Paradoks | 8

176 12 0
                                    

Setelah sesi deep talk dan diakhiri sesi transfer energi, kami pada akhirnya bersiap siap, aku mempersiapkan pakaian Raga terlebih dahulu, mau tidak mau dia harus ikut karena di rumah tidak ada siapa siapa, bibi tidak datang hari ini. 

Aku memilihkan kemeja biru muda dan celana kain berwarna broken white, sama dengan setelan mas Dana, untuk sepatu aku menyerahkan pada anaknya, sementara mas Dana aku memilihkan snikers nike air jordan biru muda dan putih, sengaja aku memilihkan snikers agar terlihat lebih muda dan trendi.

Okey, jadi tema kami hari ini adalah biru dan putih.

Ah, pokoknya lucu sekali.

Ah yaa, untuk kali ini aku yakin style ku tidak akan ada yang mengomentari udik. Semua yang ku pakai mas Dana yang beli, aku yakin dengan selera beliau dan yang pasti tidak akan murahan.

Proud to be mrs. Mahadana.

"Berangkat Ya?" Mas Dana bertanya.

Ku perhatikan sekali lagi setelan yang dipakai mas Dana, untuk memastikan tidak ada yang kurang. Yaa, memang aura orang kaya tidak patut diragukan, mau dipakaikan baju murahan pun akan terlihat mahal. Begitulah mataku melihat mas Dana, bagaimana bisa dia selalu tampan? Kemejanya aku yang beli bulan lalu, hanya di toko mall mall biasa, harganya pun tidak sampai satu juta.

"Kok ganteng terus sih?" Kurang rasanya kalau tidak mencium pipi mas Dana, apalagi sedang tampan tampan nya gini.

Idiiih pura pura benerin lipatan lengan kemeja. Saltingnya selalu beda-beda. Makin gemes aja.

"Sekali lagi." ku berikan kecupan yang lama di pipinya.

"Ck, lipstikmu nempel Ya."

Halah, itu mah salting, lap-lap tuh pipi sampe merah lah. Lipstik ku transferproof, padahal dianya juga tahu.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka, muncul Raga dengan muka sebal, makin mirip mas Dana kalau dia lagi gitu.

"Lama banget ih, nenek udah telepon aku terus."

"Mama mu tuh."

Lah, kalau yang jelek jelek emang aku terus. Ya tapi emang bener, eh gak sepenuhnya benar deh, gara-gara mas Dana juga sih yang kegantengan.

"Bentar, aku pakek parfum duluuuu."

Gak didengerin dong, mereka langsung pergi aja. Mau gimana kan ya, selalu ada aja yang kurang, ibu-ibu tetaplah ibu-ibu. Rempong.

Aku sedikit berlari menuju mobil yang telah ada di halaman depan, tak lupa kunci rumah dan pagar rumah, mereka mana ada kepikiran kunci mengunci.

Jarak rumah mas Dana dan rumah mama-papa tidak begitu jauh, tapi dibanding rumah ayah, lebih dekat rumah mama-papa dan selama perjalanan yang dekat itu diisi keheningan, aku sedang tidak ingin berbicara, stok kata dan energi untuk di rumah mertua.

Kumpulan keluarga tuh udah macam rumah hantu, yang nyeremin gak cuma 1 macem.

Kayaknya aku kebanyakan mikir sampai gak sadar udah berhenti di rumah mama-papa.

Rumah mama-papa itu rumah keluarga Adiwilaga paling gede, kami biasanya sebut rumah utama atau rumah besar. Almarhum eyang juga tinggal disini, otomatis ini juga merupakan rumah masa kecil adik adik papa yang 3 bersaudara. Sekarang tinggal mama-papa yang disini, om Irwan adik papa yang pertama tinggal di Surabaya karena usaha farmasi keluarga ada di sana, tante Mia adik papa yang ketiga ikut suaminya yang seorang pemilik klinik kecantikan ternama yang sudah bercabang cabang, walau rumahnya masih berdekatan dengan rumah utama.

Yaahh, sebenarnya kumpulan keluarga ini juga diikuti keluarga adik eyang yang memiliki dua anak.

Tanganku begitu dingin, gugup sekali.

ParadoksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang