6. Martabak

104 13 0
                                    

Senja yang seharusnya menampakkan warna jingganya harus tertutupi warna awan yang kelabu bersama rintik-rintik gerimis. Dari pagi tadi awan abu-abu seolah-olah tidak ingin membiarkan cahaya matahari menembusnya hingga membuat udara menjadi dingin.

Di sore yang dingin Azkal menyusuri jalanan menuju rumahnya. Di dalam gendongannya ada seekor anak kucing berwana orange dan putih. Anak kucing itu tidak sengaja ia temukan di depan minimarket sendirian, ia yang tidak tega melihat kucing itu sendirian berinisiatif untuk membawanya pulang toh di rumahnya tidak ada yang alergi dengan kucing.

Tangan Azkal tidak berhenti mengelus-elus bulu kucing itu. Kucing itu sendiri terlihat nyaman digendongan Loka. "Kamu pasti kedinginan," ujar Loka.

Loka terkekeh sendiri. Bagaimana mungkin kucing yang ia gendong sekarang bisa mengerti yang ia katakan? Tapi tak apalah setidaknya kucing ini bisa menjadi temannya selama perjalanan pulang.

Mas Alfan sebenarnya sudah memintanya untuk menelponnya kalau sudah selesai kerja kelompok dan Mas Alfan akan menjemputnya. Namun, ia tidak melakukan yang diminta Mas Alfan sebab jarak rumah temannya dan rumahnya tidak terlalu jauh dan masih bisa ditempuh dengan jalan kaki.

Mas Loka tadi juga mengirimkan pesan yang isinya sama dengan permintaan Mas Alfan, dan ia tidak membalas pesan Mas Loka, lagian sebentar lagi ia juga sampai rumah.

"Kucing, nanti kalau udah sampai rumah pasti kamu merasa hangat. Di rumahku ada Mas Loka yang sangat overprotektif sama aku, terus ada Mas Alfan yang jailnya minta ampun. Tapi mereka baik banget sama aku, dan mereka pasti nanti baik juga sama kamu." Lagi-lagi Loka berbicara pada kucing yang ada di gendongannya. Kucing itu mengusap-usap puncak kepalanya di dada Azkal, seolah-olah mencari kehangatan yang ada di sana.

"Sampai di rumah nanti kamu bakal langsung aku kasih makan sama selimut."

"Meong."

Azkal tertawa senang, kucing itu meresponnya. Setelah tawanya mereda Azkal kembali bersuara, "Sepertinya aku harus memberikan kamu nama. Emm gimana kalau Koko? Aku suka nama itu. Dulu Papa pernah bilang kalau aku bisa naik sepeda roda dua bakal diizinin buat pelihara kucing. Pas aku udah bisa ternyata Mama yang nggak ngizin aku buat pelihara kucing gara-gara Mama alergi bulu kucing, padahal aku udah siapin namanya. Tapi sekarang Mama udah nggak serumah sama aku jadi aku akan merawat kamu sebaik mungkin, Koko."

"Meong."

"Meong."

Azkal kembali dibuat terkekeh karena Koko yang mengeong seolah-olah mengerti apa yang ia ucapkan tadi.

Tinggal belok di perempatan di mana bengkel Abah berada Azkal akan sampai di rumahnya tapi kaki Azkal harus berhenti melangkah karena netranya tidak sengaja bertemu dengan netra seorang wanita yang sudah lama ia rindukan.

Mama tidak sendirian di samping Mama ada seorang gadis berambut panjang dengan kulit yang putih. Ia tidak asing dengan gadis itu sebab gadis itulah yang kemarin malam datang kerumahnya membawa bahan masakan dan obat-obatan.

Azkal menghampiri Mama namun tetap memberi jarak yang cukup jauh sebab ia sedang mengendong kucing sekarang. "Mama!" panggil Azkal bersama senyum cerah yang terbit di wajahnya. Rasa senang yang ia rasakan tidak bisa ia gambarkan. Akhirnya ia bisa bertemu Mama meski ia haruslah menjaga jarak.

"Hai, Azkal," balas Mama.

"Mama mau ke rumah?" tanya Azkal.

Gelengan yang Mama berikan membuat Azkal kecewa. Senyum yang terbit di wajah Azkal perlahan-lahan menghilang. "Lalu Mama kenapa ada di sini?"

Mama menunjuk mobil yang ada di bengkel Abah. "Mobil Mama mogok."

Azkal mengangguk. "Ohh, kalau begitu Azkal pulang dulu ya, Ma," pamit Azkal.

Arloka (Selesai) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang