BAB 18 - Poor Lopi

16 10 0
                                    

Jika kamu melihatnya hanya dari satu sisi, maka sampai kapan pun kamu tidak akan pernah mengerti bagaimana mereka.

***

"Berapa semuanya, Bu?" tanya Rendi kepada ibu penjual warung.

"Totalnya jadi 25 ribu."

Rendi langsung merogoh saku celananya dan mengambil uang lembar berwarna biru. Menatapnya sebentar sebelum memberikan lembar terakhir itu pada sang penjual.

"Ini kembaliannya."

"Makasih, Bu." Rendi menerimanya, lalu berjalan ke tempat Mia menunggu. Sembari berjalan, Rendi melihat sisa uang di tangannya. Hanya tersisa itu saja.

Rendi menghela napasnya. Uang 25.000 apa cukup untuk sampai malam nanti? Apalagi mereka belum menemukan tempat untuk tidur. Rendi bingung.

"Kak."

Lamunan Rendi buyar saat Mia memanggilnya. Rendi langsung memasukkan kembali uang ke dalam sakunya.

"Sekarang kita mau ke mana, Kak?" Lagi-lagi pertanyaan Mia membuat Rendi murung. Dia saja tidak tau akan pergi ke mana. Emm ... mungkin ada satu tempat yang ia tau. Namun pertanyaannya, apa mereka mau menampungnya lagi?

"Kak?"

"Emm ... kemana, ya?" Rendi terlihat berpikir dengan meletakkan ibu jari dan jari telunjuknya di dagu. "Coba Mia tanyakan pada peta," ujarnya mengikuti dialog di salah satu film kartun.

Mia terkekeh mendengar lelucon kakaknya.

"Katakan peta!" seru Rendi.

"Peta!" jawab Mia.

"Lebih keras!" seru Rendi lagi.

"PETA!"

"LEBIH KERAS!"

"PETTA!" teriak Mia dengan mengangkat kedua tangannya di udara. Setelah itu mereka berdua tertawa kencang tanpa memperdulikan tatapan orang-orang pada mereka.

Rendi tersenyum senang melihat tawa Mia. Tapi di sisi lain, lelaki itu takut jika tawa itu hanya sementara setelah tau kalau kakaknya saja tidak tau akan pergi ke mana.

***

Dari luar memang terlihat mewah. Tapi tidak tau bagaimana pendapat si tuan rumah kalau di dalamnya tidak semewah seperti yang dilihat dari luar.

Lopi. Lengkapnya Lopiana Queenby. Hidup di keluarga terpandang dengan kekayaan yang mungkin tidak akan habis selama 7 turunan. Orang lain pasti akan mengira kalau hidup Lopi menyenangkan. Hidup di tengah-tengah tidak serba kekurangan. Apa pun yang dia inginkan dalam sekejap akan muncul di depan mata. Perlu digaris bawahi. Itu menurut pandangan orang lain.

Sementara dari Lopi sendiri? Hidup dengan tidak kekurangan finansial memang menyenangkan. Dia selalu bisa membeli brand tas terbaru dengan mudah, bisa membeli barang mewah lainnnya, bisa jalan-jalan keliling luar negeri jika dia mau.

Tapi ... apa semua itu cukup jika setiap harinya Lopi sering mendengar teriakan-teriakan dan barang-barang pecah di dalam rumah? Apa barang-barang mewah bisa menutup telinganya? Apa barang-barang mewah bisa meredamkan suara-suara itu?

Mendengar teriakan, bentakan, makian, jeritan, dan barang pecah, sudah biasa bagi Lopi. Mungkin itu bisa jadi makanan sehari-harinya.

Lopi menuruni tangga rumahnya dengan tergesa-gesa. Tak peduli dengan drama yang ada di depannya. Padahal dia baru saja pulang sekolah. Sekarang terpaksa harus pergi lagi. Tadinya Lopi ingin beristirahat di kamarnya, tapi mendengar suara itu kembali, membuat dirinya muak.

Sampai suara bariton terdengar di telinga Lopi, namun tak membuatnya menghentikan langkahnya.

"MAU KE MANA KAMU?!"

Lopi tak menghiraukan pertanyaan sekaligus bentakan itu. Ia terus saja berjalan menuju pintu utama.

"KALAU DITANYA ORANG TUA, JAWAB! DASAR ANAK TIDAK TAHU DIRI!"

Lopi sudah biasa mendengar makian itu dari ayahnya sendiri.

"LIHAT ANAK KAMU! MAU JADI APA BESAR NANTI KALAU TERUS MENGABAIKAN UCAPAN ORANG TUA?! KAMU MEMANG TIDAK BECUS MENGURUS ANAK!"

Seketika Lopi menghentikan langkahnya dan mengepalkan tangannya kuat-kuat saat mendengar makian kali ini. Ayahnya egois! Ayahnya selalu menyalahkan orang lain atas sikapnya. Padahal yang membuatnya seperti ini adalah ulahnya sendiri.

"AKU? KAMU NYALAHIN AKU KARENA SIKAP LOPI YANG BEGITU? MIKIR, MAS! SIKAP KAMU JUGA YANG BUAT LOPI KAYAK GITU. DIA MUAK, MAS. MUAK SAMA KAMU!"

Plak!

Lopi menutup matanya dengan membungkam bibirnya kuat-kuat. Yang Lopi tidak suka adalah saat ayahnya selalu main tangan. Lopi tidak suka! Tak mau mendengar apa pun lagi, Lopi mempercepat langkahnya keluar rumah. Tak perduli dengan ayahnya yang terus berteriak memaki-makinya.

Ini juga yang tidak disukai Lopi dari dirinya. Dia terlalu lemah! Tak mampu mengeluarkan semua unek-unek pada orang tuanya. Yang bisa Lopi lakukan ketika orang tuanya bertengkar adalah lari, lari, dan lari. Pergi kemana saja ke tempat yang tenang.

***

Lopi memasuki mobil mewahnya dan mengendarai keluar gerbang. Melaju dengan kecepatan tinggi sampai ke jalanan besar bergabung dengan kendaraan-kendaraan lain.

Lopi mencengkram erat setirnya dengan bibir yang bergetar menahan isakan yang akan keluar. Lopi benci dirinya yang saat ini. Hanya bisa menangis, menangis, dan menangis.

Semua orang yang mengenal Lopi adalah anak yang kuat, berani, selalu bentak orang lain, tak pernah takut, pasti tak akan tahu kalau Lopi bisa selemah ini. Bahkan Tera dan Sesil tidak tau keadaan di dalam rumah Lopi. Yang mereka tau, Lopi hidup enak.

***

Sudah lebih dari 30 menit, kakak beradik itu berjalan tanpa tujuan yang jelas. Rendi masih bingung ingin pergi kemana. Sementara Mia terlihat sudah lesu.

"Masih jauh ya, Kak?" Untuk yang kesekian kalinya Mia bertanya. Gadis itu pikir mereka akan pergi pada tujuannya.

"Mia capek, ya?" Rendi tidak pernah menjawab ketika Mia bertanya. Lelaki itu menjawab dengan mengajukan pertanyaan lagi.

Mia mengangguk lesu. Kali ini gadis itu benar-benar kelelahan. Rendi mengedarkan pandangannya dan seketika menghentikan langkahnya.

"Em, Mia tunggu di sini dulu, ya?"

"Kakak mau ke mana?" tanya Mia mengernyit bingung.

"Kakak mau ke sana, sebentar ... aja. Mia tunggu sini. Jangan kemana-mana. Oke?"

Mia mengangguk patuh. "Oke."

Rendi langsung berbalik pergi meninggalkan Mia. Lelaki itu berlari ke arah penjual harumanis. Sementara Mia menunggu Rendi sambil duduk di kursi panjang di sana. Kedua kaki mungilnya mengayun-ngayun.

Meowww ... meowww!

Mia langsung menghentikan gerakan kakinya saat telinganya mendengar suara kucing. Mia beranjak dari duduknya dan mencari sumber suara.

"Mpus? Kamu di mana, Mpus?" panggilnya dengan tangannya membentuk gerakan untuk memanggil kucing.

Mia terus mencari sampai berjongkok melihat ke bawah kursi. Namun tidak ada. Sampai pandangannya melihat ke arah sebrangnya yang terdapat seekor kucing kecil yang terlihat terluka di kakinya.

"Ya ampun, mpus!" teriak Mia dan langsung berlari tanpa menoleh ke kanan kiri terlebih dahulu. Sampai ada sebuah mobil melaju kencang ke arahnya.

Rendi yang sudah selesai membeli harumanis langsung berbalik untuk menemui adiknya. Namun seketika matanya membulat saat melihat Mia yang berlari ke arah jalan dan ada mobil yang melaju kencang.

"MIA!" Rendi menjatuhkan harumanis beserta tas bawaannya, kemudian berlari untuk menolong Mia.

***

#1011kata

Kisah Resta✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang