Caca menatap haru ke-tiga anaknya yang tengah bermain di karpet lantai kamar. Tiga bulan berlalu sejak malam panjang mereka, Amar menghilang. Amar menghilang meninggalkan banyak pertanyaan dan penjelasan.
Sejak malam panas yang mereka lakukan, pagi harinya Amar sudah tidak ada di kediaman orangtua Caca. Kedua orangtua Caca pun tidak mengatakan apapun, seakan menutupi semuanya dari Caca.
Bingung, itu yang Caca rasakan selama Amar menghilang. Ia kira akan menerima sebuah surat cerai setelah kepergian Amar, nyatanya sampai saat ini surat itu tak kunjung datang padanya. Hanya setiap minggunya, banyak berdatangan kurir pengirim makanan atau pun mainan dengan nama pengirim Amarka Agnibrata, suaminya sendiri.
Caca benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Amar.
"Bunda, Papa kapan pulang kerjanya?"
"Memangnya berapa lagi uang yang harus Papa kumpulkan untuk kita? Papa kasihan kalau harus kerja terus."
Pertanyaan itu sering Caca dengar, beberapa kali pun anak-anak sering merengek ingin bertemu sang ayah. Tapi, Caca hanya bisa menjawab dan menenangkan anak-anaknya dengan dalih ayah mereka harus bekerja mencari uang untuk mereka.
"Masih banyak uang yang harus papa kumpulin. Kan katanya abang mau masuk sekolah dasar ya? Papa cari uang biar abang bisa sekolah di tempat yang bagus."
"Abang Alan juga mau sekolah sepak bola kan? Sabar ya sayang."
Alan berhenti bermain dengan kedua adiknya saat jawaban itu lagi yang ia dapatkan dari sang ibu. Umurnya sudah lima tahun lebih beberapa bulan, ia paham akan kebohongan yang ada. Otak kecilnya sudah bisa memahami dan mencerna sedikit apa yang terjadi pada kedua orangtuanya.
"Abang gapapa kalau nggak sekolah di tempat yang bagus, sekolah tk abang kan sudah bagus, jadi gapapa kalau sekolah dasar abang yang biasa saja, bunda." Jelas Alan dengan lirih, tubuhnya ia bawa untuk duduk di samping sang ibu, memeluk lengan sang ibu dan menenggelamkan wajahnya pada lengan ibu kesayangannya.
"Alan juga udah nggak mau main bola."
"Hei... Anak bunda nggak boleh loh ngomong seperti itu." Caca melepas pelukan Alan, menggantinya dengan ia yang memeluk anak sulungnya.
"Papa sama bunda kan masih bisa biayain Alan. Papa sama bunda mau memberikan yang terbaik untuk Alan, maka dari itu Papa kerja keras untuk anak-anaknya. Jadi, Alan juga harus jadi anak yang baik ya." Jelas Caca dengan pelan agar sang anak mengerti maksud ucapannya.
"Abang Alan mau kan nunggu papa sebentar?" Tanya Caca dengan kecupan kecil ia berikan pada Alan.
"Iya"
"Alan sabar kan nunggu papa?"
"Iya, bunda."
"Pinternya anak bunda." Caca melepas pelukan, ia terkekeh saat melihat Alan menahan agar tidak menangis sampai wajahnya memerah.
"Mau jalan-jalan ke mall? Sama Kaka Celyn dan dedek Ael. Papa habis kirimin uang buat kalian."
Satu hal lagi yang Caca tidak mengerti dari seorang Amarka Agnibrata. Suaminya tidak pernah absen mengirimi uang mingguan untuknya dan anak-anak dengan jumlah yang tidak bisa dibilang sedikit, belum lagi kiriman uang belanja bulanan yang kini bertambah dari biasa.
"Mau! Abang mau main game terus beli gelato ya, bunda."
Caca terkekeh, panggilan 'abang' yang Alan ucapkan untuk dirinya sendiri sudah sangat melekat. Sebelum Amar pergi, Alan sering berkata suka dengan panggilan itu.
"Iya anak gantengnya bunda."
🌻🌻🌻
Hembusan angin malam menusuk sampai tulang. Malam ini memang terasa lebih dingin, sama seperti malam-malam sebelumnya, selalu dingin bagi Amar setelah ia jauh dari keluarga kecilnya.Amar tidak ingin, sangat tidak ingin berjauhan dengan keluarga kecilnya yang baru seumur jagung ia bangun. Tapi, tuntutan masalah yang mengharuskan ia untuk meninggalkan keluarganya sejenak.
Rindu yang Amar rasa sudah tidak bisa dibendung terlalu lama di minggu pertamanya pergi. Jadi, ia memutuskan setiap minggu di akhir pekan akan mengunjungi rumah orangtua sang istri pada malam hari, saat orang rumah sudah lelap dalam mimpi, tersisa kepala keluarga yang akan menemaninya seperti saat ini. Amar dan Joni tengah duduk di bangku teras sambil menyesap kopi hitam.
"Gimana?"
Amar tau apa yang ditanyakan oleh mertuanya, dengan itu ia menjawab tanpa ragu. "Puji Tuhan, udah hampir selesai. Minggu depan tinggal menemani Yerim ke bandara."
Joni mengangguk mengerti. "Bagus. Jadi pria harus punya pendirian dan harus adil."
Amar menunduk dalam. Bersyukur karena kedua mertuanya mendukung dan tidak menyudutkan dirinya. Jadi, dengan bantuan serta nasihat kedua mertuanya, Amar bisa dengan tegas mengambil keputusan untuk masa depan keluarga kecilnya.
"Makasih, yah."
Joni menghembus napas pelan. "Saya memberikan Caca pada kamu, untuk kamu bahagiakan dan terjamin hidupnya. Supaya beban yang dia pikul sendiri, bisa meringankan karena sekarang sudah mempunyai suami. Ayah percaya sama kamu, karena itu kamu juga harus bisa menjaga kepercayaan ayah."
"Ayah memang bukan orangtua yang baik buat Caca, maka dari itu, Caca ayah serahkan sepenuhnya sama kamu. Bahagiakan dia, karena ayah tidak bisa membahagiakan dia dengan sangat." Joni menepuk punggung tegap Amar sebelum beranjak. "Segera beri tau Caca, dia kebingungan sama keputusan kamu yang ambigu itu."
Amar menyandarkan punggung pada bangku, mendongakkan wajah dengan mata terpejam. Setelah malam itu, memang ia tidak memberikan kejelasan atas keputusannya. Amar sebenarnya tidak ingin membuat Caca dan anak-anaknya khawatir, hanya saja ia tidak bisa, lebih tepatnya ia bingung dengan kalimat yang harus ia susun agar tidak menyakiti Caca.
Lelah dengan pikiran rumitnya, Amar beranjak masuk ke dalam rumah, ingin menemui istri dan anak-anaknya yang sudah menjelajahi mimpi di dalam kamar.
Sudah menjadi rutinitas Amar setiap minggu malam, menemui istri dan anaknya, memberikan ciuman panjang untuk mereka, mengamati satu persatu wajah yang membuat hidupnya lebih berwarna, dan terakhir memberikan pelukan erat sebelum ia kembali pergi hingga minggu depan.
Sedikit lagi, sebentar saja, hanya hitungan minggu, ia akan pulang ke rumah yang membuatnya memahami arti cinta dan keluarga.
~~~
Harusnya ini cuma sampai 30 chapter, tapi gacukup ternyata

KAMU SEDANG MEMBACA
Parfait ✔
Fanfiction●Markhyuck Dari awal, Caca memang sudah tidak yakin dengan keputusan orangtuanya. Kedua orangtuanya menerima lamaran dari teman lama ibunya tanpa persetujuannya. Bahkan saat melihat calon suaminya, Caca sudah tidak yakin. Apalagi, Caca mempunyai dua...