"Assalamualaikum."
Ku dengar teriakan salam, sudah tertebak itu adalah Raga. Saat ini aku berada di kamar, terbayang kan begitu kencang nya teriakan dia sampai pada ruangan yang lumayan jauh pun terdengar jelas.
Cepat cepat aku turun dari ranjang untuk menyambut hangat putra ku itu.
"Waalaikumsalam," terpantau dia tengah menyimpan sepatunya.
"Peluk dulu dong."
Tanganku telah terentang siap mendapat pelukan dan tanpa menolak, Raga memelukku dengan erat.
"Sayang banget sama Ragaku ini"
Ku usap usap sayang punggung anak ku ini, gatau kenapa saat ini aku mendadak mellow. Kalau udah sendiri pasti gitu sih.
"Hmm, kok gak biasanya?"
Gatau pokoknya gak mau jawab pertanyaan itu.
"Peluk dulu yang lama dong Raga."
Aku paksa paksa memeluk lama anak ini, walau mukanya udah kesel juga.
"Ih, aku bau matahari."
Udah terdengar sangat kesal ternyata. Terpaksa lah ku lepas. Biar nanti saja kalau si mas udah pulang, aku peluk peluk dia lebih lama lebih puas.
"Ya udah mandi dulu sana, nanti kita cerita cerita okey."
Yap, sepulang sekolah aku tak pernah melewatkan Raga untuk menceritakan apa yang dia lakukan hari ini, walau hanya beberapa patah kata. Aku rasa itu penting, apalagi mental illnes sedang menjadi trend dikalangan gen z, dengan deeptalk aku rasa bisa tahu bagaimana perasaan Raga saat ini, apakah dia ada kesulitan menghadapi hari harinya, sekedar bertanya itu pun mungkin akan mengurangi beban berat anak setelah bersosialisasi seharian tanpa bantuan orang tuanya.
Segera saja Raga pergi ke kamarnya, bersemangat sekali untuk menghindari pelukan mamanya yang lagi mellow.
Sementara Raga mandi, ku siapkan makannya. Seneng banget kalau dia udah dateng, jadi ada temen lagi di rumah, punya kerjaan ngemanjain dia juga. Karena kadang walau ada bibi pun masih tetap sepi rumah ini.
"Eh udah selesai? Kok sebentar, nggak mandi ya?"
Heran aja, Raga udah turun aja padahal aku baru sempet angetin makanan.
"Mandilah. Mana piringnya ma."
Ku sodorkan piring yang telah disiapkan dan makanan yang telah dihangatkan. Segera aku duduk di sampingnya untuk mendengar dia bercerita.
"Gimana hari ini?"
"Baik, gak ada hal nyenengin, semuanya biasa aja."
Okey, alhamdulillah untuk hari ini Raga tidak mendapat kesulitan.
"Perasaan kamu gimana?"
Raga menghentikan kunyahan nya untuk mengernyit mendengar pertanyaan ku, apa? Salah kah? Sepikiran aku anak itu harus ditanya juga perasaan dia kan, dibalik dari keterbukaan anak juga pasti ada memendam rasa sakit atau something kekesalan untuk apapun itu.
"Baik kok."
Dan akhirnya dia menjawab itu dengan wajah tak peduli.
"Hmm, jadi baik baik terus ya Raga. Mama akan selalu dengerin keluh kesah kamu."
Aku pikir itu perlu diungkapkan, karena aku tahu jadi dia.
Ku peluk sekali lagi anak itu dengan erat, sedikit kurang ajar saat dia masih makan, tapi rasa ingin memeluk anak ini kuat banget.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paradoks
General FictionApa yang kamu lakukan ketika seorang dokter memintamu untuk menikah dengannya? Untuk aku sendiri, itu adalah kesempatan yang tak boleh ditolak. Yah, maka dari itu aku menerimanya. Kapan lagi kan dilamar dokter? Yap, aku juga berpikir begitu. Tetapi...