6. Namanya, Adisty

47 33 7
                                    

_____

Jika memang tak mampu memberi bahagia, setidaknya jangan membuatku jatuh dan terluka.

-Zavan-
_____

Willy yang sedari tadi menunggu kedatangan Devan di ruang tengah langsung menyergap Devan begitu ia melihat eksistensinya. Ia melemparkan satu buah pot bunga yang berada di atas meja dengan keras sehingga mengenai tembok di depan Dev. Dev pun menoleh dengan pendaran lemas.

"Devan! tadi pagi kamu apain istri saya, huh?!"

"Apa? aku nggak ngapa-ngapain dia, Pah."

"Ini apa? kata istri saya kamu dorong dia sampe sikunya berdarah." Ia memperlihatkan lengan seorang wanita dengan penuh hati-hati.

"Oh yang itu. Aku nggak ngapa-ngapain dia kok, dia nya aja yang cengeng. Baru segitu aja udah ngadu!"

"Devan!  jaga mulut kamu! dia itu ibumu!!!"

"No, dia bukan ibu Devan."

Devan akhirnya masuk ke dalam lift menuju lantai 4 dengan menggendong tasnya. Sesekali menghapus jejak darah yang terdapat di pipinya. Ia sama sekali tidak berminat untuk memperpanjang masalah itu lagi, hanya buang-buang waktu saja. Sudah menjadi rutinitasnya setiap ia pulang ke rumah, ayahnya tidak akan melewatkan sesi memarahi dan menyalahkannya hanya karena perkara-perkara kecil. Terutama perkara wanita itu.

"Devan, kamu jangan lupa apa pesan terakhir ibumu!"

"Okay, aku juga nggak lupa kok, tenang saja. Seperti biasa."

Tepat ketika pintu lift tertutup rapat, dada Devan terasa ditancapi panah tajam. Sudah berjuta-juta kali ayahnya itu mengingatkannya pada sesosok ibu. Ibu yang ia sayangi. Satu-satunya manusia di bumi ini yang selalu mengerti seluruh isi hatinya.

...

Di kamar ini, Devan merenung. Apa kabar ibunya? Apakah ia sehat? Apakah ia merasa tenang setelah pergi dari rumah? Apakah dia bahagia tinggal di tempat yang ia tempati sekarang? pertanyaan itu terus berputar di kepalanya seperti sebuah alunan musik yang hanya berisi dengungan panjang tak berujung.

Devan terluka lagi. Pada akhirnya, yang bisa ia lakukan hanyalah menerima semuanya dengan lapang dada dan senyuman hampa. Ia pun mengerti jika berteriak seperti sekarang tidak akan menyembuhkan lukanya yang sudah kronis, tetapi setidaknya hal tersebut bisa membuat perasaannya sedikit lebih lega.

Beberapa menit kemudian ia menangis, untuk kesekian kalinya dalam satu hari. Ia tidak menangis di depan khalayak. Baginya hal itu sangat memalukan. Namun ia adalah manusia munafik. Lihat saja, sekarang Dev tengah berlutut dengan aliran air mata yang membanjiri pipinya.
Luka yang terdapat di rahang dan pipinya tidak jauh lebih perih dari pada isi hatinya.

Dulu sekali, Dev adalah penganut nomor satu ayahnya. Apapun yang keluar dari mulutnya selalu Dev turuti sesempurna mungkin. Termasuk perintahnya untuk tidak menangis. ''Menangis adalah hal paling menjijikan untuk dilakukan oleh laki-laki." Begitulah penuturan ayahnya.
Itulah alasan mengapa Devan dijuluki manusia berhati batu, hanya karena orang lain tidak pernah melihatnya menangis.

Devan layaknya seperti mayat hidup. Ia menjalani seluruh kehidupannya walaupun ia tidak benar-benar menikmatinya. Berjalan tanpa arah dan tujuan yang pasti membuatnya merasa kebingungan untuk menuju arah pulang. Namun, satu hal yang membuat ia masih berdiri tegak sampai sekarang, yang tak lain dan tak bukan adalah ibunya sendiri.

Ibu Devan adalah sosok penyayang yang tidak diragukan lagi. Hatinya begitu murni dan tulus menyayangi semua orang. Ia merupakan satu-satunya tempat pulang bagi Devan. Ketika ia resah, gelisah dan bingung dengan situasi, Devan selalu berkonsultasi kepada ibunya. Menghampiri dan menumpahkan apa yang terdapat di dalam hatinya. Seolah ibunya adalah obat dari segala penyakit yang ia dapati.

Kini, Dev menghapus air matanya dan bangkit. Duduk di kursi meja belajar dan membuka buku catatannya. Ia sadar betul obat yang selama ini telah membuatnya berada dalam ketenangan telah sepenuhnya menghilang. Maka dengan itu, ia menorehkan lukanya di buku itu. Menggoreskan kata demi kata, kalimat demi kalimat sehingga akhirnya menjadi bait-bait yang utuh. Bait yang penuh dengan syair keluh.

Devan ingat betul ketika dimana beberapa tahun silam ibunya datang dengan nampan berisi makanan di tangannya. Waktu itu dia mogok makan. Ia uring-uringan ketika ayahnya tidak pulang untuk waktu yang cukup lama. Namun, ibunya tidak berhenti untuk membujuknya untuk makan.

Ketika Dev bertanya, "Ma, Papa kemana? Kok dia nggak pulang-pulang?" Pasti jawabannya akan selalu sama, yaitu, "Papa lagi kerja, Nak." Namun, sepertinya Devan sudah muak dengan jawaban ibunya itu. Ia tidak mau makan dan hanya mengurung dirinya di dalam kamar.

Anna duduk di bibir kasur tepat di hadapan Devan dan menyimpan makanannya.

"Devan. Papa lagi sibuk sekarang, jadi kamu makan dulu ya, Papa bakalan pulang kok. Kalo Devan sakit nanti Papa sedih loh."

"Tapi Ma.. ini udah satu bulan Papa nggak pulang. Papa kemana aja?"

"Dia lagi dinas ke luar negeri, Nak. Sekarang jadwal Papa pasti padat banget. Jadi, sekarang kamu makan dulu ya, sedikiit aja. Kata Papa, nanti kalo dia pulang, dia bakal bawain kamu oleh-oleh yang banyak buat Devan," ia menjeda perkataannya, namun raut wajah Devan sama sekali tidak berubah.

"Oh iya! dia juga bilang bakal beliin Devan mobil-mobilan yang ada orangnya kayak yang waktu itu Devan mau."

"Waaah beneran Ma?" Matanya berbinar ketika mendengarnya. Kemudian lengan yang semula ia sidekapkan dan wajah yang tadinya tertekuk mulai semangat lagi.

Sebenarnya, di dalam lubuk hati paling dalam, Devan ingin sekali makan sesuatu. Dari pagi perutnya belum terisi apapun kecuali segelas air putih, lambungnya perih bukan main seperti ada benda yang melilitnya begitu kuat. Dengan pernyataan Anna, Devan mempunyai alasan lagi untuk makan.

Dev terus bertanya di tengah suapan yang diberikan Anna, tentang seberapa lama lagi ayahnya itu akan menyelesaikan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga.

Waktu itu Anna berbohong. Ya, dia berbohong. Apa yang dikatakannya mengenai ayah Dev yang pergi ke luar negeri untuk alasan pekerjaan sepenuhnya bohong. Sebenarnya ia juga tidak mengetahui keberadaan suaminya dalam satu bulan belakangan ini. Ia juga tidak mendapat kabar dari dirinya. Berkali-kali ia menelpon nomornya, namun tidak ada respon sama sekali.

Satu hari setelah kebohongannya pada Dev, hatinya mencuat ketika ia mendapat kabar dari pegawai kantor suaminya, bahwa Willy sedang berlibur bersama sekretarisnya ke Pulau Dewata.

Devan kembali menangis. Pena yang semula ia genggam untuk menulis, akhirnya ia lepas. Devan menyugar dan mengacak-acak rambutnya tanda ia sudah frustasi dengan keadaannya sekarang.

"Ma, aku butuh Mama. Aku butuh bujukan Mama. Aku mau Mama ada disini sekarang. Aku capek Ma.."

"Bilang bahwa Dev akan baik-baik aja. Dev akan lebih tenang walaupun pernyataan Mama itu hanyalah suatu kebohongan."

Kemudian ia menggolekkan kepalanya di atas meja. Ia mengambil foto yang sengaja ia selipkan di buku diarry-nya.
"Dis, sekarang kamu dimana? Aku butuh kamu disini. Mama udah nggak ada dan cuman kalian yang aku punya." Jelasnya sembari memandangi foto usang. Di balik gambar itu terdapat tulisan, ''ini Devan sama Adisty. Senin, 1 Juli 2008 kita resmi menjadi sahabat.''

Sebagian tulisan di kertas tersebut mungkin sudah pudar dimakan oleh waktu, namun ingatan Devan tentang anak perempuan yang ada di foto itu masih tersimpan jelas dalam memorinya.

Di polaroid kelabu itu, mereka terlihat sangat bahagia. Senyum yang terukir dari diri masing-masing terlihat begitu tulus. Tidak ada yang namanya senyuman palsu.

Menurut Devan, Adisty itu unik, cara dia senyum, caranya bertutur kata dan bertingkah sangat berbeda di antara yang lain. Mungkin itu salah satu alasan Devan sangat menyukai Adisty. Bukan sekedar suka, namun sekarang Devan yakin, perasaannya itu telah berubah menjadi cinta. Cinta yang entah kapan akan berjumpa kembali.

_____     

Devano [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang