Chapter 4

6 5 2
                                    


Mata Luna menatap tajam mata lelaki didepannya dan ia berkata, "Rahasiakan ini. Aku bisa berbuat apa saja, jangan main-main." Luna terjun ke bawah dan berjalan pergi meninggalkan Langit yang terdiam kaku.

Langit terkejut dan melihat ke bawah namun gadis itu sudah menghilang, "Hahhh, apa apaan itu tadi. Dia menakutkan." Langit yang ketakutan langsung kembali ke kamarnya dan bergegas tidur.

********

Keesokkannya hari berjalan seperti biasanya seperti film yang selalu diputar ulang. Langit pulang sekolah dengan langkah yang hampa. Dia masih memikirkan kejadian kemarin. Meski ingin dilupakan, tetapi tak mudah melupakan hal yang tak biasa.

" Tik, Tik "

Tak disangka hujan tiba-tiba saja turun padahal tadi pagi cuaca cerah, memang terkadang hujan turun tanpa diduga. Tapi itu bukan masalah besar bagi Langit. Dia sudah terbiasa dengan hujan. Saat-saat tersedih dalam hidupnya selalu ditemani oleh guyuran hujan. Langit tak  pernah membenci hujan, baginya hujan adalah berkat.

" Haduh aku lupa bawa payung."

Lalu Langit tersenyum lebar dan mulai berlari. Baginya tidak masalah jika  tidak punya payung di tengah hujan, berlarilah dan rasakan hujan tidak seburuk itu, justru menyenangkan.

Dia selalu saja seperti ini padahal dia tahu kalau hujan- hujanan dia akan jatuh sakit. Tapi dia tetap tidak peduli setidaknya setelah hujan- hujanan hatinya akan sedikit lebih tenang dan bebannya terasa berkurang. Itu sudah cukup membahagiakan meski hanya sesaat dan sederhana.

Ditengah larinya, matanya tertuju pada seorang gadis yang berjalan ditengah hujan. Tidak salah lagi dia Luna. Dia tampak basah kuyup, tetapi langkahnya sangat berani, wajahnya tampak datar tanpa ekspresi menimbulkan tanda tanya pada hati Langit, Apakah dia tidak sedih maupun takut di tempat asing ini?  sungguh sangat sulit ditebak.

" Tinggalah denganku." Itu adalah sebuah kebodohan besar dan merupakan awal yang menyeret Langit pada sebuah takdir yang menegangkan dimana bisa saja membawa kehancuran  bagi dirinya bahkan mengancam dunianya.

Luna nampak terdiam di depan Langit sembari mendongak menatap angkasa. Lalu tiba tiba gadis itu menyeringai. Langit bingung dengan arti senyuman Luna, apakah ini keputusan yang benar? Tapi penyesalan selalu datang terlambat, menyesal pun tak ada gunanya.

Luna berkata, "Sekarang kau tak bisa mundur, takdir kita sudah terikat mulai sekarang, manusia." Suasana menjadi semakin mencekam.

Langit tertegun dengan apa yang didengarnya, secara tak terduga detak jantungnya meningkat secara drastis, tubuhnya sedikit gemetar dan munculah perasaan takut.

" Ayo bukanlah kau bilang ' tinggallah denganku ' aku lelah terus berjalan dari semalam." Keluh Luna.

" Iya ta-"

" Sudahlah ayo!" Teriak Luna memotong  perkataan Langit.

" Kalau begitu ikuti aku." Jawab Langit dengan pasrah.

Langit dan Luna berjalan beriringan di tengah guyuran hujan, hujan semakin lama semakin besar.

" Ayo lari, hujan semakin besar."

Langit menarik tangan Luna, mereka berlari dengan cepat di tengah guyuran derasnya hujan. Langit lalu menoleh ke arah Luna, dia tampak menawan dengan rambut yang basah, seragam putih polos yang basah dan senyum yang terpampang di wajahnya, sungguh menggoda. Tapi sayangnya, parasnya yang menawan ini tertutup oleh sifatnya yang pendiam, jadi banyak orang yang tak menyukainya karena mengira dia tipikal orang yang sombong dan cuek.

Tetapi meskipun begitu, banyak  gadis yang menyukai Langit, tetapi ada satu gadis yang sama sekali tak terpengaruh, bahkan di saat seperti itupun wajahnya masih tidak menunjukkan ekspresi apapun.

Kala itu di jalan banyak sekali sepasang kekasih yang berjalan berdampingan memakai payung, sangat manis, hal itu menciptakan nuansa hangat dan romantis di tengah cuaca yang dingin.

Luna melirik ke sekitarnya." Sepertinya hanya kita yang tak punya payung." Lirih Luna dengan wajah datar.

"Ehm maaf, aku selalu seperti ini." Jawab Langit terenyum kecut.

" Kau sangat menyedihkan. Bodoh."

Langit menghentikan langkahnya dan melepaskan tangan Luna dari genggamannya, lalu ia berbalik dan berkata, " Apa maksudnya  'kau sangat menyedihkan' dan ' bodoh ' , hah? " Tatap Langit sambil mengepalkan tangannya.

" Kau terlihat sangat kesepian. Kau berlari sendirian di tengah hujan menunjukkan kesedihan dan kesepianmu, siapapun yang melihatnya tentu akan merasa iba. Tapi kau menyangkalnya dan merasa dirimu baik-baik saja. Berhentilah menekan dirimu untuk jadi kuat, terima saja takdirmu. " Jawab Luna dengan nada bicara yang santai.

Padahal kepekaan dan niat baiknya belum tentu bisa dimengerti dan diterima semua orang. Apalagi caranya menunjukkan kepedulian ini termasuk to the point, dia berani memberikan kritik kepada orang yang ditemuinya tidak lebih dari 2 kali itu.

Emosi Langit semakin bertambah.
" Wajahnya sekarang membuatku muak. Seolah dia yang paling mengerti diriku." Batin Langit. Matanya berkaca-kaca, wajahnya memerah, detak jantungnya meningkat dan dadanya  terasa sesak.

Langit menarik tangan Luna dengan kuat dan mendekatkan wajahnya ke wajah Luna.  Mata mereka bertemu, Langit menatap Luna tajam, dari sorot matanya terlihat penuh amarah.
" Sebaiknya kau tak ikut campur, kau hanya orang asing, kau tahu apa tentang hidupku? " Teriak Langit tepat didepan wajah Luna.

Tanpa sadar mata Luna meneteskan air mata, ini pertama kalinya Luna menangis setelah sekian lama. Air mata sudah membanjiri wajah Luna. Tetapi Langit tak peduli, dia berbalik meninggalkan Luna sendirian ditengah orang lalu lalang dibawah derasnya hujan dan Luna hanya terdiam menatap langkah Langit yang perlahan hilang dari pandangannya. Kini dia kembali sendiri di sekumpulan orang yang tak dikenal.







My Girlfriend The Moon GoddessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang