Aku tak menyangka akan diselamatkan begitu oleh sang dewi.
Aku melihat sosok Vina yang sangat kuat dan begitu berani menerobos gerombolan goblin hanya demi menyelamatkanku.
Di pipinya ada bercak darah, membuatnya lebih menawan dari biasanya.
Dengan begitu, semua goblin sekaligus goblin petarung tadi sudah lenyap berkat adanya dewi penolong ini.
“Dasar lemah.”
Vina menjulurkan tangannya kepadaku.
Aku tak bisa mengingat sudah keberapa kalinya aku menerima uluran tangan seperti ini, namun rasanya kali ini sedikit berbeda.
Aku menyambut uluran tangannya dan mencoba berdiri.
“Kau berutang padaku.”
Wajahya terlihat kegirangan. Padahal aku masih ingat dia mengatakannya sendiri jika dia tak mau bertanggung jawab atas hidupku di sini. Yah, aku tak mau memperburuk suasana, jadinya aku akan tutup mulut sebentar.
ARGH!
Seekor goblin yang mencoba menyerangku terkena panah dan tertancap di tanah.
Seorang pemanah wanita berambut merah tersenyum kepadaku sambil mengacungkan jempolnya.
Aku juga membalas senyumnya dan menganngguk ramah.
Vina membukakan jalan di depanku dan aku mengekoranya dari belakang.
Sesudah sampai di gerombolan, aku mendapat banyak tatapan sinis. Aku tak tahu apa yang menjadi alasan aku ditatap seperti itu.
Semuanya kembali fokus ke serangan goblin selanjutnya.
Kali ini aku harus berpikir tenang dan tetap dalam barisan.
Dan akhirnya, seruan kemenangan terdengar hingga langit-langit gua bergetar.
Ini adalah kali keduanya kami menghadapi gerombolan goblin di portal ini. Tapi yang satu ini lebih mengancam jiwaku.
Semua orang berkumpul merayakan kemenangan sekaligus beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan.
Seseorang berjalan menuju arahku.
Langkahnya seperti orang yang tergesa-gesa. Aku mencoba melihat wajahnya, dan ternyata dia adalah pria bertopi koboi yang tadi berteriak kepadaku.
Aku tak tahu ada urusan apa denganku kali ini, namun fisaratku mengatakan dia datang dengan amarah besar, seperti aku sudah menggangu tidur siangnya.
Tiba-tiba dia menarik kerah bajuku dan melemparku beberapa meter dari tempatnya berdiri.
Lalu dia berlari lagi kearahku dan kembali menarik kerahku.
“Kau tahu apa yang membuatmu seperti ini?”
Aku mencoba menatap matanya yang penuh amarah sambil berkata:
“Sungguh, aku tak tahu apa yang kau maksud? Sungguh.”
Aku mencoba menjawabnya dengan pelan agar tak menyinggungnya.
Sepertinya dia akan melemparku lagi.
Banyak yang berkumpul di sekitar kami karena keributan yang dibuatnya.
“Hentikan itu, Elgar!”
Ah, beruntung sekali ada yang melerai.
“Kenapa kau menghentikanku Vina?! Apa kau mau membela anak ini lagi?!”
Hei, kau barusan menatap tajam kepadaku sambil memberi kode ‘jika bergerak kau akan mati’ atau kurang lebih seperti itu.
Dan tunggu, Vina dan dia saling mengenal?
“S-siapa yang membelanya?”
Apa aku baru saja melihat sosok Vina yang menyembunyikan sifat malu-malunya?
Terlebih, sepertinya aku memang tak suka dengan pria bertopi koboi sejak pertama kali aku bertemu dengannya. Kalau tak salah namanya tadi disebut oleh Vina, hmm...aku tak begitu mengingatnya.
“Ah, jadi begitu...dia adalah pangeran kecilmu.”
Pangeran kecil?
“Bukan, dia hanyalah kakaknya temannya adikku. Ada masalah?”
“Apakah benar begitu, kalau hubungan kalian hanya seperti itu, kenapa kau tadi menyelamatkannya?”
“Maaf saja, aku bukan orang yang tak mempunyai hati sepertimu. Percaya atau tidak, tindakanmu sangat brutal dan menyebabkan banyak kerugian.”
“Hahaha...terima kasih atas pujiannnya. Tapi, aku merasa tak senang dengan bocah ini. naluriku menyuruhku untuk menyingkirkannya. Lemah, tak bisa diandalkan, kalah dalam sekali serangan, dan tentu saja beban dalam tim. Tapi, sepertinya kamu akan melindunginya dengan segenap tenaga, bukan?”
“Entahlah, aku hanya tak tahu apa yang akan terjadi padamu nanti.”
Argh, cengkramannya semakin kuat. Tapi aku melihat rasa takut dari raut wajahnya setelah Vina mengancamnya.
“Aku sedikit lepas kendali, maaf, aku akan lepaskan dia.”
Rasanya hebat melihat pria tua ini mengalah kepada seorang gadis.
Elgar meninggalkanku dan menghilang di tengah kerumunan.
Vina berjalan kearahku sambil tersenyum, rasanya dia ingin aku berhutang budi padanya lagi. Tapi aku memutuskan untuk langsung berdiri sebelum nantinya Vina akan mengulurkan tangannya lagi.
Tetapi dia malah memelukku dengan erat di depan semua orang. Kupikir Vina bukan orang yang acuh tak acuh dengan hal semacam ini.
Dia melingkarkan tangannya di punggungku. Wajahnya terbenam di dadaku.
Sepertinya dia tak menyadarinya, bahwa berpelukan di depan semua orang seperti ini sangatlah memalukan. Aku berharap bisa menghilang sebentar setelah kejadian ini.
Dan satu hal lagi yang tak kutahui sebelumnya, Vina memelukku sambil menangis.
Setelah beberapa lama dipeluk dan ditatap dengan tajam, Vina melepaskan pelukannya. Aku tak bisa melupakan sensasi wajahnya yang begitu hangat itu.
“Ah, aku menjilat perkataanku sendiri. Ternyata kau memang merepotkan.”
“Haha, maafkan aku yang selalu merepotkan ini.”
Aku sedikit memaksa tertawa, suasananya menjadi agak canggung.
Dan setelah kupikir-pikir, ternyata Vina takkan marah dan bilang ‘lupakan yang baru saja kulakukan! Anggap saja tak pernah terjadi’, seperti yang dikatakan para tsundere. Itu membuatku sangat lega.
“Ehm, sudah puas berpelukannya?”
Pria bertopi bintang muncul kembali dan memotong suasana canggung itu.
Entah aku harus berterima kasih kepadanya karena telah mengeluarkanku dari suasana canggung bersama Vina, atau aku harus kecewa karena tidak bisa mengobrol lebih lama dengannya.
Pria bertopi bintang mengeluarkan pengeras suaranya lagi dan meminta semuanya untuk kembali berbaris. Sepertinya perjalanan akan kembali dimulai.
Kuharap akan berakhir bagus.
“Di depan sana adalah ruang bosnya, jadi pastikan kalian telah siap karena kita akan mengakhiri portal ini, dan...pastikan untuk kembali dengan selamat.”
Aku harus menguatkan pikiranku lagi. Aku tak mau pikiranku tergoyah dalam pertempuran, dan jujur saja, aku tak mau berakhir duluan di sini.
Aku sudah siap memegang pedang gladiusku yang kecil ini, namun tanganku masih berasa kaku dan tak bisa lepas darinya. Sepertinya aku masih ketakutan.
“Tenang saja, kau pasti bisa,”
Vina? Tapi saat aku mengedarkan pandangan untuk mencarinya, aku tak menemukannya sedang berbisik kepadaku. Dia bersama pria bertopi bintang di bagian depan dan sepertinya sedang membahas strategi untuk melawan bos.
Lalu, apa yang baru saja kudengar itu?
“Kau takkan mati semudah itu, percayalah,”
Apa yang dia maksud? Aku benar-benar dibuat bingung oleh suara ini.
Tapi suara barusan memberiku perasaan hangat sekaligus ketenangan. Tanganku lebih rileks saat memegang gladius.
Aku bisa merasakannya, perasaan tenang menyelimuti diriku. Aku bisa berpikir lebih dingin.
Apa ini efek yang diberikan suara misterius itu? Kalau iya, aku mungkin bisa memintanya untuk membisikannya lagi di saat pertempuran nanti.
“Baiklah semuanya, kita berangkat menuju ruangan bos terakhir.”
∞
Kami sudah sampai di depan ruangan bos.
Seperti biasa, arsitektur di depannya selalu megah dan berasa sangat indah.
Aku melihat dua patung gargoyle tergantung di sisi pintu yang sangat besar.
Vina, pria bertopi bintang, dan beberapa pemburu tingkat a pergi memeriksa pintunya. Biasanya pintu bos terbuka jika pemicunya ditemukan. Bahkan tak jarang akan muncul side-bos untuk memunculkan pemicunya.
Mereka kembali dengan wajah kecut.
“Percuma,” kata pria bertopi bintang.
“Ya, kita takkan bisa masuk, apakah ini tanda untuk kita berhenti?” timpal seorang pemburu tingkat a lainnya.
“Tidak, itu semacam butuh artefak untuk membukanya. Tapi kita tak menemukan artefak apapun saat menjelajah portal ini.” jelas Vina.
Karena aku duduk cukup dekat dengan pintu, aku jadi bisa mendengar apa yang mereka katakan.
Saat mereka sedang berkumpul untuk membahas cara memuka pintu ini, aku penasaran dengan yang mereka katakan tadi.
Sesuatu yang menyangkut tentang artefak.
Aku pergi untuk melihat apa yang ada di pintu itu.
Setelah aku berdiri tepat di depannya, aku terasa seperti manusia kerdil. Ukuran pintunya lebih besar berkali-kali lipat dari ukuran manusia biasa. Terdapat beberapa ukiran yang begitu indah di pintu. Aku melihat ukiran yang menggambarkan monster di sebelah kiri pintu sedang melawan manusia yang diukir di sebelah kanan.
“Itu adalah refleksi dari perang gelombang pertama.”
Aku tersentak saking kagetnya.
Itu bukan suara yang tadi terdengar olehku.
“Ah, maaf...apakah aku mengganggumu?”
Aku menoleh kearahnya, aku pernah melihat sebelumnya, dia juga salah satu pemburu tingkat a yang tergabung di perjalanan ini.
“Aku hanya kaget dengan kedatanganmu yang tiba-tiba itu. Aku terlalu fokus memperhatikannya.”
“Ah, maaf atas keterlambatanku memperkenalkan diri...”
Dia membungkuk kearahku.
Dia seorang pria yang ramah. Wajahnya memang terlihat asing, mungkin dia seorang blasteran? Rambutnya merah terang dan terlihat pas dikombinasikan dengan pakaiannya yang sama-sama merah.
“Namaku Alfred, Alfred Hein. Aku sudah mendengarmu sebelumnya dari Nona Vina dan Ketua.”
Aku terpaku oleh matanya yang membara.
Tunggu, sebelumnya dia bilang Nona Vina dan Ketua, berarti dia juga berasal dari grup pusat. Aku jadi penasaran dengan para pemburu yang ada di grup pusat.
“Ah, tuan Alfred, bolehkah aku bertanya sesuatu?”
“Oh, haha...kau jangan terlalu formal denganku. Panggil saja aku Alfred.”
“Ah, baiklah.”
“Jadi, apa yang ingin kau tanyakan?”
Nada bicaranya terasa agak berat.
“Sebelumnya aku minta maaf karena telah menguping pembicaraan kalian. Tapi aku sangat penasaran kenapa kalian kesulitan menemukan pemicunya?”
“Maksudmu tentang artefak itu? Aku tak yakin apakah itu adalah pemicu dari pintunya, namun karena satu hal kami menyimpulkannya seperti itu.”
“Dan apakah itu?”
“Lihat ini!”
Tangan Alfred menunjuk ke arah ukiran sebelah kanan, ukiran yang menggambarkan manusia sedang bertarung.
“Kau lihat yang sedang menunjuk ke arah lubang itu? Kupikir dia adalah pemimpinnya, dan dia menunjuk kearah lubang yang ada di persimpangan ukiran. Sama halnya dengan ukiran monsternya, ada salah satu yang menunjuk juga kearah lubang itu.”
Aku melihat sebuah lubang di tengah-tengah pintu itu dan lubang itu berada di persimpangan ukiran antara manusia dan monster.
Ukurannya sangat kecil untuk tangan manusia.
Apa yang harus dimasukan kedalamnya untuk memicu pintunya terbuka?
“Yuki, aku penasaran sejak pertama kali melihatnya, tapi cincin apa yang sedang kau kenakan itu?”
Alfred memandang penuh rasa penasaran kepada cincin yang kugunakan.
“Entahlah, aku juga tak ingat pernah memakainya. Mungkin ini adalah hadiah kejutan dari adikku. Kupikir dia mengenakannya saat aku sedang tidur.”
“Begitu ya.”
Alfred tampak kecewa dengan jawabanku.
Dan kalau aku boleh jujur, aku juga tak tahu cincin ini darimana asalnya. Sesampainya di rumah aku akan bertanya kepada Sena.
Bicara soal Sena, apakah Lina sudah berhasil menemuaknnya?
Alfred pamit undur diri, katanya ada yang ingin dihabas oleh si pria bertopi bintang dengan para pemburu tingkat a lainnya.
Sekarang aku ditinggal sendiri. Aneh, padahal sebelumnya aku memang sendiri sebelum Alfred mendatangiku.
Tanpa kusadari, aku sudah merenung sekian lama sambil memandangi ukiran pintu. Aku membayangkan ukirannya saling bergerak dan bertarung. Dari dalam sana terdengar suara besi saling berdesing dan teriakan juang membumbung tinggi.
Kobaran api menjulur hingga tepi pintu, menghasilkan sebuah bingkai yang terasa sangat panas.
Aku juga baru menyadarinya, beberapa tulisan yang terukir menyala setelah dilewati kobaran api tadi.
Sungguh indah, pikirku.
Walaupun aku tak bisa membacanya, aku hanya bisa menyaksikan ukiran-ukiran itu saling bertarung satu sama lain.
Begitu aku menyentuhnya, pintunya terasa hangat, seolah-olah api itu menyelimuti diriku. Aku bisa merasakan hangatnya di ujung tanganku.
“Yuki?”
Sebelum aku menengok, aku sudah tahu yang memanggilku adalah Vina.
Begitu aku menghadap kearahnya, aku terlihat bingung dengan ekspresi yang dia buat saat melihatku.
Ekspresi yang sangat tidak enak, tatapan penuh kengerian.
Seperti melihat setan atau monster.
Tidak hanya Vina yang membuat ekspresi seperti itu, yang lainnya juga membuat ekspresi yang sama.
“A-ada apa dengan kalian semua?”
Sesaat saja, aku terlihat bingung. Semua tatapan dan ekspresi itu ditujukan kepadaku seorang, seolah mereka melihatku sebgai sosok monster yang sedang berdiri di hadapan mereka. Menunggu untuk memangsa mereka.
“Tubuhmu...tubuhmu terbakar,” ujar pria bertopi bintang.
“A-apa maksudnya itu? Tubuhku? Terbakar? Apa yang kalian bicarakan?”
Kupikir mereka sedang menjahiliku.
Tapi setelah aku melihat tanganku yang terbakar, aku tak yakin mereka sedang bercanda.
“Apa ini?”
Aku panik.
Tentu saja, kupikir semua itu hanya sebatas bayangan yang terlintas di kepalaku. Tentu saja aku berpikir tak apa jika aku menyentuhnya.
Jadi, kehangatan yang kurasakan tadi...itu nyata.
“Seseorang! Seseorang yang bisa memakai sihir air! Tolong cepatlah kesini!”
Aku merasa bersalah karena telah membuat mereka semua khawatir, terutama kepada Vina.
“Satu, dua, tiga!”
Berapa kali mereka berusaha memadamkan api ini, semuanya terasa sangat sia-sia.
Begitu apinya padam, api yang baru akan muncul dari dalam tubuhku begitu saja.
“Ini bukan akhir dari hidupku kan?”
“Tentu saja bukan.”
Suara yang lain menjawab pertanyaan batinku.
Semuanya begitu gelap.
Mataku terasa sangat berat.
Sebelum aku menutup mata, aku sempat melihat Vina yang begitu putus asa untuk menyelamatkanku dari kondisi ini.
∞
Saat aku terbangun, aku sudah berada di tempat adark ntah berantah.
Sejauh mataku memandang, aku hanya bisa melihat kegelapan. Tapi beberapa api mengambang dan seperti sedang menerangiku.
Aku begitu kebingungan dengan apa yang baru saja terjadi padaku. Ukiran-ukiran yang menjadi nyata, dan kobaran api abadi yang menyelimutiku.
Mengatakan ‘selamat datang’ sambil bertepuk tangan, sesosok bayangan yang tinggi dan mencekam mendekatiku dari kegelapan.
Wajahnya terkena cahaya api dan saat itu, aku bisa melihat wajahnya. Kupikir wajahnya teramat seram untuk dilihat. Kulitnya berwarna pucat, kulitnya juga dipenuhi keriput dan di bagian bawah matanya teramat sangat hitam, seperti sedang memakai maskara.
Dia memakai jubah yang menutupi tubuhnya dari bagian leher hingga ujung kaki.
Aku tidak melihat dengan jelas tubuhnya, namun sepertinya tubuhnya kurus dan tidak terlalu berisi. Tapi sayapnya yang keluar dari punggungnya menambah kesan ‘ngeri’ padanya.
Seharusnya aku bergidik ngeri dan gemetar setelah melihat makhluk yang dengan jelas tertulis di dahinya ‘iblis’ ini. Anehnya, aku sama sekali tak bergeming di depannya. Apalagi setelah aku bertatap mata dengannya.
“Hoo, kau sama sekali tak takut denganku.”
Dia mengatakannya sambil menunjukkan taringnya yang tersembunyi di balik senyum lebarnya.
Walaupun aku merasa tak takut kepadanya, mulutku terasa seperti terkunci rapat-rapat dan suaraku hilang dari tempatnya.
“Sepertinya ‘dia’ menghapus ingatanmu saat berada di sana. Ah menyebalkan.”
Aku tak paham dengan apa yang ia katakan.
Tapi aku yakin dia sedang membahasku.
Tangannya yang sangat besar menyentuh kepalaku. Dan saat itu dia menggumamkan sesuatu yang tak kuketahui bahasanya.
Setelah dia bergumam, aku merasakan sesuatu yang mengalir di dalam tubuhku. Rasanya sangat hangat dan itu menyelimuti tubuhku seperti selimut.
“Apa yang kau rasakan?”
“Sesuatu, sesuatu yang hangat seperti sedang menyelimuti tubuhku.”
“Baguslah, kalau begitu aku bisa melanjutkannya.”
Selanjutnya dia menutup wajahku dengan tangannya.
Tangannya sangat besar dan kasar, namun tak bau sama sekali. Tapi aku merasa tak nyaman diperlakukan seperti ini. Sesaat setelah dia menggumam lagi, kesadaranku terasa terseret oleh tangannya.
Ini seperti kilas balik di film-film.
Tapi yang kulihat tadi adalah diriku sendiri. Kunci di ingatanku telah terbuka kembali. Aku sekarang kembali mengingatnya, sesuatu seperti aku telah menjadi ‘Dark Knight’ dan berlatih bersama Rivilius.
Ah, itu alasannya aku tak takut melihatnya tadi. Dia mirip dengan sosok yang kutemui di altar itu.
“Sudah mengingatnya kembali?”
“Ya, kurang lebih seperti itu.”
Kurang lebih aku sudah kembali mengingat memori yang disegel itu. Tapi aku tak tahu alasannya menyegel memori itu. Apakah itu akan berbahaya bagiku?
“Kenapa kau membuka memoriku? Dan juga, sebenarnya siapa kau ini?”
“Ah maafkan aku ini, sebelumnya aku minta maaf karena belum memperkenalkan diriku kepada tuanku ini. Aku adalah Necro, aku adalah ‘Dark Knight’ itu sendiri.”
Dia memperkenalkan dirinya layaknya seorang pramusaji yang sedang melayani masternya.
“Apa maksudya kau adalah ‘Dark Knight’ itu sendiri?”
“Sebelum aku menjelaskannya, izinkan aku bertanya kepada tuan Yuki, menurut tuan, apa itu gelar ‘Dark Knight’?”
“Yang terlintas dipikiranku, itu semacam titel yang diberikan padaku karena aku telah dianugrahi semacam kekuatan. Kurasa aku juga merasa fisikku jauh berbeda setelah dilatih Rivilius.”
“Ya, kurang lebih seperti itu. Sebelum kulanjutkan, apa kau masih mempunyai senjata yang kaubawa dari Rivilius?”
“Yang aku ingat, aku memilih Claymore sebagai senjataku saat itu. Tapi saat memoriku disegel, aku masih memakai pedang gladiusku. Aku tak ingat disimpan dimana senjata itu.”
“Sepertinya kau tak ingat ya, yasudahlah.”
Necro nampak kecewa karena aku tak mempunyai senjatanya. Terbesit di pikiranku sihir yang tekah diajarkan Rivilius.
“Item box, Claymore.”
Sebuah lubang hitam muncul di hadapanku. Lalu sebuah pedang keluar perlahan dari dalamnya. Pedang itu adalah Claymore yang aku pilih.
Necro menatap tajam padaku dan bertanya-tanya bagaimana aku bisa melakukan sihir barusan itu. Setelah kusadari, sihir yang kupelajari dari Rivilius hampir semuanya sihir lanjutan yang cukup sulit dilakukan.
“Tuanku memang hebat. Tak kusangka kekuatanmu jauh melebihi ekspektasiku. Aku jadi semakin yakin bahwa kau memang pantas terpilih.”
Pujiannya agak berlebihan, namun sepertinya aku senang dapat pujian dari Necro.
“Sekarang coba panggil aku.”
Memanggil Necro? Aku tak paham maksudnya. Tapi setelah dia mengatakannya, sosoknya yang tinggi itu menghilang begitu saja.
Apa aku harus memanggilnya dengan menggunakan ritual dan darah sebagai pemicunya. Ataukah aku harus membiarkan diriku berada di ambang kematian terlebih dahulu.
Semakin aku memikirkannya, aku juga semakin bingung bagaimana caraku untuk memanggilnya.
“Santai saja, lakukan dengan caramu sendiri. Dengan begitu kau bisa memanggilku lagi dengan cara itu.”
Suara ini sama dengan yang kudengar saat kesadaranku hilang. Jadi ini yang dinamakan telepati. Apa aku juga bisa berbicara kepadanya?
Necro juga membantu menyakinkan cara yang harus kupakai sendiri. Walaupun begitu, banyak cara yang bisa digunakan untuk memanggilnya. Mungkin dengan meneriakkan namanya, namun itu sangat memalukan untuk dilakukan di depan banyak orang. Atau dengan meneteskan darahku ke tanah, ah, itu lumayan menyakitkan.
Mungkin aku bisa memanggilnya dengan cara yang keren, layaknya seorang pahlawan yang bertahan hidup di kerasnya medan perang. Lalu aku terpikirkan sesuatu yang keren.
Aku mengangkat Claymore dengan kedua tanganku, setelah itu kutancapkan Claymore ke tanah sambil bergumam ‘Necro’.
Alhasil Necro berhasil kupanggil. Kali ini wujudnya sedikit berbeda dari sebelumnya. Sosok bayangan yang besar nan tinggi sekaligus mencekam itu berubah menjadi zirah hitam yang melekat di tubuhku.
“Jadi ini yang dimaksud ‘Dark Knight’. Sungguh keren.”
Aku mengatakannya dengan raut wajah yang menggambarkan seolah-olah aku baru saja mendapat senjata SSR, kurang lebih kenyataannya seperti itu. Bahkan yang ini melebihi tingkatan UR.
Rasanya seperti semua kehokianku telah kupakai dalam mempertaruhkan gacha barusan.
“Oh iya, Necro. Apa kegunaan zirahnya? Aku tak merasakan sesuatu seperti kekuatanku yang meningkat atau aku bisa menggunakan sihir yang bisa meledakkan suatu kota.”
“Coba kau tes saja sendiri. Aku akan summon beberapa monster untuk menjadi lawanmu.”
Dua mosnter jerangkong muncul dari lingkaran sihir. Dua-duanya memakai perlengkapan lengkap, mulai dari zirah, pelindung kepala, perisai, dan pedang. Lalu satu jerangkong muncul lagi di belakang mereka. Yang satu ini bertipe serangan sihir dengan memakai tongkat sihir sebagai senjatanya.
Aku menggenggam Claymore di tangan kananku sedangakan di tangan kiriku aku menggenggam beberapa batu kecil.
Aku memulai serangan ke jerangkong bertipe sihir, karena tentu saja mereka merepotkan. Apalagi jika mereka bisa memakai sihir penyembuh.
Dua jerangkong ini menghalangi jalur tembakanku. Dan tentu saja dengan cepat aku berbelok dan bersiap menyerang si penyihir dengan batu yang sudah kuberi sihir angin.
Aku yakin baru saja aku berbelok dengan cepat, seperti tubuhku bersinkronisasi dengan otakku. Aktivasi sihirku juga bekerja dengan sangat cepat. Dan dengan cepat batu itu melesat seperti peluru dan tepat mengenai kepalanya dan hancur seketika.
Aku merasa kekuatanku bertambah seiring berjalannya pertarungan.
Sebagai serangan terakhhir, aku mengayunkan Claymore tepat di depan mereka. Jerangkong ini juga sudah siap menerima seranganku, mereka menutupi diri mereka menggunakan perisai bundar. Aku menuntaskan serangan terakhir tanpa ragu dan Claymore membelah mereka sekaligus perisainya menjadi dua.
Pertarungannya sudah berakhir.
“Apa kau sudah mengetahui kekuatan dari zirahku? Sungguh keterlaluan jika kau tak menyadarinya.”
“Ya, aku menyadari tiba-tiba saja kekuatan bertarungku bertambah di tengah pertarungan. Dan aktivasi sihiku juga bekerja lebih cepat dari biasanya. Jadi ini kekuatan-ARGH!”
Aku baru saja memuntahkan darah dari mulutku.
Sekujur tubuhku merasa lemas dan bahkan aku tak kuat berdiri sampai-sampai aku menggunakan Claymore untuk menahan badanku agar tidak jatuh.
“Gluttony, efek samping yang sangat berbahaya. Itu adalah bayaran untuk bisa mendapatkan kekuatan besar seperti tadi. Aku akan menyerap darahmu sebagai aktivasi kekuatan, dan penyerapan itu semakin lama semakin meningkat dan itu berbanding lurus dengan kekuatan yang kau dapatkan.”
“Kedengarannya sangat mengerikan, terlihat seperti pilihan bertarung dan mati atau mati di tangan musuh.”
Efek gluttony ini sangat menguras tenaga. Sedikit demi sedikit aku bisa berdiri dengan benar, namun rasanya masih sempoyongan untuk dibuat jalan.
“Seharusnya latihan yang kau lakukan bersama Rivilius bisa membuatmu memakai kekuatan ini sedikit lebih lama dari rata-rata manusia biasa.”
‘Sedikit lebih lama’, walaupun terdengar miris tapi itu berarti baik.
Setidaknya aku takkan mati mendadak setelah terkena efek gluttony.
“Yah, sepertinya tugasku telah selesai. Kau juga harus bersiap-siap untuk melakukan beberapa pertarungan.”
Sebelum aku sempat bertanya, Necro memunculkan sebuah gambar hologram yang mengambang. Dari yang kulihat gambarnya menampilkan sekelompok orang yang sedang bertarung melawan seekor goblin berukuran raksasa.
Setelah kulihat dengan jeli, aku menemukan fakta bahwa itu adalah ruangan boss yang ditemukan sebelumnya. Aku bisa melihat Vina bertarung dengan gagah di barisan depan. Jadi pintunya sudah terbuka semenjak aku berada di sini.
Ah, ini yang dimaksudnya dengan bersiap-siap bertarung.
“Jadi, kau sudah siap?”
“Ya, setidaknya aku menyiapkan hatiku.”
“Kalau begitu, aku akan mengembalikan ruhmu ke tubuh aslimu. Sampai jumpa nanti, master.”
Necro memberi penekanan pada kata ‘master’ yang ditujukan kepadaku. Mungkin itu semacam bukti bahwa dia sekarang telah menerimaku sebagai tuannya, karena hal ini hanya berlangsung sekali selama beberapa dekade terakhir.
Setelah itu, sensasi seperti sedang menaiki roller coaster dengan kecepatan tinggi membuat jiwaku seperti terpisah dari tubuhku.∑
KAMU SEDANG MEMBACA
KSATRIA & KEBANGKITAN (VOL I)
Teen FictionKisah ini bermula Ketika peristiwa 'aneh' itu terjadi, ekosistem dunia mulai berubah seiring berjalannya waktu dan mulai menjadikan beberapa orang memiliki kekuatan yang dianggap spesial (beberapa orang menganggapnya aneh) setelah adanya ledakan mis...