Ruwet. Mumet. Semrawut. Sejak Pak Prana menjelaskan materi logaritma hingga bel istirahat berbunyi, tak sekali pun Juno mengalihkan perhatiannya dari buku tulis. Bukan sedang berusaha mencerna pelajaran Matematika Peminatan, ataupun mati-matian menghafal materi untuk ulangan harian Biologi nanti. Tidak. Juno tidak serajin itu.
Sampai Alfa kembali dari food court di jam istirahat ini, Juno masih bergeming di bangkunya. Juno hanya menggambar benang kusut raksasa di halaman belakang buku secara asal. Gerakan tangannya tidak berhenti walau hanya sebentar, sampai-sampai, seisi halaman itu nyaris dipenuhi oleh tinta hitam saja. Dengan seplastik batagor berbonus pangsit di tangan, Alfa menggeret kursi di sebelah Juno, lantas bergidik ngeri mendapati tatapan kosong Juno.
"Kalau cuma pengen habisin tinta aja, mending kasih aku pulpennya, deh." Itu suara Luisa dari bangku depan. Atensi kedua manik mata Luisa masih terfokus pada pacar-pacar halu-nya di layar ponsel, tetapi siapa pun pasti mengetahui kalimatnya mengarah pada siapa. "Jangan boros-boros unfaedah. Ingat. Ada spesies kayak SAMFAHreza Alfarez yang hanya mampu memungut pulpen orang di kolong bangku setiap harinya."
Tak ada balasan dari Juno. Meski begitu, dunia Juno mulai terdistraksi dan memberikan celah untuk Juno tersadar. Juno menggeleng-gelengkan kepala, lalu menyimpan pulpennya ke tempat pensil.
Sejenak, Luisa menoleh hanya untuk mendapati wajah masam nan kusut Juno. Luisa berlagak tak peduli, kembali asyik dengan aksi fangirling-nya. Terdengar pertanyaan hambar yang lolos dari bibirnya. "Tumben enggak ke Iris?"
Juno yang sedang menutup bukunya mendadak merasa tremor tak keruan. Apa, sih? Juno memalingkan muka ke jendela di samping kanannya. Apa urusan Juno?
"Oh!" Mendadak, Alfa menjentikkan jari dengan semangat, seakan baru teringat sesuatu. "Aku barusan ketemu Iris di koridor, deh. Dia habis beli susu kotak stroberi. Tapi kayak dilabrak Kak Selena?"
Kalimat Alfa yang terkesan tak yakin itu membuat Juno tertarik, langsung menolehkan kepalanya kepada Alfa kembali. "Dilabrak?" Tidak mengherankan! Semua anak tahu kalau Selena memang dekat dengan Gamma sejak awal. Bukan hal aneh kalau kakak kelas itu merasa tersisihkan atas kehadiran Iris, 'kan?
"Iya. Enggak yakin juga, sih. Ada Kak Bianca juga soalnya, anteknya Kak Selena yang suka pakai cat kuku itu. Kayak ramai aja gitu, bertiga, di koridor dekat food court. Ya orang-orang juga merhatiin, lah."
Pemaparan Alfa diakhiri dengan suara meja yang digebrak tanpa sengaja. Juno bangkit dari duduknya.
Baru sampai langkah Juno di bingkai pintu, Alfa kembali bersuara. "Oh, lupa. Kenapa aku harus cerita ke JAMBU, Jalma Bucin satu ini?" Alfa tertawa hambar, tampak bermaksud mempermainkan Juno. Di balik punggung Juno yang menjauh, Alfa mengusap telapak tangannya diiringi seringaian licik. Lidahnya keluar dari rongga mulut. Yak! Alfa selalu suka bumbu-bumbu drama dalam kehidupan orang di sekitarnya.
Di sisi lain, Juno benar-benar menuju lorong yang diceritakan Alfa. Benar saja. Sudut mata Juno menangkap presensi anak kecil dengan kotak susu stroberi di tangan. Sosok mini itu baru terlihat ketika dua perempuan di hadapannya menyingkir, entah ke mana. Ah, yang barusan itu Selena dan Bianca! Dengan langkah tergesa, Juno menarik pergelangan tangan Iris yang kini tengah berdiri sendiri di koridor.
KAMU SEDANG MEMBACA
Binary Asteroid
Fiksi Remaja"Di mataku, kita itu satu. Layaknya sebuah planetoid yang bergenggaman. Namun, akhirnya kusadari, angular resolution-ku yang kelewat besar dari batas maksimum diameter sudut antara kita. Karena pada kenyataannya, kita hanyalah binary asteroid, tak l...