~BAB VII

2 2 0
                                    

Polisi sudah mengurumuni tempat ini.
Garis polisi sudah tersebar di dekat portal.
Semua orang dievakuasi ke tempat aman. Monster itu masih sempat mengamuk dengan menghantam badan jalanan.
Beberapa polisi mencoba melukai monster itu dengan peluru. Tapi bagi monster itu, peluru-peluru itu bagaikan sengatan kecil di badannya.
Aku, Vina, dan Lina masih berusaha mencari Sena di tengah-tengah kerumunan.
Aku sempat menemukan sosok Sena, namun sayangnya itu orang lain. Perawakannya dari belakang mirip sekali dengannya. Hampir saja kupeluk dia dari belakang.
Beberapa saat setelahnya, beberapa pemburu datang memecah kerumunan dengan dikawal pasukan militer.
Pertarungan sengit terjadi antara para pemburu dan monster besar itu dan menghasilkan getaran dahsyat.
Area di sekitar portal berguncang hebat.
Semua orang mencari pegangan agar diri mereka tidak tersungkur ke tanah ataupun terluka. Yang lainnya tak kalah heboh, beberapa berdesakkan di jalur keluar, membuat beberapa orang terluka karena terinjak-injak.
10 menit pertarungan berlangsung dan dimenangkan dengan susah payah oleh pihak pemburu.
Mosnter yang kalah itu jatuh terusngkur.
Tubuhnya yang besar menghantam keras badan jalanan, menghasilkan getaran yang setara dengan gempa bumi kecil.
Para pemburu tak mengalami luka serius.
Mungkin hanya beberapa goresan sebgai hadiah kecil dari perpisahan dengan monster.
Seseorang mengenakan topi berbintang merah di tengahnya menaiki bangkai monster yang tergeletak di tengah jalan.
“Kami dari bantuan yang dikerahkan oleh pihak kepolisian sudah menumpaskan monster yang bisa saja membahayakan isi kota ini!”
Pria itu berteriak menggunakan pengeras suara.
Semua orang berpaling kearahnya. Sebagian memperhatikan dengan serius, dan sebagian menatap kagum sekaligus takut kepada bangkai mosnter itu.
“Sekarang area ini sudah aman untuk sementara. Tapi sebelum portal ini ditutup, pemerintah akan segera melakukan evakuasi masal bagi para penduduk di sekitar area ini. pemerintah juga akan menggelar misi sukarela untuk menutup portal ini. Jadi, bagi para pemburu yang kebetulan berada di area ini, kami minta partisipasinya dalam misi kali ini!”
Kedengaran sungguh memaksa.
Walaupun aku tak tahu apa itu ‘misi sukarela’ seraca rinci, yang pasti kedengaran sangat janggal.
Lina terlihat gemetar saat memegang tanganku.
“Kenapa?”
“Tak apa.”
Dia membuang wajahnya saat sedang kutanya.
Matanya bekca-kaca.
Aku tahu Lina sedang menyembunyikan sesuatu. Tapi aku juga tak tahu apa yang sedang ia sembunyikan itu.
Tanpa kusadari, Vina sudah mengganti bajunya dengan seragam tempurnya.
“Lina, sampaikan kepada kakek jika aku mungkin takkan pulang beberapa hari ke depan. Kau baik-baik saja kan sendirian?”
“Aku baik-baik saja. Aku akan sampaikan ke kakek jika kakak ikut misi sukarela lagi. Tapi ingat pesan kakek, kakak harus pulang dengan selamat.”
“Pasti. Aku janji.”
Jari kelingking Vina melingkar di kelingking milik Lina.
Kedua bersaudari itu seperti tak bisa dipisahkan.
“Ah! Iya...iya...kau pasti akan kembali. Jadi, jangan elus-elus rambutku seperti ini dan cepatlah pergi.”
“Kenapa kau menolaknya? Ah...wajahmu memerah.”
Situasi menjadi canggung.
Aku dan Vina saling bertatap wajah, sedangkan Lina sibuk menutupi wajahnya yang memerah.
“Kalau begitu, sampai jumpa.”
Vina menyibakkan rambut pirangnya ke belakang, menghilang di tengah kerumunan.
“Aku harus menyusulnya!”
“Apa yang sedang kau bicarakan? Bukankah kau masih harus mencari Sena? Kau tak tahu keadaannya seperti apa sekarang.”
“Kalau begitu, untuk urusan Sena kuserahkan kepadamu, oke?!”
“HEEH!”
Aku berlari meninggalkan Lina sendirian di tengah kerumunan.
Saat aku menoleh ke belakang, wajah Lina menyiratkan hasrat penuh kekesalan. Semoga saja aku baik-baik saja ketika kembali.
Aku tahu ini juga berat bagi Lina. Selagi ia ditinggal pergi kakak perempuannya, ia juga harus mencari sahabatnya yang hilang.
Harusnya itu tanggung jawanku sebagai kakak untuk mencari Sena dan memastikan keadannya selalu aman.
Namun, firasatku mengatakan bahwa aku harus masuk ke portal itu bagaimanapun caranya. Seperti ada bisikan yang menghasutku. Tapi aku juga tak tahu apa itu.
Aku segera menyusul Vina yang sedang berbicara dengan pria yang berteriak di atas bangkai monster tadi.
Pria itu masih memakai topi berbintangnya itu. Kumisnya tebal dan karena sudah agak berurmur mulai nampak keriput di wajahnya.
Badannya sangat buncit, tapi aku bisa melihat otot tangannya yang besar dan gagah.
“5 menit lagi kita akan masuk.”
“Apa ada pemburu tingkat a lainnya?”
“Kurasa hanya ada kita berdua saja.”
Wajah Vina tampak kecewa sekaligus khawatir.
Sebenarnya aku tak ingin mengganggu pembicaraan mereka. Tapi karena nafasku yang terengah-engah ketika berlari kesini, pria bertopi bintang itu sadar akan kehadiranku.
“Siapa kau? Apa kau kenal dia?”
Pria bertopi bintang itu bertanya kepada Vina sambil menunjukku dengan raut wajah mengesalkan. Rasanya aku ingin menghantam wajah atau pantatnya sesekali.
“Ke-kenapa kau ada di sini? Cepat ikut aku sekarang!”
Vina menarikku menjauh dari pria bertopi bintang. Nadanya terlihat kesal saat melihatku.
Apa aku sudah membuat kesalahan besar?
Setelah agak menjauh dari kerumunan para pemburu, Vina melepaskan cengkramannya yang begitu sesak. Tanganku berdenyut-denyut setelah dicengkram oleh Vina.
Vina menyerbuku dengan segudang pertanyaan.
“Intinya, kenapa kau mengikutiku?”
“Ah, mengikutimu? Rasanya kata-kata itu agak terlalu...kejam, mungkin?”
Vina mendengus.
“Ah...baik..baik, aku akan menjelaskannya. Tapi, sebelum itu, kau harus menenangkan dirimu dulu.”
Vina menarik napas pajang, lalu mengeluarkannya dengan perlahan.
“Baiklah, aku sudah siap.”
“Aku hanya menuruti firasatku saja. Katanya aku harus masuk ke dalam portal ini.”
Vina menepuk jidatnya sambil menggumam tidak jelas, lalu dia berbicara panjang lebar.
“Ah, kau tidak mengerti. Misi sukarela adalah misi berbahaya, sekaligus takkan mendatangkan keuntungan sama sekali kepada para pemburu yang mengikutinya. Kusarankan agar kau tidak mengikuti misi ini. Bukankah adikmu juga masih menghilang juga?”
“Aku sudah menyerahkan urusan Sena kepada Lina. Sekranang kau tak punya alasan lagi untuk bisa melarangku. Dan juga, ada sesuatu yang menggangguku. Kenapa banyak orang yang ingin ikut dalam misi, padahal mereka tahu jika misi ini berbahaya sekaligus tidak menguntungkan? Kau juga, kenapa kau mau ikut kedalam misi ini?”
“ARGH!!! Terserah kau saja! Tapi aku tidak akan bertanggung jawab jika kau mati di dalam sana.”
Sifat Vina yang biasanya dingin berubah.
Kali ini dia memilih mengalah dariku dan mengajakku untuk berkenalan dengan pria bertopi bintang tadi.
“Ini adalah Yuki Miyamizu, dan dia adalah pemburu tingkat e. Katanya dia ingin ikut dalam misi ini.”
“Wah, senang bertemu denganmu. Kami pasti dengan senang hati menerima bantuanmu tak terkecuali pemburu tingkat e sekalipun. Untuk memudahkan urusan, silahkan scan kartu tanda pengenal pemburumu di atas kotak ini.”
Pria bertopi bintang itu mengeluarkan kotak aneh dari balik jubahnya. Bentuknya mirip dengan mesin scan kartu di minimarket. Tapi bedanya kotak aneh ini berwarna hitam gelap dan di atasnya terbuat dari kaca.
Sejujurnya aku agak ragu. Aku belum pernah melihat mesin scan yang seperti itu.
Biasanya mesin scan berbentuk besar dan hanya terdapat di gedung-gedung pemerintahan maupun di grup pusat kota.
Vina dan pria itu menungguku. Si pria bertopi bintang itu menyunggingkan senyumnya kepadaku, seolah-olah aku harus melakukannya.
Setelah aku menscan kartuku, kotak itu menampilkan hologram yang berisikan identitasku melalui refleksi kaca tadi.
Pria bertopi bintang menaruh kotak tadi di belakang jubahnya kembali, lalu dia menyalamiku sambil tersenyum senang.
“Terkonfirmasi. Selamat! Kau telah resmi terdaftar di dalam misi ini. Kau pasti sudah paham dengan aturannnya. Seluruh hadiah dari perburuan bos akan diserahkan kepada pemerintah. Kita para pemburu takkan menerima sepeserpun dari hadiah itu. Sebagai imbalan, kita diberikan sebuah lencana khusus dari pemerintah. Walau kau takkan mendapat hadiah, apa kau masih bersedia untuk ikut?”
Persetan dengan hadiah bos atau apapun itu.
“Dari awal aku memang tak mengincar hadiahnya. Aku tetap ikut!”
“Hahaha, kau orang yang menarik. Kalau begitu, tolong tunggulah disini, sebentar lagi kita akan masuk ke dalam.”
Pria bertopi bintang meninggalkanku berdua dengan Vina yang sepertinya sedang kesa denganku.
“Kenapa kau marah? Apa kau merasa kesal setelah diikuti?”
Tatapan Vina kosong, dan dia tidak menanggapi pertanyaanku.
“Kau tahu, aku kehilangan banyak sekali rekan dalam misi sukarela seperti ini. Aku...aku hanya tak ingin melakukan misi ini bersama orang yang kukenal. Apalagi karena orang itu-“
“Hmm? Karena apa?”
“Bukan apa-apa.”
Saat kutanya wajahnya malah menghindari berkontak mata denganku. Aku merasakan senyuman kecut dari balik wajahnya.
“Kenapa kau menyembunyikannya?”
“Apa maksudmu? Aku tidak menyembunyikan apapun.”
“Kau meneymbunyikan sesuatu, wajahmu tak bisa berbohong. Aku tak memaksamu untuk mengatakan apa yang sedang kau coba sembunyikan, namun jangan berbohong kepadaku. Itu sungguh merepotkan.”
“Sudah kubilang itu bukan apa-apa!”
Vina hendak mendorongku. Tapi badanku bereaksi terhadap dorongannya. Tanpa sengaja aku yang berbalik mendorongnya ke tombok.
DAAK!
“Eh..eh...”
Seluruh wajah Vina berubah menjadi merah. Samar-samar aku merasakan sakit dari genggamannya di lenganku.
Aku tak tahu harus merespon seperti apa.
Apakah aku harus segera melepaskan genggamanku?
Atau aku menunggu sebuah tamparan darinya?
Setelah ini aku harus meminta maaf kepadanya.
“Baiklah, aku akan mengakuinya.”
“Mengakui?”
Pijakanku teralu licin.
Keseimbangan tubuhku goyah dan aku kehilangan satu pijakan.
“Sebenarnya, a-aku..ah!”
Aku menarik Vina jatuh.
Kami berdua sama-sama jatuh. Sesaat aku merasakan genggaman erat dari Vina di tubuhku, serasa tak ingin lepas.
Kami berdua jatuh di aspal jalanan.
Sebenarnya, aku yang jatuh di aspalnya. Vina jatuh di atas tubuhku dan aku merasakan seperti ada tulangku yang patah.
Sesaat, aku merasakan sensai aneh yang menggelora di dalam tubuhku.
Sensasi panas di wajahku.
Aku baru sadar jika wajahnya Vina terlalu dekat dengan wajahku, sampai-sampai aku bisa mersakan nafasnya yang panas.
“Eh..maafkan..maafkan aku!”
Aku segera mengangkatnya bangun. Lalu aku segera menjaga jarak agar aku tak ditampar secara tiba-tiba.
Setidaknya itu respon yang kubayangkan akan terjadi.
Alih-alih marah, Vina justru tenggelam dalam perasasan campur aduknya.
Dia menutupi seluruh wajahnya yang merah merona sambil mengguman tidak jelas.
Walaupun dia tidak marah sekarang, mungkin nanti saat keuar dari portal dia akan memukuliku habis-habisan.
“Apa yang kalian berdua lakukan di sini? Ayo cepat, beberapa menit lagi kita akan segera memasuki portal!”
Beruntung, pria bertopi bintang itu mengeluarkanku dari situasi rumit nan canggung ini. Setidaknya Vina bisa memulihkan keadaannya terlebih dahulu.
Aku mengikuti Vina dari belakang.
Untuk beberapa waktu, sepertinya Vina tak ingin melihat wajahku.

Seluruh partisipan telah berbaris di depan portal.
Kami berjalan satu per satu memasuki mulut portal.
Aku berada di posisi depan, ada 5 pemburu di depanku yang masing-masing berjalan dengan langkah siaga.
Aku tak bisa melepaskan pandanganku ke depan.
Aku terlalu gelisah.
Area portal kali ini adalah area bawah tanah.
Entah kenapa aku serasa terbiasa dengan keadaan ini. Dan juga, aku merasakan sesuatu yang samar-samar. Aku tak bisa menjelaskannya lebih rinci, karena aku juga tak tahu apa yang sedang kurasakan itu.
Seperti ada sesuatu yang sangat hebat akan terjadi.
Sebelum berangkat, pria bertopi bintang itu mengatakan bahwa portal ini berkisar diantara tingkat c, masih ada kemungkinan jika portal ini memiliki tingkat lebih.
Pemburu paling depan menyalakan api dari tangannya. Sepertinya itu adalah kekuatan miliknya, tipe penyihir api. Kemudian pemburu di belakangnya memiliki mata yang bersinar terang, aku tak pernah melihat kekuatan seperti itu.
Lalu pemburu di belakangnya lagi...dia tak mengeluarkan kekuatannya.
Semakin lama berjalan, dinding gua semakin terasa sempit.
Untung saja kami tak berdesak-desakkan. Itu akan merepotkan.
Tepat di depan, jalan gua bercabang menjadi dua.
Rombongan sempat berhenti karena pria bertopi bintang dan seorang lainnya berselisih menentukan jalan yang benar.
Aku sekilas melihat seseorang yang sedang berselisih dengannya, ternyata itu adalah Vina sendiri.
Kupikir, Vina memang keras kepala sekali.
Diantara beberapa pemburu yang sibuk menyaksikan perdebatan itu, salah seorang dari pemburu tingkat e mengangkat tangannya sembari berjalan menuju Vina dan pria bertopi bintang.
Itu adalah pemburu yang ada di depanku tadi.
Pemburu yang memiliki mata bersinar.
“Siapa kau?! Aku lagi sibuk menentukan jalan, jadi kalau kau tak keberatan, bisakah kau menyingkir dari hadapanku?”
“Aku Vivi, dan aku adalah pemburu tingkat e. Sepertinya aku bisa membantumu dalam menemukan jalan.”
“Kau? Memangnya apa yang bisa kau lakukan?”
“Hanya sedikit. Tapi aku janji, aku bisa menemukan jalan yang benar.”
“Aku tidak perlu kekuatanmu!”
Nada pria bertopi bintang agak meninggi, membuat semua pemburu mengalikan perhatian kearahnya.
Beberapa orang mulai berbisik-bisik.
Beberapa lagi menatap sinis pria bertopi bintang.
Mungkin semuanya sudah lelah dengan keputusan yang tak kunjung keluar darinya. Ya, sudah 10 menit berlalu perjalanan terhenti karena jalan bercabang. Beberapa sudah bosan menunggu dan ingin segera melanjutkan perburuan.
Dengan berat hati, pria bertopi bintang mengiyakan bantuan dari Vivi.
Pria bertopi bintang kesal dengan keputusannya sendiri, tapi kekesalan itu dia tahan. Sedangkan yang lainnya sedang menunggu Vivi melakukan sesuatu, menghiraukan pria bertopi bintang.
Vivi berdiri di dekat jalan bercabang.
Dia meminta untuk tak ada orang yang mendekat, dan area di sekitarnya harus gelap.
Dia mengaktifkan mata bersinarnya.
Semuanya takjub dengan sinar yang keluar dari matanya.
Aku sudah melihatnya tadi, namun kali ini aku merasakan aura yang berbeda dari yang ia keluarkan tadi.
Sinar yang dikeluarkan pun agak berbeda dari sebelumnya.
Kalau tidak salah, sinar yang tadi di keluarkan adalah cahaya kekuningan, mirip mata kucing. Sedangkan ini, lebih pekat dan kehitaman.
Perasaanku menjadi tak enak.
Kepalaku terasa agak pusing, tapi aku masih bisa menjaga kesadaran diriku.
“Jalannya lewat sini, semuanya!”
Dia menunjuk ke cabang sebelah kanan.
Setelah matanya kembali normal, perasaanku juga kembali seperti biasa. Apa yang membuat perasanku campur aduk seperti itu? Rasanya seperti ada yang mengganjal di dalam tubuhku.
Tak lama setelah kami memasuki jalan yang ditunjuk oleh Vivi, terdengar suara gemuruh dari arah depan.
“Apa itu?”
“Aku mendengar suara langkah kaki!”
“Apa kau bilang?!”
Belum sempat melihat asal suara itu, beberapa orang berteriak hingga suaranya menggema sampai ke barisan belakang.
“SERANGAN DATANG!!”
Pemburu yang memiliki kekuatan api mengobarkan kekuatannya hingga menerangi gua. Takut sekaligus takjub, gemetar pada pandangan pertama. Sekelompok goblin muncul dari mana saja.
Walaupun api tadi berhasil menerangi gua, namun durasinya tak lama.
Para goblin itu juga sangat pintar.
Mereka memadamkan apinya dengan cara ditutup menggunakan kain.
Ini mungkin hanya perasaanku saja, atau goblin yang ada di sini sangat berbeda daripada goblin yang biasa kutemui sebelumnya.
Mereka memiliki kepintaran di atas rata-rata goblin biasa.
Satu per satu api mulai padam. Tapi para goblin tak kunjung menyerang.
Apa mereka menunggu sebuah perintah?
Karena pengelihatan cukup gelap, para penyihir api membakar tongkat-tongkat kayu untuk dijadikan sebagai obor.
Setidaknya setiap orang bisa melihat dengan jelas.
Sekilas aku melihat Vivi gemetar sembari mengacungkan pedangnya.
Dia tidak menggunakan kekuatan matanya.
Padahal kekuatannya itu sangat menguntungkan jika digunakan dalam posisi seperti ini, atau mungkin dia punya alasannya tersendiri.
Semuanya sudah dalam kondisi siaga, tinggal menunggu aba-aba untuk menyerang dari pria bertopi bintang.
Vina sudah mengeluarkan pedang besar kesatrianya.
Sedangkan aku melihat pria bertopi bintang bersenjatakan dua buah pistol.
Aku mengeluarkan pedang gladiusku.
Ada satu goblin yang menerjang kearahku.
Aku menggeser tubuhku untuk menghindari serangannya. Untung saja aku menggesernya lebih cepat sedikit, kalau tidak pasti aku akan terkena serangannya.
Belum puas dengan satu serangan, sekarang dia menyerang dengan berteriak.
Goblin itu mengarahkan belatinya kearahku, dalam hatinya terdapat hasrat akan haus darah yang begitu kental.
Aku menghindarinya lagi, namun serangan goblin itu dua kali lebih cepat.
Aku terkena serangan di kaki, untung saja lukanya tidak dalam. Tapi itu membuatku kesusahan untuk berjalan normal.
Belum sempat mengambil nafas, goblin itu sudah mau menyerangku kembali.
Ujung belatinya sudah berada di depan mataku.
Sesaat, aku merasa waktu seperti berhenti.
Pengelihatanku samar-samar, semuanya seperti berubah warna menjadi abu-abu.
Jantungku berdegup sangat kencang.
Di depanku, warna mata goblin itu menyala seperti api.
Semakin kulihat, semakin berat nafasku. Kepalaku juga menjadi pusing.
Sekilas, aku melihat refleksi bayangan dari matanya.
Belum sempat aku mengetahhui apa bayangan itu, waktu kembali normal.
CRASH!
Darahnya muncrat kemana-mana.
Apa yang baru saja terjadi?
Aku melihat tombak tertancap di kepalanya.
Sekujur tubuhku penuh dengan darah goblin.
Sekarang aku tak bisa memikirkan apapun. Tubuhku bergidik penuh kengerian. Sekilas aku melihat bayangan tadi, lalu tiba-tiba saja menghilang.
“Hei! Jangan melamun lagi atau kau yang akan kehilangan kepala selanjutnya!”
Seseorang meneriakiku dari barisan pemburu tingkat c.
Wajahnya sangat garang, penuh bekas luka dimana-mana.
Dan kumisnya, sangat lebat.
Kalau dilihat dari penampilannya yang agak berantakan, kira-kira usianya sekitar 30 an. Dia juga memakai sebuah jas cokelat dan topi koboi yang agak lusuh.
“Gwah!”
Teriakan goblin barusan memecah fokusku.
Tanganku masih gemetaran dengan kejadian yang kualami tadi. Tapi jika aku terus-terusan seperti ini, aku akan jadi beban untuk lainnya.
Aku mencoba membunuh goblin yang berada di dekatku.
Tampaknya dia tak seagresif goblin yang menyerangku tadi, namun dengan melihat perlengkapan dan senjata yang ia bawa, aku rasa dia agak sedikit eksentrik.
Goblin itu memakai zirah  full set dari ujung kepala hingga kakinya. Itu yang menurutku membuatnya agak eksentrik.
Lalu, goblin itu menunjukkan hal aneh lainnya.
“Ka..li..an...”
Walau sedikit terpatah-patah, aku yakin jika goblin itu berbicara bahasa manusia.
Tak ada yang menyadarinya selain aku. Semuanya sedang fokus dalam pertarungan sengit ini. Sedikit demi sedikit goblin yang menyerang mulai berkurang.
Aku hanya memalingkan pandanganku sebentar dari goblin aneh tadi, namun tiba-tiba saat aku menoleh lagi kearahnya, sudah tidak ada siapa-siapa di sana.
“Cepat jalan sebelum para goblin itu muncul kembali!”
Aku tak sempat memikirkannya kembali.
Semuanya bercampur aduk di dalam kepalaku.

Tak terhitung sudah berapa lama sejak aku memasuki portal.
Mungkin baru satu jam? Atau bahkan sudah berjam-jam berjalan di portal bawah tanah ini. Semenjak bertemu dengan jalan bercabang dan gerombolan goblin, semuanya nampak biasa-biasa saja.
Rasa lelah akibat pertarungan tadi masih terasa oleh sebagian pemburu.
Walaupun aku tak banyak berkontribusi dalam penyerangan tadi, rasa gugup itu belum juga hilang dari kepalaku.
“Hei, jangan berhenti di jalan seperti ini! Kau menghambat semuanya tahu!”
Pria di belakangku nampaknya tak kuat lagi berjalan. Dia menyeret langkahnya, menghambat sebagian rombongan.
Si pria bertopi bintang sudah meneriakinya sebelumnya.
Bahkan para pemburu lainnya beniat untuk membuangnya di tengah perjalanan. Selain sudah tidak mempunyai tenaga, kekuatannya sebagai pemburu tingkat e juga tidak begitu berharga di matanya.
Akhirnya dia terkulai dan tumbang di atas tanah.
“Buang saja dia!”
“Ya, dia hanya akan menjadi beban!”
Tidak ada yang mau membantunya berdiri. Malahan semuanya berharap dia mati terbunuh oleh para goblin atau ditelantarkan di tengah portal.
Suara berisik yang dibuat oleh para pemburu yang sedang berdebat tentang pria tadi mengundang tamu yang sangat merepotkan.
Orang-orang yang ada di barisan paling depan lari terkocar-kacir.
Sepertinya mereka sudah ketakutan terhadap goblin.
Aku menarik kerah baju pria yang terjatuh tadi. Aku mencoba membantunya berdiri.
Wajahnya sangat pucat dan lesu.
Warna matanya berubah menjadi abu-abu serta pupilnya semakin mengecil. Tatapan kosong, seperti sudah menandakan kematian sudah dekat baginya.
Dia sudah hampir berdiri. Tapi ‘itu’ terjadi lebih cepat.
Seekor goblin melompat dari dinding sambil mengayunkan sebilah pedang.
Bilahnya memotong lehernya dengan sangat mudah, bagaikan mengiris puding tapi dengan ukuran besar.
Darah mengucur dari pangkal lehernya.
Kepalanya jatuh dan menggelinding di tanah.
Sekujur tanganku terkena darahnya dan terus mengalir hingga ke mengenai bajuku.
Aku langsung melepaskan peganganku dari kerah bajunya saking shocknya. Kakiku bergemetar hebat dan mataku terpaku kearah kepalanya yang menggelinding.
Aku membayangkan ekspresi wajahnya saat sebelum kepalanya terputus.
Senyum keputusasaan.
Wajah penuh kengerian.
Sebuah seringai kesenangan dari iblis.
Tanpa sadar aku sudah memuntahkan isi perutku saat sedang membayangkannya.
“Woy! Cepat kemari dan buat barisan bertahan!”
Pria bertopi koboi meneriakiku.
Dalam benakku, aku harus mengubur jasadnya dengan layak.
Setidaknya karena aku tak bisa melindunginya.
“Apa yang kau lakukan?! Buang saja jasadnya, lagipula itu hanya akan menghambat perjalan kita nanti.”
Buang jasadnya? Atau menguburkan jasadnya dengan layak?
Mana yang harus kupilih?
“Ah, kau juga sama menyusahkan.”
Tanpa kusadari pria bertopi koboi itu sudah menarik lenganku.
Dia menyeretku dan memaksaku untuk meninggalkan jasadnya tadi.
Entah kenapa, aku masih punya keinginan untuk menguburkannya dengan layak. Tapi tubuhku berkata lain. Kakiku terasa sangat lemas.
Monster goblin kembali berdatangan.
Jumlahnya bahkan lebih banyak dari sebelumnya.
Walaupun musuh mereka sudah di depan mata, mereka seperti menunggu sesuatu. Ini juga terjadi sebelumnya.
Para pemburu kembali menyalakan api.
Pria bertopi bintang menyerukan untuk membentuk formasi lingkaran sambil membentuk sebuah lingkaran dari tangannya.
Kami membentuk dua lapisan bertahan. Lapisan pertama diisi oleh pemburu yang bertarung jarak dekat, dan lapisan kedua diisi oleh sebagian besar pemburu tipe penyihir.
Kami menjaga jarak untuk mengantisipasi serangan dadakan.
Suasananya menjadi berat. Semuanya menjadi sangat tegang. Tanpa kusadari aku bahkan memegang senjataku lebih erat, seakan-akan aku tak bisa melepasnya.
Gelombang pertama dimulai saat sebuah peluit dibunyikan.
Tepat setelah bunyi peluit berbunyi, para goblin yang tadinya sedang menunggu seperti mendapatkan sebuah perintah.
Serangan goblin cukup asal-asalan dan tak beraturan.
Mereka hanya mengikuti naluri membunuh mereka tanpa menggunakan akal. Walaupun tak beraturan, kadang hal seperti itu cukup merepotkan.
Aku berusaha keras menangkis serangan yanng datang kearahku.
Selagi kami menahan dan menyerang di bagian depan, para penyihir dan beberapa pemanah melancarkan serangan jarak jauh untuk menumpas goblin yang datang.
Aku berusaha mati-matian beradu pedang.
Tapi entah kenapa rasanya ini tak terlalu berat seperti dulu.
Aku yang dulunya masih pemula bahkan tak sanggup menghindari serangan goblin. Bahkan aku harus membayarnya dengan beberapa luka sayatan di tubuhku.
Aku tak membertitahu Sena tentang hal itu.
Yang dia tahu mungkin hanya kakaknya menjadi seorang pemburu untuk bertahan hidup.
Kembali lagi ke pertarungan hidup matiku, aku sekarang sedang berhadapan dengan petarung goblin yang sepertinya cukup kuat.
Dia melilitkan rantai di bagian tubuhnya. Dia memakai helm besi yang sudah koyak. Aku tak melihat dia memegang senjata di tangannya.
Kesempatan, pikirku. Tanpa sadar aku berlari kearahnya sambil menghujamkan belatiku. Sekilas aku berkontak mata dengannya, dan saat itu aku sadar telah masuk ke dalam jebakannya.
Saat aku sudah mencapai jarak serangnya, dia mengayunkan lengan kanannya dan menghantam perutku dengan sangat keras. Aku terlempar cukup jauh darinya.
Karena aku tak memakai baju zirah yang cukup kuat, pukulannya sangat kerasa.
Aku memuntahkan darah dari mulutku.
Dan, aku sangat menyesal karena tak menyadarinya.
Aku menoleh sesaat untuk mencari bantuan. Tapi ternyata aku sudah terpisah jauh dari rombongan, yang ada malah sekelompok goblin kerdil yang sudah siap menyantapku.
Saat itu aku sungguh merasakan rasa takut.
Aku baru berpikir, jika aku sedang dalam keadaan seperti ini pasti akan ada orang  yang akan menolongku karena aku lemah. Aku selalu meminta seseorang untuk menjulurkan tangannya. Lalu, bagaimana sekarang nasibku?
Semuanya terlalu jauh untuk digapai.
Aku bisa melihat sosok Vina melalui kerumunan goblin.
Aku tertawa sebentar. Kenapa aku malah mengkhawatirkan Vina sekarang?
Sesaat setelah nyawaku berada di ujung tanduk, aku melihat cincin hitam yang ada di tanganku berkedip-kedip. Batu yang berkedip di tengahnya berwarna merah darah.
Dan juga, sejak kapan aku memakai cincin seperti ini? Apa mungkin ini semacam hadiah rahasia dari Lina?
Goblin petarung tadi sudah siap menghantam perutku lagi sampai mampus.
Saking ketakutannya diriku, aku sampai menutup mataku dan berpasrah di hadapannya.
Terima kasih, Sena, Lina, dan juga Vina. Kuharap kalian baik-baik saja selalu.
Air mataku menetes sendiri.
Seperti inikah rasanya mati. Ah, apakah aku terlalu cepat untuk menemui ajalku sendiri? Padahal aku masih lemah. Aku belum menunjukkan sisi kuatku di hadapan Sena.
Kurasa itu akan menjadi penyesalanku seumur hidup.
Selamat tinggal dunia...
Mungkin.∑

KSATRIA & KEBANGKITAN (VOL I) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang