Paradoks | 3

196 11 0
                                    

Sering kali aku membandingkan hidupku dengan hidup orang lain, mengukur kadar bahagiaku dengan bahagia orang lain, membandingkan nasib ku dengan nasib orang lain. Bukan menyalahkan tuhan, tetapi membandingkan hidupku. Aku tahu itu seharusnya tak boleh dilakukan.

Hingga aku sampai pada titik bersyukur dengan terjalnya hidupku hingga banyak pelajaran yang aku dapat khususnya berpengaruh pada kehidupan sosialku. Aku terlalu peduli pada orang lain, khususnya pada posisi orang yang memiliki 'sakit' yang sama seperti aku, karena aku tahu pada posisi sakit itu.

Aku sulit untuk percaya, tak bisa terlalu dekat dengan laki laki, gagu ketika berbicara dengan laki laki, gak bisa basa basi. Banyak sekali kekurangan ku. Bersyukur aku bertemu Sasya, rekan antar profesi di rumah sakit. Hingga dia mengenalkan ku pada Mahadana, laki laki yang paling aku sayang setelah ayah.

Hari ini aku akan bertemu ayah lagi. Rindu sekali.

Aku sedang menunggu mas Dana mengganti kausnya yang tercetak bekas air mata dan ingusku di bagian perutnya. Dia menggantinya dengan sabar.

Iya, es batu juga bisa sweet.

"Mau gitu aja?" Tanya mas Dana yang melihat aku tidak berganti baju.

"Iya, males ganti baju lagi," memakai piyama juga gak pa-pa kan, rumah ayah gak jauh jauh amat, pake mobil juga ke sananya.

"Nginep?"

"Kalau Raga ikut, nginep aja." Tambahnya.

Tapi biasanya Raga kalau keluar malem selalu gak mau ikut.

Kami telah siap, segera kami keluar kamar, mas Dana mengeluarkan mobil, sementara aku menghampiri Raga di kamarnya.

Ku ketuk kamarnya.

"Raga, boleh mama masuk?"

"Boleh," teriaknya dari dalam.

Ku buka pintu pelan, terlihat Raga tengkurap bermain ponsel di ranjangnya. Aku duduk di ranjang mengusap rambut dia.

"Mama mau ke rumah Mbahkung, mau ikut gak? Kita nginep."

Dia mengganti posisinya menghadap aku.

"Sama papa?"

"Iyalah."

Dia terdiam cukup lama, berpikir.

"Boleh, tapi mama siapin baju sekolah aku."

Widih, tumben dia mau.

"Nanti balik rumah pagi pagi aja, jangan bawa baju."

Wajahnya berubah masam.

"Gak mau pagi, ngantuk."

Lah, anak malesan dia mah emang. Segera saja ku siapkan bekal pakaiannya, keburu gak mood kan kalau gak diturutin mumpung mau juga diajak keluar malem.

"Bawa tas sama keperluan sekolah yang lain."

Tak lupa ingatkan lagi, kalau gak gitu gak ada inisiatif pasti.

Anaknya manut aja, dia beres beres buku dan atribut yang mau dibawanya besok pagi dan menggendong tasnya. Sementara aku membawa pakaiannya.

"Bentar mama cari tote bag dulu buat baju kamu, kamu ke mobil duluan aja."

Sekali lagi dia manut, aku mencari tote bag di kamar untuk bajunya sekalian bawa baju mas Dana dan aku buat besok.

Sudah siap, terakhir kunci pintu dahulu, rumah tidak ada siapa siapa. Bibi biasa pulang sore atau selepas magrib tergantung selesainya urusan rumah.

Terakhir aku mengunci pagar. Aku masuk mobil dan duduk di depan samping mas Dana. Raga berada di belakang.

Aku perhatikan wajah nya mas Dana, aku ingat perkenalan kami yang begitu singkat, dia yang begitu dewasa tanpa ragu mengikat ku dan tak tahu bagaimana aku pun tak ragu mengiyakan. Selepas itu tuhan kasih jalan yang begitu mudah walau ada drama nya dikit, sampai kami menikah. Tapi katanya kalau jodoh memang tuhan selalu mempermudah.

Tak tahu lagi aku harus mengucap syukur bagaimana, tuhan begitu murah hati memberi Mahadana masuk ke dalam cerita takdir ku. Yah, walau dia kanebo kering.

"Kenapa?"

Sadar mungkin yah aku sebegitu memperhatikannya dengan senyum pepsodent sampai gigi ku kering. Aku rasa aku makin jatuh hati.

"Terimakasih, cinta banyak banyak pokoknya." Tak lupa kedipan mata genit ku berikan padanya.

Tidak ada respon seperti biasanya. Selanjutnya mobil begitu hening.

Oh aku baru ingat ada Raga disini, pantas saja Mahadana ku malu malu. Tapi ada anak atau tidak ada pun respon nya tidak akan jauh seperti kanebo kering.

Beberapa menit kemudian kami telah sampai di rumah ayah. Raga yang turun duluan dan masuk duluan, begitu semangat.

Tapi aku mau sedikit berlama lama dengan mas Dana. Senang sekali rasanya tiba tiba ke rumah ayah. Aku tahu dia lelah sekali, tapi mengesampingkan rasa lelah nya untuk kesenangan aku.

Tak perlu ragu aku memeluknya yang akan membuka pintu mobil.

"Makasih banyak."

Tangannya membalas pelukan ku. Aku benar benar semakin jatuh cinta.

"Yuk."

Yak yuk yak yuk. Gak tau istrinya lagi cinta cintanya yah. Bilang 'sama sama ay' gitu aja susah.

Sekali kanebo tetap kanebo.

Sebelum aku melepaskan pelukan kami, sentuhan terakhir ku kecup pipinya penuh cinta.

"Cinta banyak banyaaaak pokoknya."

Selepas itu ia segera turun grasak grusuk. Lah salting toh?

Begitu toh salting nya bapak dokter Mahadana.

***
Bersambung...

ParadoksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang