bagian 6

5 3 0
                                    

Mas Dimas menggenggam tanganku sambil fokus menyetir. Dari raut wajahnya bahwa mungkin saja mas Dimas senang dengan aku ikut dengannya, aku tidak melihat raut kecewa itu lagi.

Aku berharap demikian, bahwa mas Dimas senang. Namun, aku juga tidak melupakan rasa cemas yang aku rasakan sekarang.

Aku tidak suka keramaian, apalagi ketika mereka menatapku dengan tatapan jahat mereka.

Sekitar beberapa menit berlalu, aku bahkan tidak sadar mas Dimas sudah memasuki halaman parkir kantor.

Aku terlalu tegang dengan perasaan ku sendiri, aku langsung keluar ketika mas Dimas tiba-tiba keluar juga dari mobil.

"Kemari Tika" ucapnya memberi isyarat agar aku menggenggam tangannya.

Aku dan mas Dimas lalu masuk lift menuju lantai 2, tempat pestanya berlangsung. Suasana sangat sepi membuatku semakin deg-degan, apalagi ketika aku tak sengaja melihat nomor lift itu yang berjalan naik.

Ketika lift terbuka, kami masih harus memasuki ruangan utk kesana. Dari sini aku sudah bisa mendengar suara ramai orang², perasaanku jadi tidak enak.

Mas Dimas tidak mengatakan apapun dia bahkan hanya fokus utk menuju pestanya. Aku tidak bisa mengganggunya jika sudah seserius itu namun, aku ingin sekali bilang padanya kalau aku tidak bisa.

Akan tetapi, aku tidak mungkin bilang begitu. Aku sudah bilang bahwa aku ikut dengannya jika aku berubah pikiran sudah terlambat untuk itu.

Pintu lalu terbuka, mas Dimas dan aku masuk kedalam. Untung saja ketika kami masuk tidak banyak orang yang mengamati kami.

Tapi, tiba-tiba genggamanku terlepas dari tangannya. Dua orang di hadapanku ini menutup jalan dan setelah aku melewati mereka aku tidak melihat bayangan mas Dimas lagi.

Aku melihat sekeliling dan tidak mendapati punggung mas Dimas, sama sekali aku tidak bisa membedakannya. Semua orang terlihat memakai setelan jas yang sama, pusing dan panik hanya itu yang aku rasakan.

Aku mundur beberapa langkah dan dengan panik buru-buru aku kembali ke pintu masuk.

Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku "mbak, kemarilah ikut saya. Anda bisa duduk di meja sana" katanya dan dia mengarahkanku ke meja yang cukup jauh dari tempat aku berpisah dengan mas Dimas.

Perutku mulai mual, keringat dingin mulai menetes seperti ada gerimis di kepalaku. Aku masih berusaha melihat sekeliling ku, mencari mas Dimas.

Namun nihil, justru kulihat orang² semakin ramai. Dari jauh di depan sana, aku melihat panggung. Kurasa di sanalah pembukaan pestanya akan di mulai.

Dan benar saja seseorang naik ke atas sana, yang kudengar seperti dugaan ku. Pestanya telah dimulai, semua orang serentak bersorak sambil bertepuk tangan.

MC itu lalu berbicara lagi tapi, aku tidak mendengar dengan jelas. Perkataannya seakan beracak, tidak beraturan dan pikiranku tidak bisa fokus.

Namun, pandangan ku masih kearah sana.
Tarikan nafas bahkan tidak membantu dan aku sekuat tenaga mencoba membuat diriku tenang.

Namun suasana semakin berantakan ketika aku mulai merasakan sesuatu membelai bahuku hingga tangan itu seakan ingin mencengkeramnya.

Rasa ketakutan dan panik begitu besar dan dahsyat hingga kakiku mati rasa utk bergerak. Semua yang terjadi seakan terhenti dan pikiranku hanya terfokus pada sentuhan yang terasa sangat menyakitkan.

Aku tidak bisa bergerak sama sekali, hingga dia melihat padaku dan belaian itu terlepas dariku. Disaat itu aku langsung berdiri dan berlari, dengan kakiku yang lemas rasanya begitu sakit.

Mas Dimas! Aku harus mencari dia dan meminta bantuannya.

Semua orang mulai melihat kearah ku seperti orang aneh dengan nafas ku yang terengah-engah.

"Tika, kamu disini rupanya" suara itu melegakan namun ketika ku berbalik mas Dimas justru menarik tanganku.

Aku mulai menarik nafas perlahan, setidaknya aku sudah didekat mas Dimas kembali. Hal yang tadi, akan aku ceritakan nanti saja.

Dan aku ingin bilang padanya bahwa aku mau pulang. Aku tidak bisa menoleransi kepanikan ku lagi, apalagi setelah hal tadi.

Tapi justru tubuhku membeku disaat aku melihat pria itu berdiri disana.

"Pak, ini istriku. Tika"

Pria berbadan besar dan bersetelan jas coklat itu menatapku "Tika dia adalah pak Daniel, pak CEO"

"Halo" pria itu memberikan tangannya, hendak bersalaman.

Setiap rangka tubuhku bergemetar takut, pak Daniel masih menunggu salaman dariku. Mereka memandangku, mas Dimas juga turut memandang membuat diriku terdesak.

"tika, pak daniel menunggu"

Situasi memaksa dan semua tatapan itu akhirnya membuatku menjulurkan tangan pada pria ini. Aku semakin terkejut ketika dia justru menarik tanganku utk bersalaman padanya.

5 detik saja, kegelisahanku memuncak membuat jantung memompa semakin cepat. Aku tidak memperdulikan reaksi pak Daniel ketika aku menarik kembali tanganku.

"maaf, aku harus pergi"

Aku bisa merasakan ada sesuatu yang menghantam kepalaku, buru-buru aku menuju pintu keluar. Begitu sakit sekali dan menakutkan.

Namun aku tidak merasakannya, justru aku tertuju fokus pada gelisah, cemas dan takut. Kepanikanku menyuruhku untuk berlari tapi tubuhku sangat lemas, kakiku dan tanganku bahkan rasanya tak bisa kurasakan.

Aku mendengar mas Dimas memanggil ku, dia mengikuti aku ternyata.

"Tika, ada apa denganmu?!"

Aku menarik kerah bajunya, aku mau segera pulang. Aku sudah tidak sanggup dan takut utk berada disini.

"Mas, Ayuk pulang.."

"Sebenarnya katakan dulu ada apa denganmu?!"

Kedua bibirku bergemetar seakan memohon ampun padanya, deg-degan yang aku rasa berhenti seketika dan bertunduk pada suara mas Dimas.

Aku semakin takut, kedua kakiku di bawah sana yang begitu lemas langsung membuatku terduduk ke lantai.

Aku menatap tidak percaya pada mas Dimas, dia baru saja membentakku. Aku sudah membuatnya marah, dia pasti sangat kecewa.

"Tika!" Teriak mas Dimas tapi, aku tidak tahu mengapa dia berteriak dengan wajah terkejutnya. Mungkin dia semakin marah melihatku menangis sambil terduduk dilantai yang kotor.

Dia memegang kedua bahuku, dia nampak begitu kaget. Aku terdiam saja, entah tiba-tiba pikiran ku menjadi kosong, aku bahkan tidak sadar bahwa kegelapan mulai datang.

"Tika, kamu berdarah!"

Aku melihat kebawah, cairan merah membasahi celanaku disana. Namun, tidak terlihat jelas, pandangan ku mulai menghitam dan kabur dari air mata.

Aku melihat beberapa orang keluar dari ruangan pesta dan menuju ke arah kami. Walau tidak jelas namun aku masih bisa mendengar mas Dimas yang berusaha menyadarkanku.

Hingga merasa aku sangat lelah dan mengantuk, sesaat sebelum aku tertidur, aku melihat mas Dimas seakan menangis di sudut mata kanannya. Tak yakin apa benar atau cuman keringat yang bercucuran saja.

Seharusnya, hari ini aku bisa membanggakan diriku padanya, kepada mas Dimas namun aku gagal.

[MASIH DALAM PENGEMBANGAN]

[AUTHOR MASIH BANYAK BELAJAR]

[TINGGALKAN KOMEN UTK AKU>3]

All with YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang