi entah kenapa sanggup membuat jantungnya meremang. Belum lagi angin yang tiba-tiba terasa berhembus mengenai seluruh permukaan kulitnya. Perasaan asing mulai melingkupi. Apa ini yang dinamakan gugup?

Tractable [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang