9

1.1K 19 0
                                    

Aku langsung memandang wajahnya. Ingin melihat bagaimana ekspresinya saat mengucapkan kata-kata itu. Tak pernah selama ini dia melarang aku berhubungan dengan lelaki manapun. Tapi sekarang? Apa perasaan yang kualami saat ini juga mulai dirasakan olehnya?

Oh, Tuhan. Apa kami sedang merasakan cemburu? Beginikah efek dari suatu ikatan pernikahan? Hal-hal yang belum pernah kami rasakan sebelumnya, tiba-tiba muncul dan membuat kami bersikap gila. Itu sebabnya dia terlihat ketus, dan terkesan marah sejak menyusulku tadi.

Kurasa hatiku mulai melunak. Bukan hanya aku yang sakit, rupanya. Dia juga sama. Seperti bagaimana aku mencurigainya dengan Elena, begitu juga dia menilaiku dengan Erik. Hanya mungkin, dia bisa bersikap sedikit lebih tenang.

Aku menghela napas, mencoba meredam emosi yang nantinya bisa melebar kemana-mana. Aku terduduk di ranjang kecil itu, sambil mengalihkan pandangan darinya. Aku sungguh malu.

"Kenapa diam? Apa yang akan kalian lakukan, andai aku tadi tak segera masuk?" tanyanya lagi.

"Tak ada. Memangnya apa yang mau kulakukan bersama si alan itu?" sahutku, tanpa melihat wajahnya.

Kurasakan langkahnya semakin mendekat. Ekor mataku menangkap, bahwa kini dia sudah berdiri di sampingku.

"Kau terluka. Kurasa dia akan senang hati menyentuh bibirmu dengan alasan ingin mengobati. Aku melihat kotak obat yang berserakan."

"Ya. Kurasa juga begitu. Kau tahu dia suka mengambil kesempatan."

"Kau senang?"

"Hish...." Aku berbalik, dan menantang matanya. "Sejak kapan aku merasa senang berada di dekatnya?"

"Jangan lagi ke sana, tanpa ijin dariku."

"Atau?"

"Atau jangan kembali lagi ke rumah ini."

"Fi! Kau mulai berani mengancamku?"

"Kalau tak suka, kembali saja ke rumahmu. Mereka tak memperlakukanmu seburuk itu." Kulihat dia melangkah menuju pintu.

"Kau mau kemana, Fi? Aku belum selesai!"

Oh, shit. Dia tetap keluar tanpa menjawabku. Haruskah masalah Elena kuselesaikan sampai di sini, agar dia tak lagi membahas soal Erik? Oh, yeah. Begini rupanya rasanya sebagai tertuduh. Oke! Kita satu sama.

Aku bergegas bangkit, ingin segera menysulnya. Namun baru saja hendak memegang handel, pintu kembali terbuka dan menegenai keningku.

"Ouch, shit. Damn! Brengsek kau... Kahfi?" Kulihat dia mengernyitkan dahi dengan sebuah kotak bekal di tangannya.

Apa dia membawakanku makanan, tanpa memperbolehkan aku keluar kamar? Ugh, dia terlihat seperti mafia di film action yang menjadikanku tawanan.

"Kau mau kemana?" tanyanya, masih berdiri di ambang pintu.

"Menyusulmu, bodoh! Dan kau menabrak keningku dengan pintu. Apa kau sengaja?" umpatku, sambil mengusap-usap kening.

Ada senyum di wajah manisnya. Kelihatannya kesakitanku membuat hatinya sedikit terhibur. Oke. No problem. Yang penting masalah kami selesai.

"Masuklah! Aku tidak kemana-mana." Dia bergerak masuk dan langsung duduk di atas karpet. Aku kembali menutup pintu, dan menyusul, duduk manis di hadapannya.

"Aku pikir kau akan langsung membuka kios tanpa berpamitan," gumamku.

"Itu milikku. Bisa kubuka kapan saja."

"Ah, ya. Kau seorang CEO rupanya." Dia terkekeh.
"Kau membawakanku makanan?"

"Ini?" Dia menunjuk kotak yang di pegangnya. Kemudian membukanya. Ouh, kotak obat rupanya. "Kemarikan wajahmu."

L I A R Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang