Happy reading!
"Terkadang kita belum cukup mengenal kepribadian orang lain. Hidup adalah sandiwara. Maka, menghakimi seseorang seenaknya merupakan tindakan yang keji."
_________________
Sedari tadi aku mendengus. Peluh terus membanjiri keningku. Entah sudah yang keberapa kalinya aku dan teman-teman yang lain mengelilingi lapangan di cuaca yang lumayan terik ini. Tugas dari pak Haris. Guru berbadan atletis, mantan atlet renang yang sejak 6 tahun yang lalu telah mengabdi sebagai guru olahraga di sekolah kami.
Beliau tidak bisa mengajar hari ini karena harus mengurus sebuah acara di tempat kediamannya. Pak Haris hanya menugaskan kami untuk berlari mengelilingi lapangan sebanyak 5 putaran. Kemudian jika tugasnya telah dilaksanakan, untungnya beliau membebaskan kami hingga jam istirahat tiba.
Aisha dan Tara di belakangku juga sudah beberapa kali menghembuskan nafasnya dengan susah payah dan mengeluh. Cuaca yang lumayan terik saat ini mungkin saja dapat membakar wajah mereka berdua, membuat kulit cantik mereka menggelap karena sinar UV.
"Run!" Tara mendekat, memanggilku dengan nafas yang masih tersengal. Dibelakangnya Aisha turut mensejajarkan badannya. Aku hanya diam dan menolehkan kepalaku, benar-benar terlalu lelah untuk sekedar membalas sepatah kata.
"Ini masih berapa kali sih?" Ia mengambil nafas kasar. "Gak selesai selesai perasaan?"
Aisha turut menganggukkan kepalanya setuju. "Iya buset, olahraga kok abis upacara, gak tahan bener kaki pegel gini malah lari larian. Untung habis ini bisa bebas istirahat."
Aku jelas jelas tertawa. "Terima nasib aja hahaha."
Tentu saja. Siapapun akan mengatakan hal yang sama. Olahraga setelah upacara adalah hal yang terburuk. Terutama bagi kelasku dan seluruh penghuninya. Berlari 5 putaran mengelilingi dua kali lipat lapangan basket sungguh sangat melelahkan. Dan kami tak henti hentinya mengeluh karena panas, walaupun waktu baru menunjukkan pukul 9 pagi, tetap saja bau tak sedap muncul perlahan dari keringat yang membanjiri badan.
Menganggu? Tentu saja.
Hingga tanpa sadar kami tak bersuara lagi. Kami terlalu fokus berlari, namun mataku tetap mengamati sekitar. Larian beberapa siswa siswi banyak yang sudah melemah, memilih berjalan pelan dan bahkan ada yang terhenti. Dan tak terasa, kini sudah berlari di putaran ke empat yang berarti tinggal sisa satu putaran lagi.
Namun tak berselang lama, keningku mengkerut. Dari kejauhan, pandanganku tertuju pada seorang pria berkacamata yang baru tiba, berjalan sangat pelan masuk ke area sekolah dengan tas yang masih berada di gendongannya.
Pakaian seragamnya terlihat terlalu pas dan kusut. Celananya bahkan hanya sampai di sebatas mata kaki, terlalu kecil untuk badannya yang memang terlihat cukup tinggi. Bahkan, aku yang masih berlari di lapangan bisa melihat jelas betapa tidak layaknya seragam itu digunakan.
Larian ku bahkan benar-benar sudah terhenti. Pandanganku tak bisa berpaling dari lelaki asing itu barang sedikitpun. Wajahnya begitu lembut. Membawa aura positif, walaupun kala itu raut kebingungan nampak begitu kentara. Satu kata yang terlintas di pikiranku.
Murid baru?
Lamunanku buyar, aku terkejut tatkala pundakku disentuh seseorang dari belakang, dan suara cempreng Aisha mengalun begitu saja di telinga. "Ngeliatin apa si? Dari tadi aku panggil juga." Pandangan Aisha ikut beralih memandang objek yang sama denganku.
Seketika raut wajah Aisha terlihat heran. Namun merasa iba secara bersamaan. Aku dan Aisha tetap memandang pada seseorang yang sama. Mengikuti kemanapun arah lelaki tersebut berjalan, dan berakhir ia yang menghilang dibalik pintu ruang kepala sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
RENGGANA
RandomRENGGANA DANUAR SAMANTYA. Perjalanan berliku, menelusuri garis takdir yang sudah semestinya. Jatuh, bangkit walau terseok. Terseret-seret kenyataan pahit membuat dirinya tak berdaya. Namun pada akhirnya, sang pengembara takdir akan menemukan tujuan...