3. Uluran Tangan di Tepi Danau

57 33 26
                                    


Hari ini, Keysa memulai pagi seperti biasanya. Matahari masih terbit dari arah timur. Angin pagi yang berhembus menggelitiki kulitnya masih terasa sama seperti dulu-- dingin dan elegan. Suara ayam jantan tetangga yang berkokok seumpama memberi ucapan selamat pagi kepada orang-orang disekitarnya masih ia dengar. Atau aroma bakwan jagung mama yang sudah menyeruak memenuhi isi rumah membuat siapa saja yang menciumnya tergoda untuk mencicipinya.

Sedikit berbeda, karena kenyatanya ia sekarang berada ditempat yang asing. Sebuah tempat yang jauh dimana kenangan itu tidak bisa lagi ia lihat dengan mata telanjang. Tapi disini, ia merasakan sedikit perasaan lega karena ia merasa jauh lebih baik dari hari-hari sebelumnya.

Ini tidak terlalu buruk seperti perkiraan gadis itu sebelumnya. Ia mengira dengan keputusan mama untuk pindah ke tempat ini adalah hal sulit yang akan ia terima. Apalagi harus kembali berinteraksi dengan lingkungannya yang baru dan memulai kehidupan baru bersama orang-orang baru pula.

Tetapi saat ini, ia menyadari suatu hal bahwa berinteraksi dengan mereka bukanlah hal yang perlu ia takuti. Ia senang mendapati tetangga-tetangganya yang ramah dan baik hati kepadanya. Setiap dirinya berangkat sekolah melewati sekumpulan ibu-ibu atau bapak-bapak yang sedang menikmati kopi di teras rumah, mereka tidak pernah absen untuk hanya sekedar menyapanya dengan basa-basi yang terbilang sangat basi. Namun ada saatnya juga ia tak nyaman dengan gosip-gosip yang dilontarkan ibu-ibu tersebut di halaman rumahnya sembari membeli sayuran. Ah, berbelanja sayur-mayur hanyalah kedok belaka, mereka sengaja berkumpul untuk membicarakan berita-berita hots dan hits setiap harinya.

Seperti saat ini, Mang Eko--tukang sayur keliling yang tengah duduk di atas dipan depan rumah Keysa hanya menyimak dengan seksama, menopang dagunya dengan tangan kanannya. Sesekali ikut terkekeh dengan ibu-ibu gosip tersebut. Entah ia mengerti atau tidak dengan perbincangan mereka.

"Pagi Maa!" Keysa berteriak sambil menuruni anak tangga dan langsung memeluk mamanya dari belakang dengan sunggingan lebar. Lantas Mama yang sedang memegang sutil pun mengerjap terkejut.

"Key! Liat nggak Mama lagi pegang apa? Ini panas lho."

"Iya, iya Mah eh.." ucapan Keysa terputus saat sepasang obsidiannya menangkap sebuah handuk berwarna merah muda tergeletak di samping kompor.

Kening Keysa mengerut, itu kan handuk kesayangannya. Walaupun warnanya sudah sedikit memudar karena sudah satu tahun tidak diganti, tetapi Keysa kenal betul dengan benda kesayangannya yang satu ini.

"I-itu kan handuk Keysa, Mah." Keysa melepaskan pelukannya dan beralih menunjuk benda itu.

"Oh itu, kata si Abang kemarin dia udah izin sama kamu buat jadiin handuk itu sebagai lap dapur. Yaudah Mama pake aja buat ngelap kompor." Jawab Mama sambil membolak-balik bakwan bayam diatas wajan berisi minyak panas.

Setelah mendengar ucapan mama, Keysa kembali menaiki anak tangga seperti seorang hulk yang sedang menantang lawannya di ring tinju. Ia merenggangkan persendian tangan dan lehernya disertai perasaan jengkel. Tidak terima bahwasanya barang yang ia punya disentuh orang lain. Apalagi ini, memperlakukan barang itu seperti sampah.

"Yudha, sini lo!!" Keysa berteriak sebelum akhirnya ia menendang pintu kamar kakaknya dengan keras. Atensinya menyapu seluruh benda yang ada didalam ruangan itu, namun Keysa tidak menemukan tanda-tanda manusia yang ia cari ada disana.

"Keysa, kamu ngapain gebrak pintu kayak barusan? Kamu mau rumah ini roboh, terus kita pindah lagi, Iya!? Masih mending kalau kita dapat kontrakan, kalau enggak mau tinggal dimana kita?" Mama menyahut sekaligus terkejut mendengar debaman pintu dari lantai atas. Kemudian, meletakkan sepiring bakwan bayam, ikan bakar dan sambal Palembang di meja makan.

"Ma, si Abang kemana?" Key malah balik bertanya dan tidak menggubris omelan mama. Ia sangat penasaran kemana makhluk itu pergi setelah membuat masalah dengannya? Kira-kira jurus apa yang akan ia gunakan untuk membuat saudaranya itu bertaubat mengganggu dirinya.

"Tadi habis subuh dia bilang mau jogging keliling komplek," Mama menjawab lalu melatakkan sebakul nasi putih di meja makan bersama sendok.

"Nah itu anaknya!" Tepat saat hidangan di atas meja makan tertata sempurna, Mama menoleh ke arah pintu utama. Dan mendapati makhluk yang Keysa cari sedari tadi sedang berdiri di bibir pintu dengan sekantung ice cream oreo di tangannya.

Yudha yang ditatap begitu mendadak bingung, apakah ada yang salah dengan dirinya?  ataukah hari ini dia terlalu tampan sehingga seisi rumah menatapnya seperti itu.

"Apa lo liat-liat? Iya, gue ganteng dan gue tau itu."

Ia khawatir dengan kondisi adiknya yang sekarang berdiri di tengah tangga seperti orang yang kesurupan. Seakan tidak akan lama lagi ia akan diterkam lalu mencekiknya tanpa ampun.

Sadar ada yang aneh dengan orang itu, Yudha melirik Mama meminta penjelasan kenapa adiknya bisa menatap dirinya seperti itu.

Seakan Mama mengerti kode yang diberikan Yudha, ia menunjuk handuk pink itu dengan mengedikkan bahu.

Mampus! Yudha mengetahui kondisi ini. Ia berpura-pura tidak mengetahui apa-apa dan siap untuk balik badan. Namun sebelum rencananya tercapai untuk lari secepat dan sejauh mungkin, ia sudah berhenti di awal rencananya itu.

"Mau kemana lo, huh?!" Benar firasat Yudha, Key seperti orang kesurupan jin tomang. Seolah mempunyai jurus teleportasi, Keysa kini telah berdiri di hadapan Yudha dalam sekejap dengan smirk yang mematikan.

...♡...

"Kamu ngapain disini?"

"Hai. Aku mau main sama kalian. Boleh ya?"

"Nggak boleh! Kamu kan anaknya tukang selingkuh."

"Iya, kata mama aku juga, aku nggak boleh main sama kamu."

"Mending kamu pergi aja deh!"

"Bener. Kita mau main disini. Awas kamu ngalangin pemandangan aja!" Lalu ia mendorong bocah laki-laki yang memeluk sekop dan mobil mainannya. Detik berikutnya bocah itu tersungkur diatas tanah dengan perasaan bingung. Ia bertanya pada dirinya sendiri, apa salahnya sehingga mereka memperlakukannya seperti ini?

Ia tidak menangis. Ia mengingat apa yang dikatakan oleh papanya di teras rumah sore hari lalu. "laki-laki nggak boleh nangis, kamu nggak boleh cengeng. Janji sama Papa kalau kamu nggak bakalan nangis lagi!" Kurang lebih seperti itulah ucapan yang ia ingat dalam pikirannya. Cengeng sekali kalau dia menangis saat ini hanya soal perkara kecil.

Sementara ia yang sedang berusaha membersihkan bajunya yang kotor akibat tanah, bocah-bocah lain menertawainya dengan lagak puas. Seolah ia adalah badut yang sedang beratraksi dan menunjukkan guyonan paling lucu.

Namun, seorang bocah perempuan di tepi sana seolah tidak setuju dengan teman-temannya untuk melukai dan menertawai orang asing itu. Ia sudah tidak tahan. Ia menghampiri anak lelaki itu dan mengulurkan tangannya dengan senyuman tulus.

"Sini, aku bantuin kamu." Bocah laki-laki itu akhirnya berdiri dengan bantuan dari perempuan yang sedang memegang boneka kelinci.

"Hey, kalian jangan gitu dong sama dia! Mama aku bilang, kita nggak boleh milih-milih teman." Ucapnya setelah membantu bocah itu.

"Huuuuu anak mami! Nggak seru lah. Ayo teman-teman kita main di tempat lain aja! Biarin dia main sama si anak tukang selingkuh itu." Ucap salah satu diantara mereka, menghasut yang lain supaya meninggalkan mereka berdua di tempat itu.

Bermenit-menit lamanya mereka terdiam. Duduk dibawah pohon besar yang rindang. Mereka sama-sama  memandangi air danau yang luas dihadapannya seolah berpikir apakah ada seekor paus yang tinggal disana bersama ikan-ikan kecil dan hidup bahagia.

_____

Devano [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang