Pukul lima pagi. Langit masih sedikit gelap, tapi Adrastea sudah siap dengan seragam lengkap.
Gadis itu mengendap-ngendap seperti maling, ketika keluar dari kamar nya. Bahkan, sepatunya pun tidak langsung digunakan. Hal itu dia lakukan supaya derap kaki nya tidak terdengar. Dia ingin pergi sekolah diam-diam, supaya Papi tidak bisa melihatnya pagi ini. Iya, setelah kejadian kemarin, dia benar-benar enggan melihat Papi. Dia takut, sekaligus marah pada Papi nya.
"Shit!" Tea meringis ketika kakinya---yang hanya dibalut kaus kaki, menabrak guci besar dengan keras. Kontan Tea mendudukkan diri sejenak, karena rasa ngilu tiba-tiba menjalar ke seluruh tubuhnya.
Seandainya dia tidak ingat dengan peristiwa menyakitkan kemarin, Tea pasti akan berteriak kencang untuk memanggil Papi.
Usai mendiamkan diri sampai rasa sakit mereda, akhirnya Tea bangkit dan pelan-pelan mulai menuruni anak tangga. Tidak ada derap langkah yang terdengar, bunyi grasak-grusuk seperti pagi-pagi pada biasanya pun tidak ada, tapi entah kenapa tiba-tiba lampu menyala, membuat semua aktifitas yang Tea lakukan diam-diam rasanya percuma, sebab ketika dia menoleh ke belakang, Papi muncul disana dengan wajah datarnya.
Tea kontan meneguk salivanya seraya menunduk dalam-dalam. Rasa takut kembali menyelimutinya tatkala derap kaki Rion terdengar semakin dekat.
"Ini masih terlalu pagi untuk pergi ke sekolah, Adrastea." Padahal Rion mengucapkan nya biasa saja, tapi entah mengapa di telinga Tea terdengar seperti Papi sedang memarahinya.
"Atau mau jalan pagi terlebih dahulu?"
"Lihat sunrise? Sepertinya masih bisa. Mau?"
Tea masih tetap diam, tanpa sedikitpun niat untuk membalas ucapan Papinya.
Baiklah. Sepertinya Rion harus banyak bersabar demi meluluhkan hati anak gadisnya yang masih enggan berhadapan dengan nya.
"Oke. Papi tunggu di mobil." Akhir kata, hanya itu yang Rion ucapkan sebelum berjalan mendahului putrinya yang masih bergeming di tengah-tengah tangga.
"Tahu gini mending nggak usah bangun pagi!" Gerutunya kesal, sebab semesta tidak memihaknya. Alhasil---meskipun sedikit terpaksa, Tea tetap berada di satu mobil yang sama dengan Papi nya. Hanya saja, dia memilih duduk di kursi belakang. Sudah menjadi kebiasaan nya kalau sedang marah dengan Papi.
"Yakin mau duduk di belakang?" Lagi, Tea masih tetap diam.
"Padahal kalau di depan bisa lihat sunrise lebih jelas." Rion berusaha merayu, meskipun dia yakin putrinya akan tetap keukeuh.
"Adrastea?"
"Adrastea Aiona Helios?" Biasanya Tea akan cepat menyahut kalau Rion sudah memanggil nama lengkap nya. Tapi kali, berbeda. Ketika Rion meliriknya dari rear mirror, gadis itu hanya diam sembari memalingkan wajahnya ke samping.
Sudahlah, kalau tetap tidak ada respons, Rion memilih untuk menyerah. Dia pun lantas menyalakan mesin mobilnya, kemudian menginjak pedal gas, sehingga kini mobil audi berwarna kuning yang pria itu kendarai berhasil membelah jalanan.
Hawa dingin langsung merasuk pada tubuh Tea, begitu atap mobil terbuka. Cewek itu melirik sekilas pada Papi nya melalui rear mirror, dan kebetulan Papi nya juga sedang melakukan hal yang sama, sehingga untuk beberapa detik manik hitam mereka bertubrukan.
"Papi buka atap nya biar kamu bisa lihat sunrise." Katanya nya menjelaskan.
"Tapi kalau kamu kedinginan, Papi tutup---"
"Gak." Meski hanya satu kata yang terucap dari bibir Tea, Rion tetap senang mendengarnya. Karena sungguh, pria itu benar-benar rindu dengan suara Tea.
"Di samping kamu ada jaket Papi. Pakai aja kalau dingin." Dan setelah itu hanya ada suara angin saja yang memenuhi perjalanan pagi mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Me vs Papi
RandomKisah sederhana namun rumit dari mereka yang menjadi satu-satunya. Tentang Asterion Helios yang menjadi orang tua tunggal dan anak semata wayang nya, Adrastea. Karena sebenarnya menjadi satu-satunya itu tidaklah mudah. • Publish awal pada 2019. • P...