~BAB VI

2 2 0
                                    

Saat terbangun, aku melihat wajah adikku yang tertidur di samping kasurku.
Dia sepertinya kelelahan karena menjagaku.
Aku juga tak tahu kenapa aku berakhir di kamarku, padahal saat itu aku memasuki pintunya di taman.
Sena mengeluarkan air mata, sambil mengigau.
“Kakak bodoh...”
Aku mengusap air matanya.
“Sena, aku bawa sarapan untuk-“
Lina mematung setelah membuka pintu.
“Ah, Sena terlalu mengkhawatirkanmu. Aku jadi iri denganmu.”
Dia mendengus kesal.
“Haha, aku juga beruntung punya adik sepertinya. Dia tetap bersamaku, walaupun aku sduah tidak punya siapa-siapa, asalkan ada Sena...aku masih bisa hidup.”
“Apa-apaan itu, lucu sekali.”
Aku belum pernah melihat Lina tertawa seperti itu.
“Aku membelikan sarapan untuk kalian berdua. Kau suka bubur kan?”
Lina memelototiku dengan seringainya yang menakutkan.
Rasanya aku seperti sedang diancam.
“Eh, suka kok..suka.”
“Yey!”
Ekspresinya berubah dari iblis menjadi malaikat.
“Aku akan menyuapimu, jadi tenang dan jangan banyak tingkah.”
“Me-menyuapi? Bu-bukankan itu terlalu...memalukan? A-aku bisa makan sendiri kok. Lihat! Tanganku baik-baik saja.”
“Ya, aku tahu kok. Ta-pi...aku rasa kau lebih senang disuapi oleh gadis yang seumuran dengan adikmu.”
AAARGH!!!.
Tahan...tahan.
Aku tak menyangka situasinya akan berubah menjadi latar romantis.
Apa aku harus menyiapkan beberapa pilihan?
Misalnya, jika aku menolak untuk disuapi, Lina pasti akan membenciku. Atau yang lebih parah dia takkan mau menunjukkan wajahnya lagi di depanku.
Atau, jika aku mempersilahkannya untuk menyuapiku, dia pasti akan senang. Tapi aku tak tahu apakah akal sehatku akan bertahan dengan itu.
Aku...aku tak bisa memutuskannya.
Sementara aku bingung dengan pilihan itu, Lina sudah menyodorkan sendok berisi bubur kepadaku.
Wajahnya terlalu dekat.
“Bilang, aaa....”
Dia mengatakannya sambil ingin menyuapiku.
Aku memejamkan mata, berharap ini semua hanyalah khayalan yang dibuat oleh alam bawah sadarku.
“Apa yang kalian lakukan?”
“Ah!”
Kami berdua terkaget melihat Sena yang tiba-tiba saja bangun.
Lina sampai terjungkal dari kasurku dan menumpahkan buburnya.
“Ah, Sena! I-ini...ini bukan seperti yang kau pikirkan!”
“Heh, memangnya aku mikirin apa tentang kalian berdua? Jangan-jangan..kalian berdua...hahah, bercanda bercanda. Lagian kakakku takkan mudah luluh begitu saja.”
“Hahaha, benar juga ya.”
Lina tersenyum pasrah.
Aku tak terlalu paham apa yang barusan terjadi.
Tapi Sena terlihat bahagia bisa melihatku kembali

Sekarang adalah hari sabtu.
Berarti aku pingsan selama 4 hari.
4 hari itu juga adalah waktu yang kuhabiskan di altar dewa itu.
Aku berlatih dengan Rivilus, tapi...sepertinya aku juga berbicara dengan seseorang selain Rivilus di sana.
Tetapi...siapa dia? Siapa Rivilius? Aku hanya pernah mendengar namanya, tapi ku tak bisa mengingatnya.
Setelah aku mengecek ponselku, aku mendapatkan beberapa pesan dari grup pusat.
Sepertinya pak tua itu yang mengirimkannya.
“Datanglah kesini besok. Aku ada perlu denganmu, ini mengenai kejadian saat di taman.”
Di taman ya?
Pak tua itu juga ada di taman saat itu. Apakah itu cuman kebetulan saja?
“Aku pulang!”
“Ya, selamat datang.”
Sena baru saja pulang berbelanja, namun dia membawa sesuatu di belakangnya.
Itu Lina.
Akhir pekan ini sekolah Sena diliburkan. Sepertinya itu membuat Sena agak senang karena katanya dia bisa bersamaku hari ini.
  “Aku kebetulan bertemu dengan Lina saat berbelanja. Katanya rumahnya sepi hari ini, jadi aku membawanya bermain di sini.”
“Baiklah, aku tak keberatan.”
Sena menaruh barang belanjaannya di dapur.
Lina yang dari tadi berdiam diri di depan pintu duduk di sampingku.
“Maaf untuk tadi pagi. Aku sepertinya terlalu berlebihan ya?”
“Nggak perlu dipikirkan lagi, aku tak terganggu.”
Walaupun aku berkata begitu, sebenarnya aku agak risih dengan kejadian itu.
Tapi aku juga tak bisa menyalahkan Lina.
Dia mungkin juga khwatir terhadapku.
“Oh iya, tentang rencanaku untuk besok...kak Yuki punya waktu luang kan?”
Barusan...barusan dia memaggilku kak. Padahal biasanya dia cuman memanggilku ‘kamu’.
“Ah, rencana besok ya.”
Aku lupa minggu lalu aku pernah membuat janji dengan Lina.
Katanya dia akan mempertemukanku dengan kakaknya.
Sebenarnya aku tak ingin dia berharap lebih dariku.
Aku juga punya pesan dari pak tua itu. Tapi misalkan aku mengatakan kalau aku punya janji lain, dia pasti berpikir kalau aku membencinya.
Mungkin pak tua itu bisa menunggu.
“Aku tidak punya rencana lain.”
“Berarti, besok kosong kan?”
“Iya.”
“Kalau begitu, besok kau dan Sena datang ke kafe dekat sekolah yang pernah kita kunjungi itu. Aku tunggu jam 9 pagi ya!”
Dia kelihatan sangat bersemangat sekali.
“Ada apa dengan Lina? Kok dia senyum-senyum sendiri?”
“Hehe, tanyakan saja sendiri ya?”
“Hufft...”
Sena baru saja memalingkan wajahnya dan pergi begitu saja.
He, memangnya aku berbuat apa kepadanya?

Sudah jam 9 pagi, lebih tepatnya sudah lewat 15 menit.
Karena capek menunggu, Sena pergi membeli minuman.
Seharusnnya mereka lebih awal datangnya.
Untungnya cuacanya tidak sedang panas dan berawan.
“Maaf menunggu!’
Lina berteriak dengan nada gembira dari seberang jalan.
Dia menggandeng kakaknya yang terlihat malu-malu.
Kakaknya memakai topi hingga aku tak bisa melihat wajahnya.
“Dimana Sena? Apa dia tidak ikut hari ini?”
“Dia ikut kok. Tapi sekarang Sena sedang membeli minuman, dia gak kuat menunggu terlalu lama di keramaian seperti ini.”
“Ah, aku benar-benar maaf ya. Kami telat gara-gara menunggu kakakku ini berdandan. Kupikir dia takkan berdandan lagi jika kuajak jalan-jalan.”
“Terserah aku kan. Lagian hari ini kakek menyuruhku untuk bersenang-senang hari ini. Sayang tamunya tak bisa datang hari ini.”
Mereka berdua terlihat keasikan ngobrol.
Lalu Sena muncul membawa dua minuman dingin.
“Lina!”
Dia berlari menuju sahabatnya. Mereka merangkul satu sama lain, sepertinya Sena sudah melupakan rasa hausnya.
Sementara itu aku merasa sedang ditatap oleh kakaknya Lina dari balik topinya.
“Bagaimana kalau kita langsung saja pergi ke kafenya? Aku juga mulai merasa kepanasan disini.”
“Baiik!”
Kedua sahabat ini bersemangat sekali menjawabnya, seakan-akan kebersamaan mereka takkan pernah terpisahkan.
Untung juga ada kakaknya Lina, aku jadi tak perlu mengkode-kode Sena untuk segera pergi.
Sena membagi minuman yang tadi dibelinya itu kepada Lina, kupikir dia tadinya akan membagikannya kepadaku.
Aku berjalan di belakang kakaknya Lina.
Dari belakang, aku bisa melihat rambut pirang yang sama dengan milik Lina.
“Kumohon jangan terus-terusan melihatku.”
“Eh-ya...a-aku tak bermaksud seperti itu, maaf.”
“Tapi, kenapa kamu terlihat memikirkan sesuatu saat sedang melihatku?”
“Apakah wajahku terlihat begitu? Ah, sebelumnya aku pernah bertemu dengan seorang pemburru wanita yang sangat hebat, kalau tidak salah namanya adalah Vina. Mm...kupikir, nama itu mirip sekali dengan nama adikmu itu, aku juga kaget ketika pertama kali bertemu dengannya. Kupikir dia adalah Vina itu sendiri, ternyata namanya juga sangat mirip, rambutnya, bahkan wajahnya. Lalu saat dia mengajakku untuk bertemu dengan kakaknya, entah kenapa aku langsung setuju dengan ajakannya.”
“Begitu ya...syukurlah.”
“Apa yang barusan kau katakan? Karena terlalu kecil aku jadi tak sempat mendengarnya.”
“Bukan apa-apa.”
Kami mengakhriri percakapannya sampai di situ.
Tapi aku samar-samar melihat bahwa dia tersenyum saat menoleh kearahku saat dia bilang ‘bukan apa-apa’.
Selama berjalan, Sena dan Lina tampak masih bersenang-senang mengobrol, sedangkan suasana di belakang ini agak canggung setelah kami mengakhiri obrolan tadi.
Tapi tak butuh waktu lama untuk sampai di kafe.
Kami memilih tempat di balkon lantai 2, katanya Sena ingin menikmati pemandangan kota dari atas.
“Bukannya hari ini sangat panas? Apa tak masalah kita duduk di balkon?”
“Tidak masalah, kak. Lagipula di balkon juga ada atap yang melindungi kita dari panas.”
Kalau Sena berkata seperti itu, aku juga tak bisa menentangnya.
Lina dan kakanya juga tampaknya setuju saja dengan usulan Sena.
Aku membiarkan para perempuan untuk memilih pesanan terlebih dahulu, aku jadi merasakan betapa tak enaknya berada di posisi seperti ini.
Dari tadi aku juga merasakan tatapan dari orang-orang sekitar.
Tatapan iri.
Aku juga tak bisa menyangkalnya, berada di meja bersama dengan 3 wanita cantik.
“Kami sudah memesan, sekarang giliranmu.”
Kakaknya Lina mengoper buku menu dari tangannya.
Karena aku belum makan siang, jadi aku memesan menu yang agak berat.
Kali ini tanpa hidangan pembuka.
Setelah kami memesan menu masing-masing, keadaan meja terasa sangat sepi.
Tidak ada diantara kami mengobrol satu sama lain, bahkan Sena dan Lina terdiam juga.
Aku juga tak tahu apa yang harus dilakukan. Apa yang biasanya orang lakukan untuk mencairkan suasana seperti ini.
“Ba-bagaimana kalau kita saling memperkenalkan diri?”
Lina angkat bicara.
Sepertinya dia juga merasa bertanggung jawab karena dia yang mengajakku.
Semuanya setuju dengan usulan Lina barusan.
“Baiklah, kalau begitu...mari kita mulai dari....”
Lina memutar-mutar jari telunjuknya sembari menahan perkataannya. Lalu perlahan putaran jarinya mendadak pelan dan jatuh tepat di depanku.
“Kak Yuki!”
“A-aku?”
“Ya, memangnya ada di sini yang namanya Yuki selain kamu?”
Aku berniat untuk berdiri dari kursi, tapi aku langsung mengurungkan niat karena banyak orang yang melihat kesini.
“Apa yang perlu dikenalkan? Nama? Umur? Apa lagi?”
“Nama, umur, pekerjaan, dan...status.”
Nadanya Lina saat berkata status berbeda saat dia menyebut yang lainnya.
Kupikir aku cuman salah dengar.
“Perkenalkan, namaku Yuki Miyamizu, umurku sekarang 19 tahun, aku adalah seorang pemburu tingkat e, dan...statusku? Apa itu sangat-sangat diperlukan.”
“I-tu-sa-ngat-di-bu-tuh-kan-lho!”
Wajahnya Lina berubah menjadi agak menakutkan dan wajah itu seperti akan mengancamku jika aku tidak mengatakan statusku.
“Baiklah, baiklah, aku akan mengatakannya. Statusku single, dan aku tidak sedang jatuh cinta kepada siapapun. Sekian perkenalan dari saya, terima kasih.”
“Haha, perkenalan seperti itu sangat cocok dengan kakak. Semakin terlihat bodoh.”
“Heh, barusan kau bilang apa Sena?! Coba katakan sekali lagi?!”
“Ah, tidak. Wajahmu itu terlihat mengerikan lho, pantas saja ku selalu sendiri.”
“Heh?!”
“Sudah cukup, kalian berdua! Sekarang adalah gilirannya...kak Vina!”
Kakaknya Lina membuka topinya yang dari tadi menutupi wajahnya.
Tunggu dulu, sebelumnya tadi Lina memanggilnya apa? Kak Vina?
“Wah, rambut pirang yang sangat cantik.”
“Terima kasih atas pujiannya lho, Sena, soalnya adikku selalu membanggakan rambutnya sendiri.”
“Gimana kak Yuki? Mirip kan?”
Mirip, mirip sekali. Jadi ini perasaan nostalgia yang kurasakan saat pertama kali bertemu Lina.
Rambut pirangnya, mata birunya, dan juga, namanya yang hampir sama. Kupikir aku pernah mendengar nama yang sama seperti Lina, ternyata tidak lain adalah dia.
“Baiklah, sepertinya sekarang giliranku. Namaku Vina Adelheid. Umurku sekarang adalah...hmm...mungkin sekitar 21 tahun. Seperti yang kalian lihat, aku dan Lina adalah kakak-beradik. Pekerjaanku adalah pemburu juga, dan statusku juga single.”
Sebuah perkenalan diri yang hangat.
Kami semua terbawa suasana.
Sena dan Vina tak sempat memperkenalkan diri mereka karena makanan yang kami pesan sudah datang. Sena terlihat agak marah karena belum sempat memperkenalkan dirinya sebagai adikku di depan Vina.
Aku hampir saja tak bisa menahan diriku untuk tertawa.
Semoga saja setiap waktunya terus berjalan seperti ini.
Setidaknya sampai aku bisa membiasakan diriku sebagai penerima berkah dari ‘kunci kuno’. Sampai diriku benar-benar bisa menerima kenyataan.

“Tak kusangka jika kamu adalah kakaknya Lina.”
“Aku juga tak menyangka bahwa kamu adalah kakak dari sahabat adikku. Jujur saja, belakangan ini Lina selalu saja bercerita tentangmu di rumah.”
“Berarti, ada pak tua-eh, maksudku....kakekmu juga?”
“Tidak, adikku tak terlalu senang dengan pemburu. Bagaimana bilangnya, sepertinya dia membenci pekerjaan itu karena orang tua kami hilang karena menjadi pemburu. Dia sejujurnya sangat membenciku saat aku bergabung di grup milik kakek. Lama-kelamaan dia mulai menerima diriku ini, namun beda hal dengan kakek, sepertinya Lina takkan akrab dengan kakek. Jadi dia bercertia tentangmu saat kakek masih berada di kantor.”
“Kita sama-sama ditinggalkan oleh orang tua kita. Sungguh cerita yang sangat menyentuh bukan? Lagian kau masih mempunyai orang yang kau sebut ‘kakek’ itu, seharusnya kau lebih bersyukur.”
“Aku tahu itu. tapi bagaimana jika Lina tahu bahwa kau dekat dengan kakekku?”
“Entahlah, aku juga tak pernah memikirkan itu sebelumnya.”
Kami berdua menikmati hembusan angin dari beranda balkon. Setelah selesai makan, rencananya kami akan langsung pulang. Tapi karena Sena dan Lina masih terlihat bersenang-senang dengan kegiatannya sendiri, kurasa lebih lama di sini tak buruk juga.
Hari semakin senja.
Matahari juga akan mulai terbenam.
“Sepertinya kita juga harus kembali ke meja.”
Setelah kembali ke meja, aku tak menemukan Sena di sana. Hanya ada Lina yang sedang menghabiskan sisa kue yang dia pesan tadi.
“Lina, kemana perginya Sena?”
“Kalau Sena tadi katanya perutnya sedikit sakit, jadi dia ke toilet sebentar.”
“Perutnya sakit? Hahaha, kalau dipikir-pikir pertunya itu bisa diisi apa saja.”
“Benar juga, tadi dia juga sudah menghabiskan 3 kue.”
Kami memutuskan untuk menunggu Sena kembali dari toilet sebelum pulang.
Tapi, kenyataannya Sena berada di toilet lama sekali. Mungkin sekitar 15 menit dia belum juga kembali dari toilet.
“Ini sudah 15 menit lebih lho, mau sampai kapan dia terus-terusan berada di toilet.”
“Aku akan mengeceknya.”
“Baiklah, aku dan Vina akan menunggu di luar sekalian membayar tagihannya. Tolong jaga Sena ya?”
“Tentu saja, serahkan Sena kepadaku!”
Selagi kami menunggu di depan kafe, aku sekilas melihat Sena di kerumunan orang-orang yang sedang berjalan.
Mungkin itu hanya khayalanku.
“Kau kenapa?”
“Tidak apa-apa. Jangan khawatirkan aku.”
“Tapi matamu tidak berkata seperti itu Yuki. Kalau bisa, jangan pendam semuanya sendirian.”
“Baiklah, aku mengerti.”
Lalu kami dikejutkan oleh Lina yang tampaknya sedang panik.
“Se-sena...Sena tidak ada di toilet.”
Jadi apakah yang kulihat tadi itu adalah Sena? Kalau benar begitu, kenapa dia meninggalkan kami tanpa memberti tahu apapun? Bukankah seharusnya dia mengabariku terlebih dahulu sebagai kakaknya?
Situasi ini semakin aneh.
Dan terus terang, situasi akan menjadi aneh lagi, karena tiba-tiba saja sebuah gumpalan cahaya muncul di tengah-tengah jalan. Dan itu berada di depan kami.
Gumpalan cahaya itu seketika meledak dan munculla portal di tengah-tengah jalan.
Portal itu membuat panik semua orang di sekitarnya.
Para pengendara langsung meninggalkan kendaraannya tanpa berpikir panjang.
Sejauh yang aku tahu, para monster takkan bisa keluar dari portal untuk beberapa alasan. Jadi area di sekitarnya akan aman.
Tapi keadaannya sangat berbanding terbalik untuk kasus kali ini.
Sebuah monster raksasa muncul dari dalam portal.
Beberapa pasukan polisi sudah dikerahkan untuk menutup area.
Tapi beberapa orang masih penasaran dengan mosnter raksasa itu. mereka melihatnya dari luar garis polisi yang sudah dipasang.
Mosnter itu terlihat mengamuk dan mengambil sebuah mobil dan dilemparkannya ke arah kumpulan orang yang sedang melihat.
“Sial, takkan sempat bagiku untuk memunculkan pedangku.”
Walaupun aku berkata begitu, tapi aku merasakan enegri yang bergejolak dari tanganku. Tanpa kusadari, saat aku menatap mobil itu, seketika mobil itu juga hancur berkeping-keping.
Vina yang dari tadi mencoba mengeluarkan kekuatannya juga terlihat bingung.
“Siapa yang melakukannya? Dan sebenarnya, apa-apaan yaang barusan itu?”
Vina tampak serius memikirkannya, bahkan ia sampai melihatku dengan mata penuh curiga.
Lalu sepertinya Lina melihat Sena.
“Itu Sena, dia berada di sela-sela kerumunan itu!”
Aku juga melihatnya, dia tampak sedang melihat portal itu seperti sedang melihat maha karya yang pernah diciptakan.
Aku harus cepat pergi ke tempatnya.
Aku harus segera pergi...
Kalau tidak...
Aku tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.∑

KSATRIA & KEBANGKITAN (VOL I) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang