2. The Police

446 57 9
                                    

Mimpi itu hadir lagi. Menyergapnya ketika Chanyeol lelah atau ketika dia memikirkan Sehun terlalu banyak. Chanyeol menemukan dirinya kembali di rumah tua itu. Salah satu atapnya merosot dengan karpet yang telah usang. Lain rumah. Lain tempat.

Malam pertamanya disana.

"Kumohon, jangan..."

Suara itu telah memanggilnya. Chanyeol sudah berdiri sebelum ia berpikir dua kali. Berdiri dan dalam perjalanan padanya.
Mimpi itu mengambil alih.

Chanyeol mendobrak pintu kayu, memperlihatkan sebuah kamar tidur yang sempit. Dia tidak melihat orang yang ketika mereka membawanya ke rumah itu sebelumnya. Dua orang di atas tempat tidur. Anak laki-laki-"saudara" barunya, Kris.

Yang lainnya adalah bocah manis...yang bermata sedih, bocah manis yang terlalu malu berbicara dengannya sebelumnya. Tapi Chanyeol yakin suaranya telah menjadi salah satu panggilan padanya, memohon, "Tolong, jangan."

Dia tidak bicara lagi. Tidak menangis, tidak memohon. Karena tangannya Kris menguasai mulutnya.

"Apa sih yang kau lakukan? " Chanyeol menuntut.

"Keluar bro, keluar!" Bentak Kris kembali, tapi suaranya tetap rendah.
Jadi, orangtuanya tidak akan mendengar?Tatapan Chanyeol tertuju pada bocah manis itu. Air mata mengalir dari matanya. Satu tangan Kris menguasai mulutnya dan satu tangannya lagi mencengkeram pergelangan tangannya yang kecil ketempat tidur.

Kemarahan telah menguasai Chanyeol.
"Lepaskan dia, sekarang."

"Keluar," Kris bicara lagi. "

Atau aku akan memberitahu orang tuaku untuk mengusirmu dari sini. Ini adalah rumahku. Aku bilang apa-"

Dia tidak bisa mengatakan apapun lagi. Chanyeol merobohkan pria itu darinya. Dia melayangkan tinjunya ke wajah Kris. Lagi dan lagi. Tulangnya patah. Darah menyembur. Chanyeol terus memukulinya.

"Hentikan! Kau bisa membunuhnya." Suaranya. Kedua tangannya memeluk tubuh tegapnya.

Mata Chanyeol terbuka saat mimpi-masa lalunya-itu lenyap. Tangannya mengepal.

Sehun membutuhkannya lagi.

Aku tidak akan mengecewakannya.




~oOOo~




Sehun menatap pada bayangannya. Terlalu pucat. Terlalu kurus. Dia tidak terlihat seperti seorang bintang yang menjadi pusat sorotan lampu.

Itu bukan aku.

Kadang, Sehun tidak yakin dia pernah benar-benar menjadi pria itu. Tangannya menggapai pegangan dinding. Dia memasangnya sendiri. Baru saja memposisikan cermin-cermin itu beberapa saat lalu. Tepat setelah Sehun selesai mengecatnya. Menyelesaikannya-sendiri.

Ada kebanggaan suram dalam pencapaiannya. Sehun bekerja keras dan menghadapi banyak kesulitan untuk tempat ini. Studio telah mengambil uang terakhirnya. Sehun menguras depositonya dan membayar sewa selama setengah tahun. Sehun tahu kesempatan itu-enam bulan yang berharga-adalah peluangnya.
Untuk melakukan sesuatu. Untuk mengembalikan hidupnya. Studio adalah Sehun. Dan ia akan membuat studio ini bekerja.

Hanya saja bayangan yang menatap ke arahnya di cermin itu yang tidak tampak begitu yakin. Sehun bangkit dengan jari-jari kakinya, mengabaikan rasa berdenyutan dibetis kirinya. Denyutan itu akan segera beralih menjadi sakit. Tapi dia mengabaikan itu, juga. Sehun sudah terbiasa mengabaikan rasa sakit selama bertahun-tahun. Itu adalah aturan pertama menari. Jika kau ingin lebih baik, kau harus bekerja keras meskipun itu menyakitkan. Jika badan mu lemah, kau harus mengabaikan kelemahan itu. Kau menari sampai kakimu berdarah. Kemudian kau pergi ke panggung dan menari lagi.

Mine To Take {CHANHUN}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang