01

254 7 0
                                    

Ku pilah pilah baju yang akan ku masukan kedalam tas ranselku. Ku masukkan semua barang yang perlu untukku bawa pulang. Ya, kini liburan pesantren telah tiba. Yang membuat hati berbunga bunga tentunya. Berjumpa dengan sanak keluarga dirumah yang sudah kurindu. Dan tinggal menghitung hari saja untuk menyambut hari raya idhul fitri. Ah, senangnya.

"mbak, semangat kali tah packing nya." seloroh fifi teman sekamarku

"harus lah fi, mana bisa aku nolak liburan seperti ini."

"haha.. Iya yo mbak, nikmat pol lah pokokmen." imbuhnya

"wes gak ono tandingane." jawabku sambil terkekeh

"pulang kapan mbak?." tanya lagi

"insya allah besok fi, udah rindu ndak ketulungan aku." jawabku sambil merapikan barang barang kedalam tasku

"eh eh eh, rindu siapa ini, rindu kang mase tah?." kali ini fifi dengan tatapan menggodanya

Ku tatap aneh wajahnya. "lah mukamu iku kok jadi gitu, ya tentu, aku kan punya mas toh fi."

"ihh mba aisy gaya gak peka, yang pernah kamu ceritain itu loh mbak, gus siapa namanya." diketuk ketuk dagunya sambil mengingat ingat

"gus rasyid tah maksutmu?." jawabku mengingatkannya

"iya."

"yaudah fi, itu kan cuman masa lalu, lagi pula aku sudah ndak pernah tahu kabarnya dari lebaran kemarin, mungkin ya beliau sudah nikah."

"siapa tahu gusmu itu tetep kekeuh menunggu bidadari ini, jodoh ndak akan kemana atuh." jawabnya sambil terkekeh keluar meninggalkanku

Ya beliau memanglah yang selalu mengusik akal sehatku sedari dulu masih duduk di bangku Madrasah Aliyah. Betatap muka yang tak disengaja saat ku berjamaah di masjid terdekat saat liburan pondok tentunya. Garis wajah tampan bak malaikat yang selalu terngiang ngiang dikepalaku. Ah, tidak itu saja tentunya. Tapi akhlaknya yang sungguh sempurna dimataku.

"Astahfirullah..."  gumamku lirih, mengingat hamba Allah yang mungkin sekarang sudah ada pawangnya itu. Karena usianya yang terpaut 10 tahun denganku.

*********

Pukul 13.00 di Semarang. Ku langkahkan kaki diterminal setelah turun dari bus yang membawaku ke kota kelahiranku ini. Terik matahari yang menyengat tak membuatku gentar. Karena terkalahkan dengan rasa bahagiaku ini.

Ku langkahkan kaki mencari angkot yang akan membawaku kerumah yang sangat kurindukan.

"ayo neng masuk neng." seruan kernet yang membawaku masuk kedalamnya

Kududukan tubuh ini dibangku paling belakang yang terlihat sedikit longgar untuk muat menampung badanku.

Ku geser jendela samping kiri. Merasakan angin semilir yang menenagkan hati. Terbesit kembali dalam pikiranku bayang-bayang lelaki tampan dengan tubuh gagahnya. Bertanya tanya bagaimana kabarnya. Apakah ia telah beristri?. Apakah?. Ya Allah redupkanlah rasaku ini.

Teng! Teng! Teng!

Suara logam yang dipukulkan ke pintu angkot oleh kernet menyadarkanku dari lamunan yang seharusnya tak kuteruskan. Ternyata telah sampai didepan gang rumah yang sangat kurindu itu.

Aku tak memberi kabar akan kepulanganku hari ini. Ku tak ingin merepotkan orang rumah yang memiliki kesibukan masing". Ku langkahkah kaki menuju rumah yang lumayan jauh dengan langkah semangat. Dengan menenteng satu kardus dan menggendong tas ransel dipunggungku.

Tiba-tiba berhenti mobil vios hitam didepan ku. Kuhentinkan langkahku. Menunggu kejadian selanjutnya yang mungkin akan terjadi.

Deg!

Sekian detik jantungku berhenti berpacu. Setelah kaca mobil terbuka dan munculah wajah laki-laki yang terus berputar dibenakku.

"Aisyah ya?." tanyanya

Ah, ya aku baru teringat jika jika pria tampan yang kini berkepala tiga itu tak begitu mengenalku. Karena sedari dulu hanya akulah yang tertarik dengannya. Tidak dengan dirinya.

"inggih gus." jawabku dengan jantung yang berpacu sedikit lebih cepat dari kadar normalnya

"putrine pak mansur kan?." tanyanya lagi

"inggih gus." jawabku sopan dengan sedikit membungkukkan badan

Gus rasyid kini membuka pintu mobilnya dan beralih membuka pintu penumpang yang membuatku sedikit bingung dengan yang dilakukannya.

"monggo mbak aisy naik tak antarkan pulang."

"mboten gus, saya jalan saja, sudah deket." jawabku sungkan

"masih jauh lho mbak, termasuk rezeki ini ndak boleh ditolak." kelakarnya dengan tersenyum

Ku mengalah akhirnya, meskipun ini sangat membuat jantngku berkerja abnormal. Tapi aku merasa penasaran. Gus rasyid tiba-tiba memberi tumpangan padaku. Padahal beliau menjaga jarak dengan wanita.

Hening tak ada percakapan. Akhirnya gus rasyid melenyapkan keheningan itu.

"sampean mondok dimana mbak?."

Hening!

"mbak?."

Lamunanku buyar setelah beliau memanggilku kembali.

"eh njeh gus?."

"sampean mondok dimana?." ulangnya karena aku tak mendengarnya yang membuatnya sedikit tersenyum geli dan membuatku malu tentunya

"di jogja gus, di pondok darul hikmah."

"pondok qur'an njeh? Nopo salafi?."

"pondok qur'an gus."

"sudah sampe jus berapa mbak."

"minta doanya saja gus semoga bisa istiqomah murojaahnya." jawabku tanpa berkata detailnya

Gus rasyid mengangguk anggukkan kepalanya sambil tersenyum "Alhamdulillah, sampun khatam ya?."

Ah ternyata gus rasyid paham dengan kalimatku. Aku hanya tersenyum canggung untuk menjawabnya.

"Alhamdulillah udah sampai."

Ku katakan terimakasih padanya dan bergegas turun.  Memasuki pekarang rumahku.

Rembulan QalbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang