11. Bumi, Bulan, dan Revolusi

3 2 0
                                    

Gausah vote ga papa. Baca aja juga boleh. Ga ngurangin kouta.

.

.

.

.

Bulan meraih knop pintu. Tiba-tiba saja ia teringat rumus Fisika.

"Hei!"

Tak menoleh sedikitpun, barangkali tidak memanggilnya, Bulan tetap membuka pintu rumah barunya.

Udah dibayar, jadi semuanya harus berjalan lancar.

Bulan menunduk setelah pintu terbuka.

"Assalamualaikum Bulan! Kamu pindah rumah di sini? Wah, kita tetanggaan dong! Rumah aku yang ini! Sebelah rumah kamu! Yang pilarnya warna biruuu!"

Suara yang sama ketika memanggilnya tadi. Walau tak mengindahkan apapun, salam itu tetap ia balas di hati. Mengganggu saja.

"Lan? Are you okay?"

"Ngga nanya."

Merasa pertanyaan keduanya diabaikan, ia mencari topik lain, "Lan, aku boleh dong, bantuin?"

Bulan melangkah setelah mengucap sesuatu yang seorang di belakangnya tak akan mendengarnya, kemudian melangkah pertama kalinya ke rumah barunya, yang seharusnya menjadi momen tersendiri baginya, tapi kenapa malah ujung-ujungnya direcoki oleh manusia inisial B!

"Aku bantuin ya?"

Bulan memutar bola matanya, jengah. Baru sekarang Bulan mendengar membantu itu terdengar menyenangkan.

"Sana."

"Sana apa Bul, ngomong yang lengkap dong."

Sumpah, Bulan tak tau nantinya ia akan betah tinggal di rumah ini atau tidak.

"Sana ambil truknya sekalian!"

***


Jagat berjalan cepat, ia tak mau menghabiskan waktu satu detikpun. Hingga kakinya hanya berjarak sejengkal di  depan garis-garis hitam yang ditata vertikal, hatinya mencelos. Matanya buram, bertarung dengan amarah yang luar biasa ketika menyaksikan tubuh seseorang yang amat ia banggakan bersandar memunggunginya.

"Kenapa, kenapa Om masuk penjara! Om, ngapain Om? Jagat harus apa biar Om bisa keluar?"

Dan, Jagat tetaplah Jagat Rayadikara. Selama tidak menangis berarti belum berlebihan. Tapi, kalimatnya tadi benar-benar terdengar memanusiawi.

Om Beni, adalah satu-satunya adik papanya yang begitu ia sayangi, itu berdiri menghadapnya dengan tatapan damai yang sama sekali Jagat tak bisa menembak arti tatapan itu.

Jagat tak bisa berekspetasi sekarang, ia menggenggam erat jeruji besi di kedua tangannya. Ia benci situasi yang membuatnya lemah.

"Apa yang Om lakukan? Kenapa Jagat baru dikasih tau?"

Jagat mendongak, ia menatap manik coklat pekat Om Beni.

Kurva kecil muncul, "Om melakukan sesuatu yang harus tidak seharusnya dilakukan, Jagat."

"Dan dipenjara Om rasa lebih menyenangkan dibanding dihajar masa."

Mata Jagat menyala, "Om bodoh sekali! Hal apa sih, kenapa Om ngga ngelak aja!"

"Ja, ini setimbang, Ja. Seperti hukum alam, kalau kamu mengambil suatu langkah, berati kamu sudah mau menerima resikonya."

"Tolong Om, apa yang terjadi? Jagat ingin tau dari Om. Atau Jagat ak..-

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 05, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Takut NyamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang