Semuanya masih sama. Chat yang dikirimkan Loka pada masih sama, centang abu-abu belum menjadi biru. Padahal sudah hampir dua bulan berjalan tapi tidak ada perubahan sama sekali.
Beberapa bulan terakhir hubungannya dengan Mama semakin tidak karuan. Dimulai tidak ada pesan dan pertemuan, tidak ada saling menanyakan kabar atau menengoknya dan adik-adiknya.
Loka tidak akan menyalahkan Mama sepenuhnya atas apa yang terjadi saat ini. Karena ia juga turut andil dalam membentang jarak antara dirinya dan Mama. Seharusnya jika Mama tidak menemuinya maka ia harus mempunyai inisiatif sendiri untuk menengok Mama lebih dulu.
Sayangnya, ia masih takut.
Takut jika ia menemui Mama maka Mama akan terganggu akan kehadirannya. Takut jika ia menemui Mama bisa berdampak pada keluarga baru Mama.
Sejauh ini tidak ada kejelasan apakah Loka dan kedua adiknya benar-benar diinginkan oleh keluarga baru Mama. Walau begitu Loka akan menanti dengan harap keluarga baru Mama akan datang menyapanya dan kedua adiknya lalu mengajak untuk bergabung bersama dan menjadi keluarga bahagia.
Dia berjanji seandainya harapannya terwujud ia tidak akan pernah melupakan Papa. Papa akan selalu berada dalam hati dan ingatannya.
Seperti sekarang Loka sedang duduk berjongkok di samping makam Papa. Dia akan datang ke makam Papa di sela-sela waktu sibuknya. Setiap mengunjungi makam Papa selalu ada cerita yang terlontar dari mulut Loka. Entah itu hal-hal sepele atau hal-hal yang membuatnya kelelahan.
"Alfan dan Azkal baik-baik saja, Pa. Malah sekarang Azkal lagi senang-senangnya mengurus anak-anak kucing yang di peliharanya." Loka menyunggingkan senyumnya sewaktu mengingat Azkal bermain bersama dua anak kucingya.
"Alfan, anak itu tumbuh baik, Pa. Tapi dia tetap sama tidak mau kesedihannya dilihat saudaranya. Loka tahu Alfan sering kali menangis di kamar Papa secara diam-diam. Tapi keesokan harinya anak itu tidak kelihatan sedih sama sekali dan bisa tertawa lepas. Alfan pintar bersandiwara, Pa."
"Loka sendiri sendiri malah tambah pintar berbohong." Loka terkekeh, menertawakan dirinya sendiri. "Itu seharusnya bukan hal yang harus Loka banggakan pada Papa, bahkan Loka seharusnya tidak boleh melakukan itu. Tapi Loka tidak tahu harus bagaimana, Pa. Jika Loka tidak berbohong maka adik-adik akan kecewa, Loka tidak ingin mereka kecewa."
Loka memejamkan matanya lalu menarik napasnya dalam-dalam sebelum akhirnya ia hembuskan. Dia masih ingat betul perkataan Papa sewaktu ia berbohong pada Papa mengenai hasil ulangannya. Ia bilang bahwa ia mengerjakan soal-soal ulangan itu sendiri padahal ia menyontek teman sebangkunya.
"Loka, tidak ada yang namanya berbohong untuk kebaikan. Sebab berbohong sendiri adalah perilaku yang tidak baik. Jujur walaupun menyakitkan itu lebih baik. Lagi pula yang sakit pasti akan sembuh. Jika kita berbohong itu hanya akan menunda rasa sakit bukan menyembuhkannya."
Mengingat perkataan Papa itu membuat hatinya dihujami rasa sakit. Sampai kapan ia akan berbohong? Sampai kapan ia akan menunda rasa sakit?
•••
Sepulang sekolah Alfan tidak langsung pulang karena ia harus kerja kelompok bersama dua temannya. Di antara kedua temannya tidak ada yang mengajukan rumahnya untuk dijadikan mereka tempat mengerjakan tugas. Akhirnya mereka memutuskan untuk mengerjakan tugas mereka di salah satu cafe.
Cafe yang akan mereka jadikan tempat untuk mengerjakan tugas terlihat ramai dari luar. Meski begitu mereka tak urung untuk tetap masuk ke dalam Cafe. Masuk ke dalam Cafe mereka di sambut oleh harum kopi dan juga sebuah lagu yang sedang dinyanyikan.
Mereka memesan minuman terlebih dahulu lalu beranjak duduk di meja yang dekat jendela.
"Bukannya itu Mas lo ya, Al." Salah satu teman Alfan yang memakai topi bertanya.
"Mana?" tanya Alfan.
Teman Alfan yang bertopi tadi menunjuk ke panggung kecil di pojok Cafe. "Itu," ucapnya.
Alfan melihatnya, melihat bagaimana Mas Loka memetik gitarnya sembari bernyanyi. Mas Loka sudah tidak memakai seragam padahal Alfan yakin Mas Loka juga baru saja pulang dari sekolah. Lalu kenapa pula Mas Loka bernyanyi di sini?
"Mas lo hebat banget, Al. Dia nggak grogi nyanyi di depan umum." Teman Loka yang berbadan kurus menepuk bahu Alfan.
"Mas lo udah lama ya nyanyi di sini?" Si bertopi kembali bertanya.
Alfan menggelengkan. "Gue nggak tahu."
Seorang pelayan menyajikan pesanan mereka membuat perbincangan mereka tentang Loka terhenti. Sewaktu pelayan itu akan beranjak Alfan menahannya. "Maaf, Mba. Kalau boleh tahu yang nyanyi di sana itu bekerja di sini ya?" Loka menunjuk ke pojok Cafe di mana Loka berada.
Pelayanan itu mengangguk. "Kerja, Mas, udah dari beberapa bulan yang lalu."
Alfan mengangguk lalu mempersilahkan pelayanan itu pergi. Dia sudah mendapatkan jawaban atas pertanyaannya tadi. Mas Loka bekerja.
Teman Alfan berbadan kurus bertanya, "Kok lo nggak tahu sih Mas lo kerja di sini?"
Alfan menghela napas. Bagaimana ia tahu Mas Loka bekerja jika sekarang saja Mas Loka saja jarang sekali berada di rumah? Lagi pula menggapa Mas Loka bekerja?
Tidak cukupkah uang yang diberikan Mama? Atau Mama tidak memberikan uang?
Alfan menggelengkan kepalanya berusaha mengenyahkan pemikiran jahat tentang Mama.
Dari pada berasumsi sendiri lebih baik nanti di rumah ia akan bertanya langsung pada Mas Loka.
•••
Warna jingga di langit lama kelamaan semakin pudar. Sebentar lagi gelap akan menguasai langit. Udara semakin dingin bersama matahari yang sudah akan tenggelam sepenuhnya.
Sudah hampir dua jam Azkal menunggu jemputan dari Mas Alfan tapi kakak keduanya itu tak kunjung datang. Seharusnya tadi ia tidak mengiyakan permintaan Mas Alfan yang memintanya untuk menunggu karena Mas Alfan akan menjemputnya jika akhirnya seperti ini.
Untungnya ia tidak sendirian menunggu Mas Alfan karena di pangkuannya sekarang ada anak kucing berwarna hitam yang dari tadi tidak berhenti mengeong. Iya, ia kembali menemukan anak kucing lagi. Anak kucing yang berada di pangkuannya ini ia temukan dekat di tempat sampah sekolahnya. Ia yang tidak tega melihat anak kucing itu akhirnya membawanya.
"Mau sampai kapan nunggu Mas Alfan? Lagian Mas Alfan ngapain sih kok nggak jemput-jemput? Jangan-jangan Mas Alfan kelupaan! Ah semoga saja tidak!" Azkal bermonolog.
Tangan Azkal mengelus-elus bulu anak kucing di pangkuannya sedang matanya memandang pemandangan di sekelilingnya yang masih ramai meskipun sebentar lagi malam akan menyapa.
Bahkan di seberangnya sekarang ada anak kecil yang berjalan sembari dituntun Ibunya anak kecil itu terlihat terus mengoceh sedang ibunya menanggapinya dengan kekehan.
"Indah sekali hubungan ibu dan anak itu. Aku kapan ya bisa bicara lagi sama Mama?" batin Azkal.
"Kamu lihatin apa?" Tubuh Azkal berjingkit kaget. Ia berdecak mendapati Mas Alfan yang akhirnya datang. Sayangnya datangnya terlalu tiba-tiba hingga membuatnya terkejut saja.
"Lihat mereka. Indah banget ya, Mas." Azkal menunjuk ibu dan anak yang tadi dilihatnya.
"Memang indah," jawab Alfan.
Azkal mengerucutkan bibirnya. "Kenapa telat?"
"Maaf, tadi ada urusan sebentar," balas Alfan, "Kita pulang aja yuk biar kamu cepat istirahat."
Azkal mengendong anak kucing yang ia bawa lalu bangkit dari duduknya. "Lain kali jangan buat aku menunggu lagi, Mas!"
"Iya-iya, maaf!"
•••
Terima kasih sudah membaca:)
Jangan lupa kritik dan sarannya,ya.
Selamat malam 🌃
KAMU SEDANG MEMBACA
Arloka (Selesai) ✓
FanfictieKita tidak bisa menentukan di keluarga mana kita dilahirkan, itu yang Arloka yakini. Namun, semenjak Papa kembali pada sang pencipta semuanya tidak baik-baik saja. Mama memilih menciptakan keluarga baru tanpa dirinya dan juga Alfan dan Azkal, adikny...