5

2.1K 21 0
                                    

Aku dan Kahfi baru saja turun dari taksi online. Dia langsung membawaku ke rumah yang selama ini dia tempati bersama Ibu dan adiknya. Aku menyukai rumah ini. Aku suka para penghuninya.

"Tidak ke rumah mertuamu dulu, Fi?" Ibu mertua menyambut kedatangan kami.

"Key ingin langsung pulang ke sini," sahut suamiku. Aku memasang senyum termanis di depan Ibu dan juga adik iparku.

"Kamarnya belum dibereskan. Kami pikir masih akan lama di sana."

"Kamar yang mana? Nanti aku rapikan."

"Pakai kamar Ibu saja. Tempat tidurnya lebih besar."

"Tidak mau!" sanggahku segera. "Aku mau tinggal di kamar Kahfi." Aku kembali melebarkan senyumku.

.

Untuk sekian lama, aku tak pernah lagi memasuki ruangan ini. Tak banyak berubah. Warna cat dan juga perlengkapannya masih sama sejak terakhir aku memasukinya.

Kahfi selalu mengunci pintu dan melarangku untuk masuk sejak dia masuk SMP. Saat itu aku masih kelas lima SD. Sama sekali tak mengerti, kenapa dia sampai berani melakukan itu terhadapku.

Kupikir dia menyembunyikan sesuatu, atau mungkin memiliki teman baru. Hingga sampai aku dewasa baru saja mengerti, bahwa dia baru mulai mengalami masa pubertasnya dan mungkin sudah memiliki ketertarikan dengan lawan jenis. Itu berbahaya sekali, jika sampai dia membawa seorang gadis kecil masuk ke dalam kamarnya.

Aku duduk di ranjang yang hanya bisa ditempati satu badan saja. Kasurnyapun sudah tak lagi empuk, dan sedikit terasa ada besi menonjol keluar di beberapa bagian. Setidaknya aku merasakannya di posisiku saat ini.

"Aku akan membeli ranjang yang lebih besar," ucapnya, sambil memunguti beberapa celana panjang dan handuk yang masih menggantung di balik pintu.

"Jangan! Biarkan saja kamarnya begini. Aku menyukainya. Tidak berubah sama sekali."

"Aku bukan seorang gadis yang punya waktu untuk berbenah kamar, atau mengganti dekorasinya setiap saat," sahutnya, sembari ikut duduk bersamaku.

"Ini sudah bagus. Aku marasa nyaman."

"Tempat tidurnya sempit. Lalu bagaimana kita akan melakukan banyak gaya, saat melakukan malam pertama." Aku tergelak, sambil mendorong bahunya.

"Dasar mezum!" umpatku padanya.

Dia menjatuhkan diri ke belakang, dengan kaki yang masih terjulur ke bawah. Aku langsung bangkit, untuk menyisir setiap sudut ruangan. Di seberang tempat tidur, masih ada meja belajar dan kursi kayu berwarna coklat. Dulu dia sering membantuku membuat pe er di sana.

Sebuah lemari kecil dua pintu terdapat di sisi sebelah kirinya. Hanya itu saja. Begitu sederhana, namun aku yakin bisa betah berlama-lama di dalamnya, ketimbang kamarku yang seperti istana.

"Aku akan membeli karpet bulu saja, Fi. Kita bisa tidur berdua di bawah. Kelihatannya akan lebih menyenangkan."

"Baiklah, nanti aku belikan. Kau mau warna apa?"

"Tidak usah. Aku akan memesannya di onlineshop langgananku."

"Tidak boleh. Aku saja yang membeli."

"Memangnya kenapa? Aku punya uang."

"Simpan saja uangmu itu. Gunakan uang yang kuhasilkan untuk keperluanmu."

"Kenapa kau tak pernah mau nenerima pemberian dariku? Sekalipun?"

"Itu sudah dari dulu kulakukan. Kenapa baru tanya sekarang?"

"Karena aku istrimu. Tak boleh lagi ada rahasia."

L I A R Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang