Akhirnya senin kembali, hari hari sibuk telah dimulai. Setelah kemarin quality time bersama keluarga, mencarger tenaga, dan mulailah kembali bekerja.
Yah ku awali pagi senin ini dengan membereskan tempat tidur putraku. Sengaja ku bangunkan pagi pagi, karena sulit sekali membangunkan anak itu.
"Ma, ambilin handuk aku dong."
Tuh kan, apa apa harus dibimbing dan diingetin dulu dia mah.
Segera saja aku ambilkan handuk yang menggantung dibalik pintu kamar, "makanya kalau bangun itu kumpulin nyawa dulu baru beraktivitas." Ku angsurkan handuk pada celah pintu kamar mandi.
Lalu tangan dibalik pintu mengambilnya, tanpa menjawab.
Okey aku butuh udara, sebelum keluar ku pastikan semua beres.
"Kalau udah beres semua sarapan dulu ya nak."
"Iya ma."
Tugas pertama beres, agenda selanjutnya adalah membuat sarapan. Yah walaupun hanya sandwich.
Hari ini bibi yang biasa membantu di dapur belum datang, katanya ada kepentingan dulu sebentar mungkin agak siangan. Sebenarnya aku bisa menghandle urusan rumah tanpa bibi, tapi katanya bibi udah lama kerja disini, kasian kan kalau tiba tiba disuruh berhenti hanya karena ada aku. Jadi terkesan menghentikan rezeki orang dong kan.
Sandwich sudah siap, ku hidangkan di meja makan lengkap dengan susu untuk putraku dan teh dengan gula khusus seperti biasa untuk suami.
"Ya, tas kerja saya dimana yah?"
Selalu seperti itu setiap pagi, padahal dia sudah tahu tempat menyimpan tas kerjanya dimana tapi selalu saja bertanya.
"Ya di tempat biasa dong mas." Ku lirik dia yang sedang membenarkan kancing tangan kemejanya.
"Ambilin Ya bolehkan?" Dia menatapku kini.
Aku tersenyum, udah biasa. Ujung ujungnya minta ambilin juga, kayaknya penghuni rumah ini gak bisa ngapa ngapain kalau gak ada aku.
Aku berjalan ke kamar kami, dengan dibuntuti oleh mas suami. Padahal sama sama saja kan dia yang ambil sama aku yang ambil kalau begini.
Tas kerjanya ada di meja kerjanya dia, terlihat dengan jelas. Sebenarnya dia nyari apa gimana.
"Ini yah mas, inget inget dong masa tiap hari nanyain terus." Ku serahkan tas itu.
Dia cuek cuek aja, yah mau gimana lagi udah kebiasaan kan nanya itu setiap hari. Dia jalan lagi keluar tanpa terimakasih say. Yaudah gak pa-pa udah biasa ya kan, sama suami juga.
Di meja makan hanya terlihat dia, sementara anaknya belum keluar. Ngapain aja dia, masa mandinya belum kelar.
"Raga!"
Sebenernya dia udah siap apa tidur lagi, sampai teriakan super kencang pun gak denger.
"Raga! Sarapan dulu sini, jangan tidur lagi baju kamu entar kusut."
Terdengar decakan, siapa lagi kalau bukan mas suami. Mungkin kesel juga ya, ngapain teriak teriak mending samperin aja anaknya.
Tapi gak apa, ternyata teriakan ku manjur, anaknya langsung turun sarapan. Plus udah siap dengan tas dan pakaian rapi. Ganteng amat dah ni anak, kalau seumuran boleh lah dipepet.
"Berisik ah mama." Keluh putraku.
Ya gimana, kalau gak mau berisik harus nurut.
"Makan." Papanya nyodorin sandwich untuk dimakan Raga, tau aja kan biar gak ada kekacauan.
"Pa, aku bawa motor ya."
Lah lah kok tiba tiba mau bawa motor aja.
"Gak!" Tentunya aku yang jawab, kalau papanya mah pasti boleh boleh aja lah.
"Apaan sih aku gak minta izin mama."
"Tetap aja gak boleh, kamu belum genap 17 tahun yah, belum cukup umur."
Anaknya langsung lesu, gak boleh dong kan, harus sesuai aturan. Nanti kalau dia salah gunain motornya gimana, misal buat kebut kebutan di jalan, terus kena tilang. Jadi masalah dong, dia belum cukup umur.
"Nanti saja kalau udah 17." Nah akhirnya papanya ada dipihak ku.
Langsung kicep kan kalau bapanya yang ngomong gitu. Takut dia.
Ternyata mas suami selesai sarapan, dia melihat jam tangan mahalnya. Baru jam setengah tujuh sih, belum waktunya kerja. Tapi katanya mending datang duluan daripada terlambat, ya sangat benar sih.
"Bareng papa?" Tanya si mas sama anaknya.
"Iya." Dia mengangguk, ya iyalah gak mau diantar sama aku, lagi ngambek kan dia.
Biarin lah, ini juga buat keselamatan dia.
"Yaudah ayo, udah siang."
Ku antar mereka sampai depan rumah, mobilnya udah dipanasin tadi pagi, yah rutinitas si mas.
Aku cium tangan suami ku, tidak ada adegan cium kening. Pokoknya jangan ngarep sama dia mah. Sama halnya dengan Raga, dia mencium tanganku.
"Bye, pelan pelan aja jalanin mobilnya."
Ku perhatikan mobil yang ditumpangi suami dan anak ku sampai tak terlihat.
Akhirnya bisa istirahat dulu, piring piring di meja makan nanti aja lah aku beresinnya.
Bosen banget di rumah kalau jam jam kerja gini, gak ada lagi yang harus dilakukan. Gini terus aktivitas ku setelah menikah dengan seorang Mahadana.
Kalau kata orang mah enak nikah sama orang kaya, tinggal ongkang-ongkang kaki dapet uang, bisa jajan sepuasnya. Iya bener banget, tapi gak nyaman banget kan kalau cuma diem tanpa ngapa ngapain. Mau bikin bikin masakan tapi males beres beres sesudahnya.
Yaudah cuma diem aja kan, nonton tv, scrol ig, chat mas Dana, gitu aja tiap hari.
***
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Paradoks
General FictionApa yang kamu lakukan ketika seorang dokter memintamu untuk menikah dengannya? Untuk aku sendiri, itu adalah kesempatan yang tak boleh ditolak. Yah, maka dari itu aku menerimanya. Kapan lagi kan dilamar dokter? Yap, aku juga berpikir begitu. Tetapi...