"Yah warung bakso Pak Tay ngga buka lagi."
"Yaudah Fiat kita cari warung bakso lain aja."
"Gue maunya makan bakso Pak Tay, Kita kan udah jauh jauh kesini Sing."
"Lo kayanya terobsesi banget sama bokapnya Nanon. Atau jangan jangan lo mau jadi anaknya? Gantiin Nanon? Gitu?"
"Sing, Kayanya lo lupa deh. Temen kita yang satu ini tuh pejuang keadilan. Dia jadi deket sama Pak Tay juga atas dasar keadilan, Iya kan Fiat?"
"Ngga, Karena baksonya enak dan murah."Merasa kasihan dengan Fiat yang kecewa lantaran warung bakso Tay tutup, Chimon lantas menelpon Aj.
"Halo brader, Lo tau rumahnya bapak bapak penjual bakso yang waktu itu kita datengin ngga?"
"Ya mana gue tau gila, Lo pikir mentang mentang gue suka makan bakso disana, Gue jadi stalk rumah dia? Akun IG dia? Akun tiktok dia? No Boy."
"Ya... Yaudah sih gue kan nanya doang."Tanpa salam perpisahan Chimon memutuskan sambungan telepon. Setelah dipikir pikir untuk apa juga ia bertanya alamat rumah Tay hanya untuk menghibur Fiat? Anak itu pun belum tentu akan terhibur.
"Yaudah lah ayo pulang aja. Ngga mood gue jadinya." Ucap Fiat. Namun saat mereka bertiga hendak menyalakan mesin motor, Terdengar suara yang cukup familiar.
"Loh kalian mau kemana? Baru dateng udah mau pergi aja?" Tay menyapa mereka.
"PAK TAY! Baru mau buka ya pak?" Tanya Fiat. Wajahnya kembali ceria.
"Iya nih, Agak telat memang hari ini."Ketiga remaja itu turun dari motor dan membantu Tay membuka warung.
"Tumbenan pak. Biasanya dari siang udah rame, Ini mau sore baru buka." Ujar Chimon sambil merapikan kursi.
"Iya nak, Sebenernya hari ini juga maunya ngga buka tapi sayang adonannya."Usai merapikan warung, Tay lanjut menyiapkan semua keperluan. Tak lama kemudian dua karyawan warung bakso datang.
"Andre, Bahrul, Tolong nanti buatkan tiga porsi buat anak anak itu ya." Tay berpesan. Ia lalu menghampiri Chimon, Fiat dan Sing yang sedang duduk.
"Terima kasih ya sudah bantuin buka warung. Bapak traktir kalian nanti lagi dibikinin. Ini bapak tinggal ngga papa kan?"
"Loh emang Pak Tay mau kemana?" Tanya Sing.
"Mau pulang. Saya cuma buka warung aja. Yang jagain dua karyawan yang tadi.
"Yaudah hati hati ya pak."***
Sudah berminggu minggu Tay bertahan dengan obat obatan pemberian dokter untuk meredakan batuk dan sesak yang kerap menyerangnya.
Sadar akan kondisinya yang sudah tak baik baik saja, Tay memilih untuk berhenti memproduksi bakso sendiri. Ia meminta orang lain untuk membuat adonan bakso dengan resepnya.
Namun benar kata orang, Beda tangan beda hasil. Bakso buatan orang lain tak seenak buatan Tay. Hal itu mempengaruhi penjualannya. Semakin hari pelanggan semakin berkurang. Bahkan Fiat dan teman temannya pun sempat menanyakan rasa bakso yang dijual oleh Tay.
Tay berpikir keras. Ia tak mungkin menutup warung baksonya karena warung tersebut merupakan sumber penghasilan utama.
"Kalo warungnya ditutup aku mau dapet uang dari mana? Aku ngga mungkin mengadah tangan ke keluarga Off. Tapi kalau ngga ditutup, Keuntungannya sekarang bahkan ngga bisa menutup modal. Andai aja aku ngga cacat, Atau minimal aku ngga sakit kaya gini, Mungkin bisa aku cari kerja. Ya Tuhan, Tolong hamba." Keluh Tay di suatu malam.
Hidup terasa begitu berat bagi Tay. Bagai peribahasa hidup segan mati tak mau. Sebenarnya bukan tak mau, Itu lebih ke tak siap. Tay masih memikirkan kehidupan Nanon. Sehancur apapun dirinya, Nanon harus tetap tersenyum dan bahagia.
Di tengah tengah kebimbangannya, Tay teringat akan sesuatu. Ia lalu berjalan menuju lemari dan mengambil sesuatu. Rupanya beberapa medali hasil dirinya mengikuti lomba renang dahulu. Sebelum menikah, Tay merupakan atlet renang yang sering mencetak prestasi.
Mengenang masa lalu cukup menghibur perasaan Tay. Ia tersenyum mengingat betapa bangga dirinya dikalungi medali setelah berjuang untuk menang. Siapa yang akan menyangka atlet renang hebat itu akan jatuh sejatuh jatuhnya hanya karena satu hari.
Vote nya kakaaa
KAMU SEDANG MEMBACA
MALAIKAT BERKAKI SATU (END)
Fanfiction"Jika diberi kesempatan aku hanya ingin bersujud memohon ampun dan membasuh kaki ayah yang hanya tersisa satu." -Nanon-