13. Dewasa

77 11 10
                                    

Loka tidak pernah menduga jika Ria akan memaafkan dan menerimanya secepat ini. Selapang apa hati Ria hingga mudah sekali memberinya maaf, benarkah Ria ikhlas menerimanya sebagai Kakak, bukan seseorang yang lagi dia damba.

Ingin sekali Loka tertawa menertawai keadaan yang menjeratnya juga Ria. Dia bukan Ria yang mudah menerima apa sekarang terjadi padanya. Dia sudah berkali-kali dikecewakan oleh keadaan jadi untuk kembali meminta harap rasanya ia masih enggan.

Di dewasakan oleh keadaan itu rasanya menyakitkan. Banyak keterpaksaan yang kita lakukan hingga menjadi kebiasaan. Lalu kita dituntut untuk menerima.

Kemarin malam Loka bilang pada Ria bahwa menerima sebuah kenyataan tidaklah perlu terlalu cepat sebab kita perlu mencernanya. Sayangnya, ia lupa bahwa sejak kecil Ria sudah dibiasakan menerima kejamnya kenyataan.

Kenyataan bahwa Ria lahir tanpa ada sebuah ikatan pernikahan.

Ria memang sekuat itu. Lapang pula hatinya. Tidak perlu diragukan lagi seberapa dewasa Ria sekarang. Tidak pula diragukan bahwa sosok Ria masih mengikat hati Loka.

"Gue nggak ngerti kenapa dari tadi lo ngelamun mulu padahal guru tercantik di sekolah kita sekarang sedang menerangkan di depan," bisik Harfi pada Loka.

"Mata lo, Fi!" Loka berdecak kemudian menyenderkan punggungnya di senderan kursi.

"Pasti lo lagi ada masalah, ya?"

"Ya, gue masih hidup makanannya masih punya masalah!"

Harfi mengangguk membenarkan perkataan Loka. Kalau dia bunuh Loka sekarang pasti cowok itu tidak lagi memiliki masalah, tapi nanti dialah yang terjerat masalah, masuk penjara terus dicoret dari kartu keluarga.

Harfi bergidik sendiri. Kalau dia dicoret dari kartu keluarga dapat dipastikan dia tidak akan pernah mendapatkan warisan. Membayangkan Kak Handi dengan tampang songong memamerkan harta Mama dan Papa membuatnya ingin muntah.

"Masalah lo itu pasti soal cewek yang lo pelototin di cafe kan?" tanya Harfi.

"Namanya Ria."

"Iya, pokoknya itu! Masalah lo soal dia kan?"

Loka menerawang ke depan seolah-olah membayangkan ada sosok Ria di depannya. "Dia baik banget," ucapnya.

"Gue nggak ngomong dia jahat."

"Dia pengertian banget."

"Gue nggak ngomong dia egois."

"Gue pernah janji sama diri gue sendiri bakal jaga dia. Bahkan gue pernah berkeinginan kalau udah gede bakal minta dia ke bapaknya eh sekarang bapaknya dia jadi bapak gue juga!"

"Ya lo aneh-" Harfi menjeda ucapnya sembari mencerna perkataan  Loka tadi. "Eh gimana-gimana?"

"Lupain ajalah!"

"Jadi lo-" Harfi menutup mulutnya sok dramatis yang cukup membuat Loka muak melihatnya.

"Iya, gue jadi Abangnya!"

"Kok kisah cinta lo kayak di sinetron sih?!" Harfi berdecak tidak percaya.

Seharusnya tadi Loka curhat dengan Rendi saja. Paling tidak kalau dia curhat dengan Rendi dia tidak akan mendapatkan respon dramatis macam Harfi kayak gini. Menyebalkan.

"Harfi kalau kamu mengajak Loka mengobrol di jam pelajaran saya lagi kamu tidak usah mengikuti pelajaran saya lagi!"

Loka menahan tawanya melihat wajah Harfi yang masam. Percayalah melihat Harfi dimarahi sama guru favoritnya itu menyenangkan, apalagi sampai ada ancaman tidak boleh mengikuti pelajaran lagi.

Arloka (Selesai) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang