Siapapun tahu, Prim amat menyukai hujan di pagi hari. Mendung yang selalu ia nanti, Kali ini kehadirannya seolah tak diharapkan. Prim berharap bisa berangkat sekolah secepatnya. Hal itu lantaran bundanya tiba tiba datang ke rumah sang nenek untuk menjemput Prim.
"Prim, Bunda sama ayah udah pisah. Hak asuh jatuh di tangan bunda. Jadi bunda mutusin buat bawa kamu ke luar kota. Kita tinggal sama om Dewa."
Prim menghela napas. Ia benar benar muak sekalipun hanya untuk bertatap muka dengan orang tuanya.
"Kalo cerai yaudah cerai aja. Bunda kalo mau pindah juga pindah aja ngga papa. Aku ngga mau ikut pindah karna aku mau tinggal disini sama nenek."
"Nenek ngga bisa jagain kamu terus terusan. Dia udah tua, Kamu jangan nyusahin."
"Tapi nenek jagain aku jauh lebih baik daripada bunda. Nenek lebih becus rawat aku. Stop bertingkah seolah bunda peduli sama aku."Saat itu juga, Nanon yang hendak berangkat sekolah berhenti di depan rumah Prim. Menanyakan keadaan gadis itu yang terlihat tidak baik baik saja.
"Prim, Mau bareng ngga?" Tawar Nanon. Prim yanh sudah meneteskan air mata mengangguk dan pergi meninggalkan bundanya begitu saja. Ia membonceng Nanon dan berlalu tanpa sepatah kata.
"Itu tadi nyokap lo ya?" Nanon mencoba mencairkan suasana. Namun sepertinya suasana hati Prim terlalu buruk untuk menanggapi pertanyaan Nanon. Mereka berdua diam sepanjang jalan.
"Thanks." Ucap Prim singkat. Tak ada sosok cerewet seperti yang biasa Nanon lihat. Hanya tersisa gadis mungil dengan hati hancur di pagi hari. Sementara Nanon tak bisa berbuat apa apa. Ia hanya menatap Prim yang semakin menjauh.
***
"Prim, Ikut ibu ke kantor. Ditunggu sama kepala sekolah."
Prim mengangguk dan mengikuti guru yang memanggilnya dari belakang. Suasana hatinya sudah cukup kacau untuk bertanya tanya. Saat mereka melewati lapangan, Nampak kelas Nanon sedang olahraga. Chimon yang sibuk memantul mantulkan bola basket menghentikan kegiatannya begitu ia melihat Prim.
"Abis ngapain lo Prim? Tawuran sama geng sebelah ya? Gaya gayaan sih lo, Cewek soker." Ucap Chimon setengah berteriak. Biasanya Prim akan membalas dengan melempar makian yang jauh lebih pedas. Namun kali ini Prim hanya menatap Chimon dengan tatapan sedih.
"Kayanya Prim bukan abis tawuran deh Chi." Fiat berkata pada Chimon.
"Iya Chi, Soker soker gitu sepupu lo ngga bakal gabut sampe tawuran. Tapi kalo bukan karna tawuran, Karna apa dong? Soalnya gue liat tante Lidya tadi pas mau kesini." Sahut Sing.
"Dia ribut lagi kali sama tante Lidya. Tapi kok ribut di rumah damainya di sekolah? Dikata sekolah kantor pengadilan?" Ucap Chimon.Nanon menguping obrolan ketiga sahabat itu. Ia baru tahu kalau hubungan Prim dan kedua orang tuanya kurang baik.
Di sisi lain, Prim memasuki kantor kepala sekolah. Disana sudah ada bundanya. Duduk manis menunggu kedatangan putri kecilnya.
"Prim, Kamu anak yang cerdas. Bapak seneng banget pernah punya murid kaya kamu. Sayang sekali ya Prim kamu harus pindah. Tapi ngga papa, Dimanapun kamu sekolah nanti, Tolong bawa nama baik sekolah lamamu ya."
"Hah? Pindah? Bunda nyadar ngga sih kalo bunda udah berlebihan? Biarin aku hidup tenang sama nenek." Nada bicara Prim terdengar lemah.
"Mungkin kamu berfikir kalo ini buruk, Tapi bunda tau yang terbaik."
"Terbaik buat bunda, Bukan buat aku."
"Apapun itu, Kamu sudah resmi keluar. Bunda sudah urus semuanya."
"Terserah, Aku benci bunda. Aku. Benci. Bunda."Prim keluar dari ruangan dengan deraian air mata. Bertahun tahun hidup dengan ayah yang ringan tangan dan bunda yang memperalat dirinya, Benar benar melelahkan. Langkah kaki Prim seolah tak menapak tanah. Ia berlari begitu kencang melewati lapangan.
"Bocah prik, Mau kemana?" Sekali lagi Chimon melakukan cat calling pada Prim yang memang sudah biasa ia lakukan.
"Chimon stres. Lo ngga liat tadi Prim nangis? Kejar deh, Takutnya ada apa apa."
"Ada apa apa? Orang kaya Prim? Mana mungkin."
Bukannya Chimon yang mengejar Prim, Justru Nanon yang berlari mengikuti kemana Prim pergi. Prim sempat tak terkejar. Namun akhirnya Nanon menemukan jejak gadis itu. Nanon menaiki tangga menuju rooftop.Dan benar saja, Nanon menemukan Prim yang bersiap untuk melompat. Nanon panik bukan main. Tanpa pikir panjang Nanon menelpon Chimon, Untuk pertama kalinya.
"Halo, Chi dengerin gue. Prim mau lompat dari atas. Deket taman sekolah. Lo buruan kesini sama yang lain bawa matras buat jaga jaga. Gue bakal ulur waktu."
Benar benar momen yang menegangkan saat Nanon membujuk Prim untuk mundur dan mengurungkan niatnya.
"Prim, Turun yuk. Jangan kaya gini. Tunjukin ke dunia kalo lo cewe kuat kaya yang selama ini lo tunjukin ke gue."
"GUE HARUS TUNJUKIN KE DUNIA KALO GUE BAKAL TINGGAL SAMA LAKI LAKI YANG UDAH PERKOSA GUE?!" Prim berteriak histeris. Gadis itu memang mundur, Tapi tangisnya semakin kencang.
Mendengar itu Nanon cukup syok. Namun ia berusaha tegar untuk menguatkan Prim. Perlahan Nanon mendekati Prim dan memeluk gadis berambut keriting yang baru beberapa saat ia kenal.
"Lo ngga bakal kemana mana, Lo ngga bakal tinggal sama siapapun selain nenek lo. Ngga ada yang berubah."
Prim melunak. Ia menangis di pelukan Nanon. Sementara Nanon mencoba menenangkan Prim, Sembari menunggu kedatangan Chimon."Gue benci kenyataan kalo gue udah ngga perawan. Dan gue semakin benci ketika bunda gue milih bubarin rumah tangganya demi laki laki itu. Gue takut. Gue ngga mau kejadian itu terulang lagi."
"Prim, Dengerin gue. Kita bujuk bunda lo buat biarin lo tinggal sama nenek. Oke?"
"Kita punya rencana tapi bunda gue punya kuasa. Non, Jagain Pak Tay ya. Sampein salam gue buat dia."Secara tiba tiba Prim mendorong Nanon hingga laki laki itu jatuh. Dan saat itu juga ia berlari, Melompat dari atap dengan langkah ringan. Nanon yang masih terduduk hanya bisa ternganga, Terkejut dengan apa yang baru saja ia lihat. Seorang anak manusia yang menghabisi nyawanya sendiri.
Tubuh Nanon bergetar hebat. Dengan sisa sisa kewarasan ia berdiri dan melihat apa yang terjadi dengan tubuh Prim.
Sementara itu berjarak beberapa meter dari tubuh Prim, Terlihat Chimon dan beberapa orang mematung memandangi tubuh Prim yang sudah bersimbah darah tak bernyawa setelah terjun dari atap gedung 3 lantai.
Beberapa siswa dan siswi yang kebetulan menyaksikan kejadian itu berteriak histeris. Amat mengerikan melihat tubuh Prim yang tergeletak dengan darah mengalir dari arah kepala.
Bunda Prim menangis menyaksikan gadis malang yang baru tadi pagi bertengkar dengannya, Kini telah mati sia sia.
"Prim..." Begitu lirih ia memanggil nama putrinya sendiri.
Omg so sad, I'm sorry Prim. Jangan lupa vote ya kak, Saya masih mau nyakitin hati mungil kalian HAHAHAHAHAH
KAMU SEDANG MEMBACA
MALAIKAT BERKAKI SATU (END)
Fanfiction"Jika diberi kesempatan aku hanya ingin bersujud memohon ampun dan membasuh kaki ayah yang hanya tersisa satu." -Nanon-