Tok tok tok
"assalamualaikum..."
Tak ada sahutan dari penghuni rumahku. Hingga salam yang ketiga terdengar derap kaki dari belakang badanku.
"waalaikum salam, cari siapa mbak?."
Aku berbalik arah setelah suara ibuku terdengar ditelinga. Sepertinya beliau belum menggenapkan penglihatannya. Sampai tidak mengenalku.Kuraih tangannya untuk kucium. Beliau menatapku sehingga badanku ditarik dan ditahan dalam dekapannya.
"masya Allah nduk, ternyata kamu, kok tidak kabar-kabar kalau mau pulang, kan bisa dijemput, pulang naik apa tadi?, bagaimana kabarnya?." cercanya tanpa henti
"ibu.. Kalo kangen kan bisa satu-satu ngasih pertanyaannya." jawabku terkekeh
Wajahku penuh dengan ciuman ibu. Ah betapa senangnya. Pulang disambut dengam ciuman sayang sang ibu.
"haha...sudah-sudah, ayo masuk." ajak ibuk dengan merangkul bahuku kedalam rumah.
********
"ibu." panggilku saat sampai didapur
"piye syah?."
"mau masak apa bu?." tanyaku sambil meraih kangkung dihadapanku
"masak tumis kangkung, tempe goreng, sama tumis cumi syah." jawab ibuku sambil menggoreng tempe.
"tak bantu apa bu?." tanyaku menawarkan diri
"itu saja, kangkungnya dibersihkan."
"siap ibu." jawabku dengan gaya hormat yang membuat ibuku terkekeh geli.
Setelah berkutat masak berdua dengan ibu dan akhirnya selesai. Kami tata dengan rapi diatas meja makan. Bersama hidangan-hidangan yang lain.
Wiuw wiuw wiuw
Sirine terdengar bersahut-sahutan dari masjid. Tanda telah memasuki waktu berbuka puasa. Kami bertiga melaksanakan makan dengan khidmah hingga selesai. Dilanjutkan sholat maghrib berjama'ah.
*******
Gus rasyid telah usai mengimami sholat tarawih. Menggantikan yai Abdul abahnya. Yang sedang sakit.
Kemeja hitam panjang. Sarung corak batik. Menempel ditubuhnya yang kekar. Ditambah peci hitam yang menambah kadar ketampanannya.
Ditapakkan kakinya menuju ndalem. Mencari kitab yang akan ia muthola'ah setiap harinya. Tapi kakinya terhenti. Setelah suara abahnya menginterupsi.
"syid.. " panggil abahnya
"inggih bah?." jawabnya lalu mendekat kearah abahnya.
"abah ingin mengenalkanmu seorang gadis, apa kau akan menolaknya lagi?."
Gus rasyid menunduk. Diam tanpa ingin memjawab abahnya.
"umur tidak muda lagi le, pikirkan itu, seharusnya kau telah berjuang memperbanyak umat nabi."
"inggih bah."
"besok pagi keluarga mereka kesini, bijaksanalah le, kamu lelaki bukan gadis, yang terus menolak pinangan orang."
Gus rasyid hanya mampu menatap punggung abahnya yang menjauh. Tanpa tahu apa kata yang pas untuk ia lontarkan. Ia berkecamuk dengan batin dan pikirannya.
Sekarang yang mampu ia lakukan hanya menenangkan diri dengan muthola'ah kitabnya yang sempat tertunda.
***********
Tak terasa esok hari perkiraan hari raya idul fitri. Yang dinanti nanti para umat muslim untuk merayakannya. Ku naiki sepeda motor beat milik bapak. Mengantarkan ibu kepasar.
Ku menikmati udara pagi ini yang begitu menyejukkan. Ku hirup udara yang begitu menenangkan jiwa. Tak terasa sepeda montor yang ku naiki telah sampai di depan pasar tujuan.
"syah. Ikut apa sini nungguin montor?." ujar ibu menawriku
"ikut bu, bentar tak parkir dulu." jawabku sambil merapikan montor dideretan motor lain yang berjejer rapi
Ku susul ibu yang melangkahkan kaki lebih dulu. Mengekor di belakangnya seperti anak ayam yang mengikuti arah induknya. Ku nikmati suasana pasar yang sesikit ramai.
Deg!
Jantungku berhenti berdetak seperkian detik. Tubuhku mematung. Melihat apa yang tertangkap netra mataku. Melihat seorang pria menggendong anak. Dan membukakan pintu bagasi mobil untuk wanita yang menenteng tas belanjaan.
"beliau telah menikah?." tanyaku lirih dalam hati.
Pupus sudah harapanku. Hatiku sakit karena kecewa. Dengan pengharapanku yang bertepuk sebelah tangan.
"dosakah diriku, yang sempat memikirkannya kemarin?." tanyaku lagi dalam hati
Tepukan tangan dibahuku menyadarkan raga. Tatapan aneh dari orang-orang terlihat dimata. Karena tak sadar aku telah berdiri mematung melamunkan yang mengganhgu akalku beberapa tahun ini.
"syah, lah kok melamun, ayo pulang."
"eh iya ibu."
Ternyata ku berdiri mematung cukup lama. Sampai ibuku saja telah usai belanjanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rembulan Qalbu
RomanceMereka duduk bersebrangan. Di kursi samping rumah yang menghadap ke pesantren putri. Bunga dalam pot yang terjejer rapi menambah kesan teduh untuk dinikmati. Hening melanda keduanya. Bergulat dengan pikiran masing-masing. Entah mendapat angin dari m...