Suasana pagi dengan udara sejuk menambah syahdu obrolan ku dan ayah. Tak sekalipun aku meminta ayah terus mengingat masa lalu keluarga kami, tapi terkadang saat hanya kami berdua topik itu akan selalu terselip ketika ayah bertanya tentang bahagia ku.
Aku tentu bercerita tentang 'rumah' yang aku idamkan kini terwujud. Tentunya karena Mahadana. Ayah akan menangkap sirat ku kalau aku begitu bahagia.
Kembali aku mengingat, kami berjuang tertatih mencari bahagia kami. Ayah yang berusaha tegar ketika wibawanya sebagai kepala rumah tangga terinjak, ayah yang berusaha memberikan banyak kasih sayang pada anak perempuan satu satunya, ayah yang berusaha mengangkat aku ke tempat tertinggi agar tidak terhina.
Masa lalu itu sebab aku tak mudah mencari seorang pasangan dengan standar 'rumah' seperti yang ayah beri, bahkan harus lebih, ditambah aku yang tidak bisa berinteraksi lama dengan laki-laki.
Sampai aku bertemu Mahadana, pria dewasa awal 40an pada usia 24 ku. Prinsip standar 'rumah' yang aku pegang tidak ada lagi. Tapi dia memberi 'rumah' yang lebih indah, rumah penyembuhan aku menyebutnya, dimana kami saling menyembuhkan.
Yaah, walau minusnya mas Dana kanebo kering.
"Ayah harap kamu bahagia selalu, ayah nggak bosen bosen ingetin Rara buat jaga selalu marwah Dana sebagai suami. Ayah tahu anak ayah selalu belajar dengan baik."
Aku mengangguk mengerti, kemudian menghambur ke pelukan ayah.
"Rara selalu sayang ayah." Bisik ku lirih.
Ayah mengecup puncak kepala ku, "didik anak kamu dengan baik, ayah percaya Rara bisa."
Ya, yang ayah maksud adalah Raga, kami bernasib sama. Salah satu alasan aku yang begitu yakin menikah dengan mas Dana. Jangan sampai ada lagi 'aku' yang lain.
Merasa energi ku telah kembali, aku mengurai pelukan kami. Aku baru ingat belum bertanya mas Dana yang sudah sampai apa belum.
"Aku belum ngabarin mas Dana, aku wa mas Dana dulu Yah."
Ayah mengangguk setuju, kemudian aku ke kamar, ponsel ku ada di sana.
Mas Suami
Mas udah sampe rumah sakit tah?
Jangan lupa nanti makan 😉😘
Pesan telah terkirim. Biasanya mas Dana akan membalas beberapa jam lagi ketika istirahat, awal awal menikah aku sempat over thinking akan hal itu, aku pikir dia sengaja abai, tapi ketika aku tanya dia menjawab 'profesional seorang dokter Ya, kamu harus terbiasa dengan itu.'
Yah sebenarnya aku banyak tahu tentang dunia kesehatan, latar pendidikan ku sama dengan beliau walau aku tidak langsung berhubungan dengan diagnosa. Kami bersumpah bahwa pasien adalah prioritas, tapi tidak aku sangka mas Dana sebegitu menjaga profesionalitas profesinya dengan tidak membuka handphone sebelum jam istirahat, yah sebenarnya alasan keduanya dia sibuk mendiagnosa, apalagi mendiagnosa penyakit paling vital manusia yang pasti membutuhkan fokus tinggi.
Banyak sekali poin plus dari beliau ini kan.
Lupakan dulu tentang mas Dana, hari ini rencananya aku akan rebahan seharian. Deep talk bersama ayah sudah, beres beres rumah ayah sudah, makan siang tinggal pesan gofood, semua sudah selesai. Enak sekali jadi istri Mahadana.
Sampai tidak terasa aku terlelap.
Ketika aku terbangun, ku lihat pada jendela hari sudah sore, pukul berapa ini? Aku mencari ponsel yang tadi sebelum tidur masih menyalakan video reels Instagram, benda itu ternyata tertindih badan ku, kalau ada mas Dana aku pasti kena marah.
Lah panjang umur dia, ada notif pesan mas Dana 2 jam lalu.
Mas Suami
Heem
Ya, malem kita ke rumah besarLHO LHO, KOK MENDADAK SEKALI!?
MAS KOK DADAKAN BANGET NGASIH TAUNYAAAA
MALES BANGET AKU SAMA KAMUUUMasalahnya kalau kita diminta ke rumah besar itu pasti ada acara keluarga rutinan. Aku belum menyiapkan pakaian, kalau gitu gitu aja pasti bakal jadi bahan gibahan, seperti pertemuan keluarga kemarin. Katanya 'Istri pewaris Adiwilaga kok pakaian nya jelek begitu,' dan nyenyenye lain... padahal itu baju sopan sopan aja bagus bagus aja, mas Dana juga setuju aku pakai baju itu kemarin, dia suka suka aja tanpa protes.
Tidak ingin kejadian itu terulang aku harus menyiapkan pakaian terbaik, gak mau tahu, pokoknya mas Dana harus ikut pusing. Kali ini aku melewati batas untuk tidak menelepon mas Dana saat bekerja kecuali urgent. Ini juga urgent sebenarnya untuk kesejahteraan istri.
Dering pertama tidak diangkat.
Dering kedua tidak diangkat.
Ketiga masih sama.
Dering keempat akhirnya diangkat.
"Ck, Ya saya lagi banyak pasien."
"TANGGUNG JAWAB KAMU."
"Ck tanggung jawab apa sih Ya? Saya nggak mau ladenin kamu kalau nggak penting."
Nggak penting katanya!!
"Kamu tanggung jawab, pakaian buat ke rumah besar kamu yang beli, aku gamau ya digibahin kaya kemarin."
"Ck, iya nanti pulang saya beli, udah dulu ini masih ada pasien."
Tutt... Tutt...
Telepon dimatikan mas Dana, merasa bersalah juga aku menelponnya hanya untuk urusan -kalau dipikir pikir- tidak penting gini, tapi sudahlah jadinya aku tidak perlu khawatir tentang pakaian, selera mas Dana tidak akan mengecewakan.
Okey, sekarang aku perlu membereskan pakaian kami -aku, mas Dana, dan Raga. Supaya ketika mas Dana datang kami tinggal langsung pulang.
Tak terasa sudah jam 3 lebih, mas Dana telah selesai dinas di klinik dan sedang dalam perjalanan pulang. Aku sudah membawa tas pakaian ke ruang tamu.
Tak beberapa lama suara mesin mobil mas Dana terdengar, disusul Raga yang keluar terlebih dahulu dengan wajah masam, udah tahu ini karena dia kelamaan nunggu jumputan papanya.
"Wajahmu kenapa toh nduk?" ayah yang tidak tahu situasi bertanya.
Sudah pasti tidak dijawab Raga, ini salah satu kebiasaan buruk dia.
Kemudian mas Dana menyusul, ku perhatikan penampilannnya lumayan kusut, kemeja yang lengannya sudah tergulung sampai siku dan rambut yang sudah tidak tertata. Penampilan kusutnya tidak membuat ketampanannya menurun, namun semakin meningkat, aku macam liat mahasiswa badboy zaman kuliah.
Mas Dana menyalami ayah, kemudian dia menjawab, "biasa yah, kelamaan nunggu dia."
Giliran aku yang menyalaminya, "langsung pulang ya mas."
"Boleh, yah kami pamit pulang dulu, ayah jaga kesehatan." Mas Dana yang mewakili untuk berpamitan.
Raga dengan ogah-ogahan mengikuti kami yang sudah duluan ke mobil.
"Baju aku nggak lupa kan mas?"
"Hmm, di belakang."
Aku melihat beberapa tote bag brand ternama di samping Raga yang bermain handphone, nah kan emang selera mas Dana tuh gak perlu diragukan.
Dengan gerakan cepat ku rangkul satu tangannya dan mengecup pipinya.
"Uuu, makin sayang aja deh."
"Ck Ya, saya lagi nyetir." halah udah biasa dia mah, malu-malu mau, risih tapi tangan ku nggak ditepis.
Oh iya, aku belum bertanya kegiatan Raga hari ini, anaknya udah keburu bad mood.
°°°
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Paradoks
General FictionApa yang kamu lakukan ketika seorang dokter memintamu untuk menikah dengannya? Untuk aku sendiri, itu adalah kesempatan yang tak boleh ditolak. Yah, maka dari itu aku menerimanya. Kapan lagi kan dilamar dokter? Yap, aku juga berpikir begitu. Tetapi...