8

1.2K 23 0
                                    


"Apa yang kau katakan? Kita sudah pernah membahasnya," ucapnya dalam kegelapan.

"Jujurlah. Apa yang tidak kutahu. Apa yang sedang kau sembunyikan dariku?"

Aku masih tetap dalam posisi semula. Tak berani bergerak, atau berbalik memandangnya, meski kamar dalam keadaan remang dan minim cahaya. Aku takut dia melihatku menangis kali ini. Entah kenapa.

"Sudah kubilang tak ada apapun. Kenapa kau tiba-tiba bertanya?"

"Benarkah? Apa kau takut aku akan marah, jika mengetahui sesuatu di antara kalian?"

Kurasa kini suaraku tampak berbeda. Oh, shit. Aku tak dapat lagi menahannya. Aku benci terlihat cengeng, hanya karena masalah ini.

Dia bangkit dan menghidupkan lampu, lalu kembali mendekatiku.

"Astaga, Key. Kau menangis lagi. Apa yang terjadi?" Dia menarikku untuk bangkit dan duduk menghadapnya.

Mataku kini telah sembab oleh air mata. Dan aku tak tahu kenapa. Ada rasa sakit yang berbeda. Yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

"Kau berbohong soal Elena. Ada sesuatu yang kau sembunyikan. Kau membuatku takut, Fi. Aku seperti tak mengenalmu," lirihku.

"Tenanglah, Key. Jelaskan apa yang terjadi." Dia merapikan rambutku yang kusut, menyelipkannya ke belakang telingaku. Lalu mengusap air mataku dengan kedua ibu jarinya.

Aku menceritakan saat pertemuan dengan Elena, dan semua yang dia katakan tentang mereka. Aku ingin memaksanya bicara, tapi dia terlanjur pergi dan memintaku untuk menanyakan langsung pada Kahfi.

"Kau dan Elena berpacaran?" tanyaku menatap matanya.

"Pikiran konyol macam apa itu? Kau mengenal semua wanita yang pernah dekat denganku. Mungkinkah Elena bisa luput dari perhatianmu?" Dia menyangkal semua ucapanku.

"Kalau begitu jelaskan!" ucapku histeris, sembari menepiskan kedua tangannya dari wajahku.

"Tenanglah, Key. Jangan marah-marah. Aku akan jelaskan."

"Katakan!"

"Elena pernah datang menemuiku. Dia meminta tolong sesuatu. Aku sudah menolak, dan minta ia mengadu pada Erik. Tapi dia bilang Erik tak boleh tahu."

"Apa?" Air mataku mengucur tanpa henti.

"Seseorang memperlakukannya dengan kasar. Pria itu terus-terusan mengejar, meski berulang kali dia menolak. Dia hanya memintaku untuk memberi pria itu pelajaran, dan...."

"Dan apa?" Mataku liar menatap matanya, menunggu jawaban. Dan aku merasa tidak sabaran.

"Kenapa dia mengadu padamu? Kenapa aku tak tahu? Bagaimana kalian bisa sedekat itu?" Aku berteriak dan memukul dadanya dengan keras.

Dia diam tak menghindar. Membiarkanku menumpahkan kekesalan. Sepertinya dia tahu kalau aku memang akan semarah ini. Dia tak lagi berusaha membela diri.

"Apa yang kau lakukan dengannya? Apa dia juga pernah memintamu menikahi, dan bertanggung jawab atas perbuatan orang lain? Apa dia hamil?" Aku meracau.

"Astaga, Key. Tidak sampai sejauh itu. Aku hanya memberi laki-laki itu pelajaran. Elena hanya menginginkan itu, dan memintaku untuk berpura-pura menjadi kekasihnya, agar pria itu menjauh. Hanya sekali saja, setelah itu aku tak pernah lagi bicara padanya."

.

Aku keluar pagi-pagi sekali, bahkan sebelum Kahfi berangkat membuka kiosnya. Kutinggalkan dia yang masih melakukan aktifitasnya di kamar mandi.

L I A R Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang